Padepokan Witasem
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 121 – Akankah Menjadi Titik Balik di Alas Krapyak?

Antara langit yang menjadi gelap atau sinar matahari yang tertutup mendung rapat memang masih tampak samar. Mungkin saat itu sudah memasuki senja ketika Raden Mas Rangsang memasuki bangunan kayu yang berdinding gedeg walau tidak sepenuhnya. Beberapa orang tampak duduk di sekitar Panembahan Hanykrawati, dua orang di antara mereka adalah Pangeran Selarong dan Ki Sadana. Setelah menebar pandangan, Raden Mas Rangsang mengucapkan salam hormat pada semua orang dan sembah bakti pada Panembahan Hanykrawati. Dalam hati orang-orang itu sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang ketiadaan pangeran Mataram tersebut sejak mereka baru memasuki lembah. Pangeran Selarong telah menjelaskan keadaan dan kedudukan kakaknya pada para senapati.

Suasana menjadi hening sejenak sebelum Pangeran Mas Rangsang membuka percakapan.

“Panembahan, Adimas Pangeran Selarong dan para senapati Mataram. Saya telah bertemu dan bercakap beberapa lama dengan Ki Rangga Agung Sedayu sebelum memasuki ruangan ini,” kata Raden Mas Rangsang. “Ada persoalan-persoalan yang memang harus kita bicarakan terbuka, namun ada pula yang nantinya saya minta Panjenengan sekalian memberi kami ruang dan waktu untuk pembahasan masalah yang lain.”

Seorang seorang senapati yang berkedudukan sebagai panji dan menjadi kepercayaan Pangeran Purbaya, kemudian bertanya, “Di manakah Ki Rangga Agung Sedayu, Raden? Apakah kita tidak menunggu kehadiran beliau?”

loading...

“Ki Rangga Agung Sedayu melanjutkan perondaan pada jalur dan lingkungan yang sudah saya tunjukkan. Beliau akan mengulang dan memastikan sebelum menyimpulkan arah perkembangan terakhir,” kata Raden Mas Rangsang. “Jadi, apakah kita dapat menuju persoalan?”

Para senapati Mataram mengangguk lalu mereka siap mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang diucapkan Pangeran Mas Rangsang. Pada salah satu pokok pikiran yang dibahas adalah Raden Mas Rangsang menyatakan keberatan bila Panembahan Hanykrawati harus keluar dan berburu dalam arti sebenarnya.

“Pertimbangan saya adalah telah ada sejumlah orang yang tergabung dalam kelompok yang cukup besar. Mungkin sekitar empat puluh atau lima puluh orang sudah mengetahui tempat ini sebelum saya tiba. Atas perkembangan tersebut, saya tugaskan Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengamati keadaan,” kata Pangeran Mas Rangsang. “Selain itu, saya yakin pengejaran terhadap salah seorang dari pembangkang telah banyak diketahui oleh setiap orang di ruang ini. Namun demikian, saya menyesal dan harus minta maaf pada semua orang bahwa saya kehilangan jejak ketika sudah mendekati Alas Krapyak. Dari laporan Ki Rangga Agung Sedayu, saya sadar dan dapat mengerti kesulitan-kesulitan yang menghalangi Panembahan untuk mencapai tempat ini. Kekacauan di kotaraja, meski dapat diselesaikan dalam waktu singkat, itu menjadi awal yang tidak baik bagi rombongan ini. Disusul pecahnya pertempuran yang menghisap dua kekuatan sayap, itu pun menjadi sebab yang  dapat mengurangi daya tahan Mataram.  Kemudian menyusul perkelahian di mulut lembah yang hampir saja merenggut hidup Panembahan. Di dalam pemikiran saya, benturan kekerasan di mulut lembah adalah petunjuk kasar bahwa pergerakan mereka hampir mencapai puncak. Pembelotan Ki Sawala adalah pembuka geger di Alas Krapyak.”

Orang-orang terhenyak! Mereka bertukar pandang. Jika kisruh dan kekacauan di tepi hutan adalah pembuka, lalu bagaimana dengan puncaknya? Sejenak kemudian orang-orang berpendapat dengan suara pelan sehingga terdengar seperti dengung sayap lebah.

Kemudian Ki Panji Badra Wungu berkata lirih, “Kita tidak diuntungkan keadaan, Pangeran.”

Raden Mas Rangsang mengerutkan kening kemudian menatap Ki Badra Wungu dengan sorot mata bertanya-tanya.

“Kita dalam suasana hati yang tegang dan juga jasmani yang kelelahan. Benturan-benturan yang datang beruntun sejak melewati gerbag kotaraja cukup menghabiskan daya tahan setiap orang,” ucap Ki Panji Badra Wungu.

