Padepokan Witasem
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 125 – Bersatunya Dua Hati : Agung Sedayu dan Kinasih di Medan Pertempuran

Dari dalam tubuh Ki Sekar Tawang terdengar bunyi berderak pelan tapi mampu membuat gaung yang memenuhi ruangan. Meski tubuhnya tetap tenang namun udara mulai terasa berguncang. Tata gerak Ki Sekar Tawang tampak lambat sehingga bertolak belakang dengan kebanyakan perguruan yang mengedepankan kecepatan. Setiap kali kakinya bergeser maka permukaan tanah pun terkelupas. Setiap kali lengannya berayun maka udara panas dan dingin terasa bergantian berhamburan menyebar. Ki Sekar Tawang menapak perlahan pada jalur ilmu pamungkasnya, Sekar Lembayung. Ilmu ini bersumber pada penyerapan tenaga dari inti bumi melalui telapak kaki dan tangan apabila bersentuhan dengan tanah. Samar-samar terlihat kepulan kabut tipis dari arah punggung Ki Sekar Tawang seiring dengan pengerahan kemampuan yang meningkat sedikit demi sedikit.

Raden Mas Rangsang memandang penuh kekaguman. Pangeran Mataram ini sempat mengerutkan kening betapa ilmu yang dikabarkan sudah punah itu ternyata menyembul di hadapannya. Lelaki muda itu terpesona tapi sama sekali tidak mengabaikan sikap waspada. Maka ia segera bersiap menarik Kyai Sengkelat dari warangka tapi tiba tiba terdengar seseorang berkata padanya dengan suara yang seakan-akan berada di dalam telinga,  “Pangeran, harap menahan diri. Jangan membuat perlawanan atau menyerang orang itu terlebih dahulu.”  Pangeran Mataram tersebut seketika surut setapak, lalu memerhatikan tata gerak dasar Ki Sekar Tawang secara lebih seksama. Ternyata gerakan-gerakan Ki Sekar Tawang mengalir sangat lambat dengan akibat yang sangat hebat! Kibasan tangannya tidak serta merta menabrak dinding lalu menghancurkannya, bahkan seolah-olah tidak berubah sedikit pun. Namun ketika angin tenaga menyentuh kulit manusia maka itu terasa seperti hantaman batu yang meremukkan tulang belulang.

Dalam waktu hampir bersamaan, pada jarak lebih dua kali lontaran anak panah, Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan dirinya sedang menanggung beban berat yang lain yaitu keselamatan Kinasih. Meski hanya mengandalkan kecepatan gerak yang tidak sepenuhnya dikerahkan, Agung Sedayu cekatan memainkan cambuk dengan satu sisi tangan saja. Bila semula Kinasih bergerak dengan bertumpu pada pegangan erat tangan kiri Agung Sedayu, maka gadis itu pun semakin paham bahwa ia cukup menyesuaikan diri dengan tata gerak senapati Mataram itu. Jika Agung Sedayu bergerak ke kiri maka Kinasih pun membayangi sambil melihat celah untuk melepaskan serangan meski hanya berlandaskan tenaga wadag. Walau pun pengenalan mereka untuk bertempur berpasangan baru saja dimulai, tapi Agung Sedayu dan Kinasih sangat cepat menyesuaikan diri dan saling memahami cara mengisi kelemahan atau menopang kekuatan. Maka demikianlah mereka bertempur dan semakin tangkas walau jumlah musuh semakin bertambah.

Cambuk Agung Sedayu masih berayun dan menggelepar di udara, lalu secara tiba-tiba kulit Agung Sedayu meremang. Panggraitanya bergerak cepat memberi kabar dari dalam kepala bahwa sesuatu yang  diliputi keagungan sedang terjadi di panggon ngiyub Panembahan Hanykrawati. “Panembahan, Pangeran,” ucap Agung Sedayu dalam hati dengan nada penuh harap berbaur cemas.

loading...

“Kinasih!” seru Agung Sedayu sambil memberi tanda agar Kinasih segera melompat ke punggungnya.

Kinasih yang sedang berkelahi di samping Agung Sedayu pun cepat berpaling tapi tidak melihat bahaya dari arah belakang Agung Sedayu. Maka ia menggeleng lalu kembali menyerang seorang lawan yang kehilangan senjata akibat tendangan yang cukup keras.

“Kinasih!” Agung Sedayu mengulang seruan namun tangannya lebih tegas memberi tanda dengan tujuan yang sama.

