Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 55

Untuk beberapa waktu, Swandaru merenungkan kalimat demi kalimat Pangeran Purbaya. Pikirnya, memang tidak patut ia memandang Untara dengan rasa iri maupun benci. Swandaru tahu bahwa dirinya tidak mempunyai alasan untuk membiarkan dua perasaan itu tumbuh dalam hatinya. Sungguh tak patut karena Untara sudah tentu lebih memilih kelaparan dan menderita untuk menjaga kehidupan yang berkembang di atas tlatah Mataram. Apakah ia sudah mencapai derajat pemikiran seperti itu? Swandaru mengumpat diri bahwa ia memang memalukan! Apabila dahulu ia berperang dan berjuang di sisi Panembahan Senapati, apakah ia tulus melakukannya atau ada hal lain yang diharapkannya? Sehingga dan sungguh tak pantas apabila ia masih berharap Sangkal Putung mendapat anugerah besar seperti halnya Tanah Perdikan Menoreh.

“Pangeran,” ucap lirih Swandaru, “jika sebagian musibah yang menimpa Sangkal Putung terjadi karena saya yang bermasalah, dengan senang hati dan penuh kerelaan walau saya harus memaksakan diri, menguburkan saya di luar Mataram dapat Panjenengan lakukan.”

“Ambillah sesuatu yang baik atau bila engkau mendapatkan pengajaran yang bermanfaat dari percakapan ini, sesaplah, tanamkanlah, lalu biarkan tumbuh di dalam hatimu. Sesungguhnya, Swandaru, aku dan engkau bukanlah kura-kura tanpa cangkang. Kita bukan kuda tanpa tulang punggung. Kita mempunyai rumah yang di dalam rumah itu adalah harga diri dan kehormatan sebagai pelindung yang harus dibela. “

“Semoga saya dapat berhati-hati esok hari.” Setelah mengatakan itu dengan nada penuh penyesalan, ingatan tentang seseorang yang dikasihinya mendadak melintas secepat kilat. Hampir saja ia mengucapkan sesuatu, tetapi Swandaru memang menjadi lebih berhati-hati tentang yang akan dikatakan. Hal itu tertangkap dari getar suaranya ketika bertanya, “Pangeran, bagaimana keadaan Ki Rangga Agung Sedayu?”

loading...

“Aku menahan sebuah jawaban darinya. Swandaru belum dapat sepenuhnya mendapatkan kepercayaan utuh dariku, apalagi terkait dengan keadaan kakak seperguruannya,” bisik Pangeran Purbaya pada dirinya sendiri. Suasana hati Pangeran Purbaya setiap kali mengingat atau berpikir mengenai Agung Sedayu ibarat malam di pedukuhan yang penuh kerlip lentera-lentera di sepanjang jalan. Remang yang tidak dapat dikatakan gelap, dan juga bukan terang yang cukup bagi mata memandang.

Pertanyaan Swandaru seolah membutuhkan waktu lebih lama untuk sebuah jawaban. Bandul waktu berayun naik turun seperti ujung ranting yang tertiup angin. Para penjaga regol sudah mengira bahwa dua orang terkemuka telah lelap dalam tidur, tetapi ketika seorang penjaga menawarkan diri untuk melihat keadaan di dalam, salah seorang pengawal yang lain mengangkat tangan.

“Tidak perlu,” kata pengawal itu, “mungkin beliau berdua sedang merundingkan sesuatu yang sungguh-sungguh rahasia. Jangan. Kita hanya bertugas mengamankan keadaan sekitar sini.”

“Sunyi sekali, begitu hening.”

Sambil mengangkat dua bahu dan senyum lebar, pengawal tadi berkata, “Untuk itulah kita berada di sini, menjaga agar tetap sunyi.”

“Baiklah, rasanya aku harus berharap seperti itu.”

Hanya derik jangkrik dan tonggeret yang melantunkan senandung bernada tinggi yang seolah sedang menerangkan keadaan Agung Sedayu pada Swandaru.