Raden Mas Rangsang mengangkat tangan meminta para senapati dapat meredakan gejolak di dalam dada. Kemudian ia berkata lagi, “Itu benar dan saya tidak mengingkarinya. Mereka pun sebenarnya sudah terbekap rasa jenuh dan kecemasan. Bayang-bayang kegagalan, saya percaya, masih menjadi setan yang menakutkan di dalam hati dan pikiran mereka. Saya sudah bicarakan sebuah siasat dengan Ki Rangga. Percakapan singkat dengan beliau akan saya beberkan pada akhir pertemuan ini.”

Ki Panji Badra Wungu, Ki Grobogan Sewu dan senapati-senapati lainnya mengangguk-angguk lalu menyalakan semangat di dalam hati mereka.

Raden Mas Rangsang kemudian meneruskan ucapannya. “Sejak Panembahan menjejakkan kaki di tanah lapang ini, setiap orang dari kelompok Raden Atmandaru tiba-tiba berubah seperti jerami kering yang siap terbakar api. Saya bersama Ki Rangga Agung Sedayu telah mencapai sepakat bahwa setiap orang dilarang meninggalkan tempat. Walau mereka berjumlah lebih banyak dari lima puluh, tapi itu akan dapat dibatasi ketika setiap orang mematuhi aba-aba atau perintah dari atasan masing-masing. Saya ingin Anda semua dapat memastikan itu demi keselamatan Panembahan Hanykrawati.”

“Siap, Pangeran,” sahut para senapati dengan serempak.

“Lebih  lima puluh orang, jika saya tidak membuat kesalahan perkiraan, menjadi jumlah yang cukup untuk membakar hutan ini. Jumlah yang tidak seimbang meski kita gabungkan jumlah keseluruhan senapati dan para prajurit yang berada di sekitar tanah lapang,” kata Raden Mas Rangsang dengan suara bergetar. “Dengan pangkat terendah adalah lurah tapi kita tidak dapat menepuk dada karena kekuatan mereka pun berjenjang. Kita tidak pula lebih unggul dalam siasat maupun penataan gelar karena kita sedang menghadapi sekelompok orang-orang yang benar-benar buta! Mereka telah mengawalinya di Tanah Perdikan Menoreh, berlanjut turun ke Sangkal Putung. Kita hampir mengirim bantuan saat terjadi keributan di Watu Sumping. Lalu percobaan pembunuhan terhadap Ki Patih Mandaraka di Slumpring dan di jalanan sekitar Kepatihan. Seluruh usaha mereka itu berpuncak di sini, di Alas Krapyak.”

“Lantas bagaimana dengan laporan petugas sandi mengenai gelombang orang-orang yang kemudian berkemah di Gunung Kendil?” orang kepercayaan Pangeran Purbaya pun bertanya lagi.

“Ki Panji Badra Wungu,” ucap Pangeran Mas Rangsang, “Pembicaraan di Kepatihan maupun Kraton belum tuntas hingga tempat itu. Kita semua berada di dalam ketegangan untuk perburuan ini. Tapi, Ki Patih Mandaraka telah mendapatkan wewenang penuh untuk penyelesaian masalah itu. Kita tidak mengabaikan Gunung Kendil tapi sejauh yang dilaporkan, maka Gunung Kendil dapat disimpulkan menjadi tempat perlindungan terakhir atau justru benteng utama mereka. Saat mereka gagal di Alas Krapyak dan gagal mengendalikan suasana di Kraton, Gunung Kendil akan berubah menjadi tempat bermulanya serangan dengan tujuan akhir adalah kotaraja. Bila mereka berhasil mencapai tujuan, Gunung Kendil bakal menjadi pangkalan angkatan perang dan mungkin kotaraja pun berpindah ke sana.”

Tampak Panembahan Hanykrawati mengangguk-angguk dengan wajah tenang. Sedangkan Pangeran Selarong dan senapati wreda memandang Raden Mas Rangsang dengan penuh kesungguhan. Itu bukan buah pikiran atau kesimpulan guyonan yang muncul akibat kelelahan, tapi merupakan pendapat dari nalar yang sangat tajam. Letak Gunung Kendil memang memungkinkan bila dijadikan sebagai tumpuan pasukan perang karena benteng alam. Pun dapat diterima dengan nalar sehat jika di sekitarnya kemudian berkembang menjadi wilayah yang ramai.

Selanjutnya Pangeran Mas Rangsang memberi pesan yang berisi siasat-siasat yang terangkai runtut dan terukur. Sebuah gambaran mengenai segala hal yang dapat mereka tempuh untuk mengamankan Panembahan Hanykrawati segera terbayangkan di dalam pikiran masing-masing.