Maka gadis itu pun akhirnya mengerti. Tapi sekejap ia berpaling muka karena semburat merah segera memenuhi paras wajah. Oh, tentu saja Kinasih merasa malu jika tiba-tiba harus berada dalam gendongan Agung Sedayu sementara mereka tidak mempunyai hubungan darah atau alasan lain yang dapat dimaklumi. Hampir saja Kinasih menutup muka dan terbabat serangan lawan bila Agung Sedayu tidak cepat menarik lengannya.

Namun demikian, meski sudah berada di balik punggung Agng Sedayu dan jauh lebih aman dari serangan, Kinasih tetaplah seorang gadis yang jauh dari hingar bingar  gemuruh rasa. Ia masih menyembunyikan wajah dan tidak sanggup berpikir sedikit pun. Kinasih juga tak mampu membayangkan yang akan terjadi selanjutnya. Lututnya bergetar seiring dadanya yang berdebar-debar.

Pada hari-hari ketika Agung Sedayu masih dalam perawatan akibat pengaruh keris Kyai Plered, Kinasih tidak pernah membayangkan bahwa ia harus menggantungkan keselamatan pada orang lain. Nyi Ageng Banyak Patra justru mengajarkan padanya agar mengurangi ketergantungan pada orang lain. Oleh sebab itu, Kinasih tidak pernah sekali pun merasa gentar atau gamang meski kegelapan malam melingkup rapat padepokan yang cukup jauh dari rumah-rumah penduduk. Bahkan Kinasih lebih banyak mengulurkan tangan ketika gurunya mulai membekali beberapa pengetahuan tentang pengobatan dan kanuragan.

Maka, di balik punggung Agung Sedayu dan dari balik sepasang matanya yang terpejam, hati Kinasih serasa ingin memberontak pada keadaan yang memaksanya terikat pada senapati Mataram itu. Tapi bila ia melepaskan diri dari gendongan, itu pun menjadi bahaya yang mengancam keselamatannya. Raga Kinasih belum cukup memadai untuk membela diri dari terkaman para pengikut Raden Atmandaru yang sangat buas.

Perasaan Kinasih terombang-ambing dalam keraguan. Ia cukup bahagia sangat dekat dengan Agung Sedayu dan sekaligus merasa tersiksa karena sangat tergantung juga pada lelaki itu. Jantung Kinasih tiba-tiba berdebur keras dan kencang ketika teringat bahwa Agung Sedayu telah mempunyai keluarga.

Kinasih merasakan bahwa waktu bergulir cukup lama walau senyatanya Agung Sedayu telah mencapai tempat Panembahan Hanykrawati dalam sekejap mata saja. Kinasih tergugah kesadarannya ketika jari Agung Sedayu menyentuh tangannya yang erat memegang bahu senapati Mataram itu. Murid  tunggal Nyi Banyak Patra pun membuka mata lalu melihat dua orang sedang berdiri berhadapan dengan pancaran tenaga cadangan yang luar biasa. Gadis ini segera melompat turun saat tangan Agung Sedayu melepaskan pegangannya dengan cara yang lembut. Sambil menyembunyikan rasa malu yang masih hinggap dalam hati, Kinasih mengayun langkah di belakang Agung Sedayu, kemudian duduk di atas salah tumitnya dengan pandangan menatap Panembahan Hanykrawati seolah ada sesuatu yang ingin diungkapkan tapi tidak dengan kata-kata.

Melalui panggraita dan pendengarannya yang sangat tajam, Raden Mas Rangsang mengetahui kedatangan Agung Sedayu. Ia memandang sekilas pada pemimpin pasukan khusus yang telah berada di dalam ruangan dengan tatap mata lega sekaligus bertanya dalam hati, “Ada apakah ini? Mengapa Ki Rangga meninggalkan rencana semula? Dan mengapa beliau melarangnya meladeni pengerahan ilmu Ki Sekar Tawang?”

Agung Sedayu membalas tatapan mata itu dengan anggukan kepala penuh arti, lalu memandang  Ki Sekar Tawang yang bergerak-gerak pada tatanan dasar kanuragan. Meski begitu, Agung Sedayu tidak segera turun tangan menggantikan kedudukan Raden Mas Rangsang. Dari pengalaman dan pemikirannya tentang kekuatan asing yang muncul dari Kyai Plered, Agung Sedayu sadar bahwa Panembahan Hanykrawati benar-benar berada di luar jangkauannya. Bahkan, murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu dapat memastikan bahwa Panembahan Hanykrawati sedang bertahan dari gempuran Ki Sekar Tawang dengan cara ajaib.

