Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 91

“Pendapat Kiai dapat saya terima,” ucap Raden Atmandaru dengan mata berkilat. “Mengosongkan Mataram adalah ujian yang sesungguhnya, tapi kita tahu bahwa itu sangat sulit dilakukan. Mereka bukan kumpulan orang-orang dungu yang buta siasat perang. Meski demikian selalu ada celah dengan memanfaatkan kemelut yang segera terjadi. Bukankah kita masih belum mendapatkan kabar mengenai pengganti Mas Jolang di Kraton? Oleh sebab itu, kita dapat melempar bola panas di antara orang-orang yang berada di dalam lingkungan Kraton dan Kepatihan.”

“Gagasan cemerlang, Raden. Kita dapat memperdaya Mataram dengan cara yang akan dijalankan ini. Saya tidak dapat membayangkan kehebohan dan kegaduhan di antara pengikut setia mereka berdua,” kata Ki Sekar Tawang sambil tersenyum lebar. Pikirnya ketika itu, luar biasa! Bukan main hebatnya pertarungan pendapat tentang orang yang bakal menggantikan Panembahan Hanykrawati. Mungkin gelombang pembicaraan akan berlarut hingga berhari-hari dengan perbedaan-perbedaan yang mungkin mereda setelah berbulan-bulan.

Tibalah hari yang dikehendaki Panembahan Hanykrawati untuk melakukan perburuan di Alas Krapyak. Sejumlah senapati memeriksa dengan teliti kesiapan prajurit yang mengawal perburuan itu. Mereka telah mendapatkan keterangan terakhir mengenai keadaan di Alas Krapyak. Wajah mereka membuncah ketegangan yang tidak dapat ditutupi. Setiap orang tahu mengenai keberadaan orang-orang yang ingin membunuh Panembahan Hanykrawati. Meski sejumlah peringatan serta saran disampaikan agar pemimpin Mataram tersebut mengurungkan perburuan, tapi ucapan hanya sebatas ucapan tanpa sanggup memengaruhi tekad kuat putra Panembahan Senopati tersebut.

Hati yang gundah dan perasaan gelisah mengaduk-aduk suasana sejak fajar belum tiba. Ini seperti seekor mangsa memasuki kandang harimau, demikian yang dikatakan beberapa orang.

loading...

“Kita sedang mengantarkan Panembahan Hanykrawati untuk diterkam dengan kepasrahan yang sangat mendalam,” ucap seorang lurah prajurit ketika sedang menghitung tumpukan kantung makanan karena Panembahan Hanykrawati berencana mendirikan perkemahan di Alas Krapyak.

Sejumlah orang mengungkapkan perasaan mereka bahawa kegiatan perburuan kali ini seperti masuk dalam perangkap orang lalu membuka peluang bagi mereka untuk memperolok-olok Panembahan Hanykrawati dan Ki Patih Mandaraka. “Waktu-waktu ini seperti sedang mendengar ucapan yang merendahkan dua pemimpin kita, meludahi wajah beliau berdua dan seakan-akan pula mereka telah mengalahkan kita semua,” kata salah seorang rangga yang bertanggung jawab pada persediaan senjata dengan segala kaitannya.

“Tapi, apa yang dapat kita perbuat selain memberikan yang terbaik dengan kerja keras yang sesuai dengan perencanaan serta harapan Raden Mas Rangsang?” tanya kawannya. “Mungkin orang-orang yang ingin mengacaukan Mataram memang sudah pada keadaan seperti yang kau katakan, tapi mungkin juga mereka belum berpikir atau bertindak seperti itu.”

“Bukankah kau mendengar percakapan antar pedagang dan orang-orang terpelajar?”

“Aku pikir, itu bukan gambaran keadaan seluruhnya. Memang mewakili tapi tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya bahwa sesungguhnya seperti itulah keadaan yang melanda Mataram. Aku kira tidak seperti itu dan sesempit yang kita dengar karena berasal satu sisi saja. Marilah kita letakkan beberapa pendapat yang dapat menjadi penyeimbang dan lebih menghibur diri kita pada saat ini.”

“Seperti apakah itu?”

“Bahwa kita sama sekali tidak mendengarkan rekaan siasat dari para pemimpin prajurit. Adakah kita mendengar tumenggung membahasnya?”