“Tutup mulut!” tegas Pangeran Purbaya pada dirinya. Dalam waktu itu, perubahan sangat jelas membekas kuat pada garis wajahnya.

“Aku dapat menjawab pertanyaanmu, tetapi sebagai pemimpin sandi Mataram, tentu ada beberapa yang memang dapat dikatakan secara terbuka. Untuk saat ini, aku hanya ingin memintamu dapat mengambil kesimpulan yang kemudian dapat kau jadikan pedoman agar tak lagi hidup seperti lelaki tanpa harga diri. Baiknya engkau mencari cara yang patut dijalani untuk mengembalikan kehormatan dan harga diri. Menempuh kembali jalan yang benar, jalan yang pernah diajarkan Kiai Gringsing padamu di masa lalu. Swandaru, agar kau tidak salah mengerti,

Tak perlu bertanya, berapa lama aku harus menyesali yang sudah terjadi? Tetapi bertanyalah, apa yang aku akan perbuat di masa mendatang?”

Swandaru merasakan gersang sedang melanda permukaan hatinya hingga dapat mematahkan ranting-ranting yang kekeringan, membakar rumput kering lalu menerbangkan abu hingga membuat kelilip mata.  “Pangeran,” katanya, “benar yang Panjenengan katakan semua. Tidak ada waktu lagi untuk membenci orang lain, apalagi sampai membenci diri sendiri karena kebodohan pada masa-masa yang telah berlalu. Sekarang, dengan izin Pangeran, saya mohon diri untuk sekedar melepaskan semua penat rasa dan raga. Saya dapat mengerti bahwa segala sesuatu yang terhubung dengan Mataram dan Sangkal Putung adalah suatu keharusan.  Izinkan saya mencari jalan damai.”

“Apakah izin itu termasuk keinginan mengundurkan diri dari geger yang sedang terjadi di Mataram?” Suara Pangeran Purbaya seolah membawa angin gelap di dalam rongga-rongga yang ada di dalam hati Swandaru.

Bagi Swandaru, nada yang terdengar olehnya seperti lelucon yang datang dari permukiman orang mati. Ia meraba perasaannya agar tidak salah memberi jawaban. “Sendika dhawuh,” ucapnya lirih sambil mengelap keringat dinginnya dengan ujung kain.

“Apakah aku tidak salah mendengar?”

“Tidak, Pangeran. Saya ucapkan dengan betul dan sesuai suara hati saya.”

“Semoga tidak ada jalan yang menyimpang atau pendengaran yang keliru menangkap getar-getar kebenaran yang terbit dari hatimu.”

“Saya, Pangeran.”

“Baiklah, dengan demikian, kau dapat kembali ke pedukuhan induk dengan pengawalan sejumlah orang. Pandan Wangi dan Sabungsari akan menjadi teman perjalananmu karena mereka membutuhkan perawatan yang lebih sungguh-sungguh oleh orang-orang yang ahli pengobatan. Ki Demang Brumbung akan menetap di Gondang Wates sampai Ki Patih Mandaraka memutuskan lebih lanjut. Aku kira keputusan ini dapat kau jalankan dengan sepenuh hati tanpa berpaling ke belakang.”

“Saya, Pangeran.” Swandaru bernapas lega, Pangeran Purbaya membuka sebuah ruang longgar baginya untuk berbenah. Ketegangan yang sebelumnya menguasai penuh perasaan Swandaru mulai mencair. Pangeran Purbaya dapat merasakan itu dan dapat memaklumi bahwa Swandaru akan membuat rencana atau perhitungan yang berlainan dengannya. Namun, Pangeran Purbaya tidak akan mempermasalahkan sepanjang Swandaru teguh berjalan sesuai kehendak Mataram.

Demikianlah Swandaru pun mengundurkan diri dari hadapan Pangeran Purbaya. Menuju pembaringan untuk pematangan rencana yang sedang disusunnya selepas pembicaraan empat mata.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 93

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.