Tentu saja sikap Agung Sedayu yang sedang berpangku tangan membuat Raden Mas Rangsang heran. Ia hendak melangkah kaki menghampiri senapati itu namun cepat dilihatnya Agung Sedayu menggerakkan tangan sebagai tanda agar pangeran Mataram itu tetap di tempat.

“Pangeran,” ucap Agung Sedayu melalui pengiriman suara jarak jauh dalam getaran yang hanya dapat didengar oleh Raden Mas Rangsang. “Maafkan sikap saya. Tapi Panembahan sedang berada pada puncak penyerahan diri yang sejati.”

Raden Mas Rangsang – yang berdiri di tengah dengan maksud melindungi Panembahan Hanykrawati dari serangan langsung Ki Sekar Tawang – mulai membuat pengamatan lebih mendalam. Pangeran ini mengetahui bahwa ayahnya belum bergeming dari keadaan semula. Pendengarannya yang tajam pun semakin ditingkatkan dengan pengerahan ilmu yang serupa dengan Sapta Pangrungu, maka terdengarlah kemudian bahwa napas Panembahan Hanykrawati yang jauh lebih halus dari sebelumnya. Lebih halus meski dibandingkan dengan saat-saat menghimpun tenaga cadangan di dalam diri. Lebih lembut dari sapaan udara pagi yang turun dari puncak Merapi. Sedangkan dari bagian depan, pancaran tenaga yang terhambur dari setiap gerak Ki Sekar Tawang ternyata makin kuat berdenyut. Sebelum kedatangan Agung Sedayu dan Kinasih, putra raja tersebut masih menganggap bahwa Ki Sekar Tawang sedang menyusun dasar serangan. Ia tidak salah dengan anggapan itu karena memang Ki Sekar Tawang hanya melakukan gerakan-gerakan kecil saja walau kekuatannya yang sangat besar sudah dapat dibayangkan. Seiring dengan pengerahan ilmu Sekar Lembayung yang bertahap meningkat walau lambat, Raden Mas Rangsang pun dapat menyadari tujuan dan alasan Agung Sedayu meninggalkan gelanggang pertempuran di sekitar perbatasan hutan.

Untuk menggeser setapak kaki pada jarak sehasta pun seolah membutuhkan waktu yang lama. Tapi tidak ada seorang pun yang mengira bahwa pergeseran itu ternyata sanggup membuat permukaan tanah bergetar sehingga kaki-kaki amben, seperangkat kursi dan meja tampak bergoyang-goyang. Pemandangan itu pun akan dapat menipu penglihatan seseorang yang sudah tentu mengira sedang terjadi lindu yang ringan. Ki Sekar Tawang benar-benar bergerak sangat lambat. Wajahnya tampak penuh kesungguhan dengan pemusatan pikiran dan tenaga yang mulai bergulung-gulung melingkarinya. Keadaan itu tampak jelas dari debu dan serpihan benda ringan yang mengerucut mengelilingi dirinya. Dalam waktu itu juga terdengar gemuruh angin walau lirih tapi putarannya semakin tampak kencang sehingga gemuruh pun akan mengeras ketika tiba saatnya.

Pusaran angin itu mulai bergerak, bergeser perlahan mendatangi Panembahan Hanykrawati yang masih bersila tenang dengan mata terpejam. Yang terjadi selanjutnya adalah kejutan beruntun yang menghentak-hentak jantung setiap orang yang melihatnya. Betapa pusaran angin itu bergerak maju agak cepat lalu terpental kemudian ambyar, lantas terbentuk pusaran lagi, menyerang Panembahan Hanykrawati, terpental, ambyar, terbentuk lagi dan berulang hingga tiga atau empat kali percobaan. Dan keadaan raja Mataram itu pun sama sekali tidak berubah. Tubuh Panembahan Hanykrawati juga tidak tampak tersentuh hingga terguncang.

Ki Sekar Tawang pun memandang Panembahan Hanykrawati dengan tegang. Ia mendesis, “Sulit dipercaya! Bagaimana ia sama sekali tidak dapat disentuh?”