“Tidak,” jawab rangga itu sambil menggeleng.

“Itulah maksudku,” ucap kawannya dengan nada bersemangat. “Bisa jadi, pemimpin-pemimpin kita merahasiakan rancangan siasat dan hanya menyuruh kita bekerja sebaik-baiknya seperti biasa tanpa harus melihat berkeliling. Padahal, pada waktu yang sama, mereka mungkin sudah memerintahkan teman-teman kita meronda, mengawasi pergerakan lawan dan sebagainya.”

“”Jika harapanmu atau bayanganmu itu benar, aku dapat membayangkan daya tahan para pemimpin yang bekerja dan berpikir keras tanpa membuat riak di permukaan.”

“Lagipula, aku dan engkau bukanlah prajurit rendahan atau orang-orang biasa yang tidak mengenal kehidupan prajurit. Kita terikat dengan paugeran dan juga janji setia. Kita adalah orang-orang dengan nyawa yang sudah terbeli demi keselamatan Panembahan Hanykrawati dan juga Mataram…”

“Benar dan sudah sepatutnya kita berada pada keadaan terbaik untuk menyertai Panembahan.”

Sepasang mata beradu pandang lalu menyatukan tekad.

Pekerjaan mereka dan juga orang-orang lain mendekati batas penyelesaian beriring dengan matahari yang semakin tinggi namun sinarnya terhalang mendung. Udara masih terasa dingin dengan kebekuan yang nyaris sama dengan wayah ayam jantan berkokok ketiga kali. Kesibukan para pedagang di pasar belum begitu meningkat ketika iring-iringan Panembahan Hanykrawati mulai bergerak meninggalkan kraton. Tampak di depan adalah Pangeran Selarong dengan tatap mata waspada mengamati keadaan yang akan dilalui. Berikutnya ada serombongan perwira berpangkat rangga dengan pakaian yang tidak mencolok. Mereka mengenakan kain seperti orang kebanyakan dengan pembeda yang hanya diketahui oleh sesama prajurit saja.

Selanjutnya adalah pedati-pedati yang membawa perbekalan. Di belakang pedati, ada kereta kuda  dengan dua orang berada di kursi sais. Mereka berdua dengan pakaian ringkas sambil memasang penutup pada wajah mereka sehingga yang terlihat hanya dua pasang mata tajam. Tentu saja kereta kuda itu segera menarik perhatian orang kebanyakan. Kereta yang terpampang lambang serta tanda-tanda khusus itu sudah jelas hanya disediakan dan digunakan untuk penguasa istana, tapi mengapa hanya dikelilingi oleh sejumlah kecil prajurit? Keganjilan lain adalah sebagian orang berpikir bahwa ada sesuatu yang aneh pada dua pengendali kuda raja mereka. Pendapat itu muncul ketika mereka tidak melihat adanya senjata yang melekat pada dua sais itu serta tidak seperti biasanya ada sais yang menutup wajah mereka.Pada sisi yang lain, ada yang berpendapat cukup wajar karena Panembahan Hanykrawati adalah pemimpin yang cukup dekat dan tidak segan bergaul tanpa jarak dengan para abdi maupun rakyat.

Iring-iringan itu tidak terlalu panjang karena di belakang kereta kuda adalah sebaris prajurit bersenjata lengkap. Barisan ini biasanya ditempati oleh pasukan pengawal walau pada hari itu ada  sesuatu yang berlainan dari biasanya. Raden Mas Rangsang menempatkan sekelompok orang berpangkat panji di dalam barisan tapi mereka tidak diperkenankan mengenakan tanda kepangkatan.

Dari jarak yang cukup, seseorang mendesah kemudian berkata, “Meski tampak sederhana, tapi sesungguhnya rombongan itu sangat sulit ditembus.”

Ucapan itu didengar oleh orang yang berdiri di sampingnya. Lantas, orang ini menyahutinya, “Dari cara mereka berjalan, dari sinar mata dan punggung-punggung yang berjalan tegap, saya pikir mereka bukan prajurit rendahan. Mungkin rangga adalah pangkat terendah di antara mereka, Raden.”