Pada tempat lain, Ki Sekar Tawang dan belasan orang memang cukup lihai menyembunyikan diri. Mereka mendirikan gubuk-gubuk di tanah yang agak curam dan menggunakan ranting dari semak-semak sebagai atap. Dengan demikian akan terlihat sebagai bagian dari semak-semak rimbun yang mengitari lingkungan itu. Mereka membuat jalan setapak yang keberadaannya ditutup daun-daun dan rumput kering. Gerimis yang menyiram Alas Krapyak menjadikan jalan setapak itu semakin sulit terlihat dari dataran yang agak tinggi.

“Kiai, apa lagi yang kita tunggu?” tanya seorang pengikut Raden Atmandaru yang juga senapati pasukan pembangkang.

Sejumlah orang menganggukkan kepala. Agaknya Agaknya pertanyaan itu mewakili isi pikiran mereka. Mereka mengetahui kedatangan Panembahan Hanykrawati tapi Kiai Sekar Tawang belum juga mengatakan sesuatu. Sedangkan, menurut mereka, menyerbu rombongan yang baru saja datang itu adalah waktu yang terbaik. Mereka tentu masih didera kelelahan yang hebat. Berulang-ulang harus bertempur untuk mempertahankan kedudukan dan keselamatan raja Mataram menajdi alasan kuat untuk menyerang. Selain itu pula, mereka sudah berada di tempat itu lebih dari sepekan sehingga rasa jenuh dan cemas pun datang menyergap perasaan.

Namun sebagian orang berpikiran lain. Menurut kelompok ini, walau sedang kelelahan tapi kubu Raden Atmandaru belum menyiapkan siasat guna menghabisi raja Mataram tersebut.

“Kita tidak dapat menyerbu mereka asal-asalan,” kata Ki Lodoyong, senapati kuat yang membawahi sekitar sepuluh orang lebih. “Ki Banyuasri, sedikit kita menunggu agar ada bahan-bahan yang digunakan untuk menghabisi mereka. Marilah, kita bersabar sesaat lagi.”

“Tiada untung kita menunggu lebih lama lagi,” ucap Ki Banyuasri. “ Kita telah mempersiapkan diri cukup lama. Kita mengadakan banyak latihan demi hari ini. Berbekal itu semua, kita dapat menyerang anak laki-laki Danang Sutawijaya itu langsung ke jantungnya. Semakin lama kita berada di sini, mereka pun mempunyai waktu untuk persiapan yang lebih baik. Menurutku, kita hancur atau berhasil, maka saat ini adalah penentuan.”

Sejenak kemudian banyak mata memandang Ki Sekar Tawang yang disepakati sebagai orang kedua setelah Raden Atmandaru. Orang ini hanya mengangguk-anggukkan kepala sejak adu pendapat di antara senapati terjadi. Ia setuju bila penyerangan dapat dilakukan pada awal malam itu, tapi ada sisi lain yang masih dipertimbangkannya.

“Apakah sudah ada laporan terakhir dari petugas sandi kita?” tanya Ki Sekar Tawang memecah keheningan.

Para senapati Raden Atmandaru sebagian mengangguk tapi sebagian juga menggeleng. Mangesthi yang sebelumnya berada agak jauh dari gubug pun kemudian mendekati pertemuan, tapi ia tidak segera masuk melainkan mengambil tempat di  dekat bibir jendela.

Memperhatikan keadaan itu, Ki Sekar Tawang lantas melanjutkan, “Tiga petugas sandi menyatakan bahwa mereka melihat orang-orang Mataram terpencar menjadi beberapa kelompok. Jarak mereka terukur dan yang menjadikanku sulit memutuskan adalah mereka menguasai jalur tercepat untuk mencapai kotaraja. Sehingga setiap perubahan di Alas Krapyak akan mereka ketahui lebih cepat dan Ki Juru Martani dapat melakukan tindakan yang tidak terduga oleh kita.”

“Kita gempur saja mereka, Kiai. Serahkan urusan itu padaku,” ucap Ki Banyuasri.

“Aku mengerti dan itu memang dapat dilakukan oleh kelompok Ki Banyuasri. Secara pribadi, aku tidak keberatan, tapi ada persoalan yang pasti muncul kemudian,” ungkap Ki Sekar Tawang.

Orang-orang di dalam gubug itu pun diam, menunggu Ki Sekar Tawang meneruskan pembicaraan.

Kemudian orang yang dahulu menyebut diri dengan nama Ki Kebo Lungit itu pun berkata lagi, “Anak laki-laki Mas Jolang berhasil membuntutiku tapi ia kehilangan jejak setelah aku memasuki hutan ini. Maka sudah barang tentu anak itu tidak akan duduk diam sambil menungguku keluar melalui jalan yang sama. Kita sama-sama yakin mengenai itu, bukan?”