“Menghujani mereka dengan anak panah atau menyerang mereka secara langsung pun sepertinya hanya akan memperkeruh kolam. Orang-orang segera berlarian seperti semut yang menabrak kiri dan kanan ketika air panas dituangkan tepat di atas lubang mereka,” kata Raden Atmandaru. Dalam waktu itu, sepasang matanya pun segera beralih pada kerumunan orang yang berdiri memberi hormat pada rombongan Panembahan Hanykrawati. Lalu ia berkata lagi, “Kehadiran anak Mas Jolang sebagai pembuka jalan adalah petunjuk bahwa ada segolongan orang-orang berkepandaian khusus di tengah keramaian.”

Sejenak kemudian, mereka berdua bergerak lebih dekat pada rombongan Panembahan Hanykrawati yang tidak berkesan megah. Bahkan secara keseluruhan tampak sederhana namun tetap saja tidak dapat menutup keagungan yang terpancar. Orang-orang yang menunggu sambil berjajar rapi pada sisi jalan  membuncahkan rasa bahagia bahwa ; kehadiran Panembahan Hanykrawati adalah jawaban langsung yang menepis kabar yang menggelisahkan sepanjang waktu.  Dalam waktu itu, Ki Sekar Tawang maupun Raden Atmandaru sama-sama melihat ada pergerakan halus di balik kerumunan banyak orang itu. Walau mereka tidak dapat mengenali orang per orang, tapi mereka mulai menduga bahwa orang-orang yang telah ditempatkan secara rahasia telah dilumpuhkan oleh petugas khusus  Mataram.

“Agaknya kita menemui jalan buntu dalam mengarahkan iring-iringan ini pada jalur yang kita kehendaki,” kata Raden Atmandaru dengan nada geram. “Kita tidak dapat menyerangnya di dalam kota karena kita yakin rubah tua itu tidak meninggalkan kotaraja, tapi sikap perwira Mataram justru menampakkan keadaan yang berbeda. Mereka berkata dan bersikap seolah-olah Ki Juru Martani tidak sedang berada di sisi mereka.” Setelah merenung sejenak, Raden Atmandaru mendesis, “Bahkan kita tidak dapat memaksa mereka menyimpang dari jalur biasanya!”

Ki Sekar Tawang hanya berdiam diri. Itu adalah perubahan yang sama sekali tidak mereka perkirakan. Ketajaman nalar dan siasat para pengikut setia Panembahan Hanykrawati mulai menggelisahkan dua orang pemimpin gerakan makar tersebut.

Pada gelanggang pertarungan antar pengintai dan pembisik rahasia, Mataram sepertinya memang sudah menguasai keadaan. Tidak ada yang menyangka bahwa Ki Patih Mandaraka menerjunkan Nyi Ageng Banyak Patra sebagai punggawa rahasia berdampingan dengan Agung Sedayu serta Kinasih. Yang santer diberitakan adalah Kepatihan hanya dijaga oleh seorang rangga bernama Ki Demang Brumbung. Ki Patih Mandaraka tidak mengumumkan keberadaannya serta juga puteranya, Ki Juru Kiting.

Atas kabar tersebut, para petugas rahasia suruhan Raden Atmandaru  berusaha menguji kebenaran namun kecerdikan Ki Patih Mandaraka sanggup menghanyutkan mereka di atas gelombang ketidakpastian. Sebagian abdi dalem menyatakan bahwa Ki Patih Mandaraka berada di Kraton untuk menjalankan tugas yang diembankan oleh Panembahan Hanykrawati.

Namun, pada bagian lain, prajurit sandi menyatakan bahwa Ki Patih Mandaraka bersama Raden Mas Rangsang sedang memeriksa wilayah-wilayah yang ditengarai menjadi sarang orang-orang yang berencana menusuk Mataram dari belakang. Sekelompok yang lain pun menyatakan keadaan yang berbeda. Hingga kenyataan sesungguhnya pun masih tertutup bagi Raden Atmandaru serta pengikutnya. Maka dengan demikian, mereka hanya dapat melihat keberangkatan rombongan Panembahan Hanykrawati tanpa mampu menguak alasan di balik kekacauan berita yang dihembuskan dari pihak Mataram!

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.