“Benar, Kiai,” jawab Ki Lodoyong lalu diikuti senapati yang lain.

Pada saat orang-orang yang dikirimnya untuk mengamati keadaan di lembah telah melaporkan kegagalan mereka, Ki Sekar Tawang berharap Ki Sanden Merti dapat membantu mereka di Alas Krapyak. Namun sampai waktu sudah masuk petang, orang yang diharapkannya tak kunjung datang. Oleh sebab itu, datang pikiran padanya agar lekas membahas siasat kilat bersama segenap senapati pasukan Raden Atmandaru. Walau sakit hati pada Mataram, terutama Panembahan Senapati yang dianggapnya bertanggung jawab pada kejatuhan Madiun serta Agung Sedayu sebagai salah seorang yang menghancurkan perguruannya, Ki Sekar Tawang masih dapat berpikir dengan kepala dingin. Ia yakin bahwa menyerang dapat menjadi pertahanan terbaik bagi mereka. Dan ia juga mengerti bahwa semakin lama waktu yang digunakan untuk menunggu maka keadaan dapat menjadi tidak menguntungkan.

“Meski berseberangan pendapat tapi mereka adalah orang yang terpercaya dan teruji di medan laga,” ucap Ki Sekar Tawang dalam hati. Setelah menyebut nama orang-orang yang dianggapnya mumpuni, lantas guru dari Mangesthi ini pun meminta sebagian orang keluar dari gubug pertemuan.  Dengan tatap mata heran, sebagian orang menganggap janggal atas permintaan tersebut. Tapi itu adalah perintah panglima mereka di Alas Krapyak, sukarela atau terpaksa, mereka pun mematuhinya.

Sejenak kemudian, Ki Sekar Tawang berkata, “Aku tidak ingin ada pengepungan untuk serangan yang akan kita lakukan.”

“Kiai,” kata Ki Banyuasri, “apakah aku tidak salah dengar?”

Ki Lodoyong memandang Ki Banyuasri dengan alis bertaut. Ia pun heran dengan ucapan Ki Sekar Tawang. Bahkan, ketika mengalihkan bola mata pada Ki Sekar Tawang, Ki Lodoyong cukup tajam menatap wajahnya. Kegilaan apa lagi ini? Ki Lodoyong bertanya pada dirinya sendiri sambil mencari alasan yang dapat diterima akal sehatnya.

Ki Sekar Tawang lantas menerangkan landasan siasatnya pada beberapa alasan ; kelelahan jiwani dan jasmani para pengiring Panembahan Hanykrawati, suasana gelap serta jumlah seluruh orang yang ada di dekat raja Mataram tersebut. Lelaki yang lolos dari kejaran prajurit Mataram pada pemberontakan Madiun itu menginginkan pasukannya dalam kedudukan yang lurus. Ia membagi pasukannya menjadi beberapa gugus tempur dengan tugas yang berbeda. Gugus tempur yang bertugas menjadi pembuka akan memukul lawan, lalu menyebar sambil memecah kekuatan lawan dengan cara mengikat mereka pada gugus-gugus lain yang mendukung mereka. Siasat itu ditempuh dengan tujuan memecah kekuatan pengiring Panembahan Hanykrawati lalu memutus jalur mereka, sehingga perlawanan Mataram pun mudah dilumpuhkan. Ki Sekar Tawang memberi pesan pada senapati agar dapat menjaga senapati lawan.

“Pangeran Selarong harus disibukkan dengan perlawanan yang ketat agar anak itu tidak mempunyai waktu untuk berpikir,” ucap Ki Sekar Tawang. “Demikian pula Pangeran Mas Rangsang, aku ingin kalian dapat mengikatnya dengan kelebihan jumlah orang yang kita miliki. Sementara Agung Sedayu , aku hampir dapat memastikan, akan tertahan dengan keadaan junjungannya. Agung Sedayu mungkin tidak akan banyak membuat gerakan atau mengubah kedudukan demi keselamatan Raden Mas Jolang. Aku harap tidak ada yang kecewa atau keberatan bila senapati garda pemukul adalah Ki Banyuasri, lalu di belakang mereka adalah Mangesthi. Kemudian sebagai pilar yang mampu memperkuat kedudukan mereka adalah Ki Lodoyong.”

Seorang lelaki yang berusia sepantaran dengan Panembahan Hanykrawati kemudian bangkit lalu berjalan ke depan. Ia berkata, “Apakah aku mendapatkan peran?”

Ki Sekar Tawang mengangguk. “Kiai tetap bersama saya, lalu tunggu aba-aba.”

 

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA

Terima kasih.

 

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.