Agung Sedayu, Kinasih dan Raden Mas Rangsang melihat semua itu dengan dada bergolak. Tulang dan otot mereka seakan sulit digerakkan. Pengaruh kehebatan ilmu Sekar Lembayung benar-benar dapat dirasakan oleh mereka bertiga betapa terpaan angin itu dapat membuat denyutan-denyutan yang hanya terasa di bawah kulit!

“Sedang terjadi apakah di sini, Ki Rangga?” tanya Kinasih yang berdiri berdekatan dengan Agung Sedayu.

“Benturan dua keinginan yang berbeda tujuan,” jawab Agung Sedayu.

“Saya tidak mengerti,” kata Kinasih.

“Panembahan Hanykrawati tidak dalam keadaan ingin bertahan maupun menyerang. Dua keadaan itu sudah seperti bukan lagi menjadi kedudukan yang ingin dicapainya. Sementara Ki Sekar Tawang sudah nyata menunjukkan keinginan untuk membunuh Panembahan dengan cara meremukkannya terlebih dulu seperti cara ular sanca kembang.”

“Lalu…?”

“Lalu seperti yang kau lihat,” ucap Agung Sedayu. “Setiap serangan Ki Sekar Tawang tidak dapat menyentuh Panembahan Hanykrawati. Tidak memengaruhi sedikit pun. Kau bisa perhatikan bahwa pusaran angin itu musnah meski belum masuk dalam jangkauan bertahan Panembahan.”

“Tapi saya tidak melihat Panembahan berbuat sesuatu pun. Tidak ada pergerakan tangan atau apa saja. Beliau hanya diam menerima semua serangan.” Kinasih menggeleng-geleng dan agaknya masih terpukau dengan segala yang dilihat olehnya di dalam pesanggrahan. Dalam pikirannya muncul pertanyaan, apakah ada benda pusaka yang melindungi Panembahan Hanykrawati?

Agung Sedayu melanjutkan kata-katanya, “Dan serangan itu benar-benar hebat karena dapat melewati Raden Mas Rangsang tanpa mengusiknya sedikit pun. Ilmu Ki Sekar Tawang seakan-akan mempunyai mata dan kehendak yang dapat dikendalikan atau kesadaran yang terpisah dari Ki Sekar Tawang sendiri. Ini pertunjukkan dari pencapaian yang luar biasa, sungguh!”

Demikianlah Ki Sekar Tawang yang tidak pernah berkeinginan menahan diri untuk menghabisi Panembahan Hanykrawati pun semakin kuat mengerahkan segala kemampuannya. Segala pengetahuan dan pengalaman yang ada di dalam dirinya pun telah ditumpahkan untuk satu tujuan sehingga akibatnya pun begitu dahsyat. Kayu-kayu penyanggah pesanggrahan mulai berderak seperti akan patah lalu terhisap dalam pusaran tenaga yang bersumber dari ilmu puncak yang dikuasai Ki Sekar Tawang. Dinding bambu pun turut bergetar dan bisa jadi benda-benda itu segera terangkat kemudian membumbung tinggi.

Namun, yang sangat mengherankan sekaligus mengkhawatirkan adalah sikap Panembahan Hanykrawati itu sendiri. Betapa penguasa Mataram itu sama sekali tidak tampak bergerak sedikit pun. Hanya duduk bersila di atas amben sambil memejamkan mata! Seolah-olah tidak terpengaruh dengan guncangan hebat yang nyaris merobohkan pesanggrahan yang berdinding bambu itu. Sedangkan Raden Mas Rangsang – yang semula hanya berdiri tegak – telah menekuk dua lututnya demi mempertahankan diri dari tarikan tenaga dahsyat ilmu Sekar Lembayung.  Semakin kuat Ki Sekar Tawang mengerahkan tenaga, semakin kuat pula belitan ilmu yang melewati pangeran Mataram itu  dengan cara melengkung. Maka keadaan Raden Mas Rangsang pun makin sulit karena setelah serangan Ki Sekar Tawang mencapai kedudukan Panembahan Hanykrawati, serangan itu lantas memantul kemudian melintasi sisi yang lain. Sehingga putra Panembahan Hanykrawati itu pun seolah-olah berada di tengah dua elor ular raksasa yang saling membelit dan tarik menarik dengan kekuatan raksasa.

Tubuh Raden Mas Rangsang pun tampak bergoyang ke kanan dan kiri. Kadang-kadang terlihat seperti terhisap kekuatan gaib dari bagian depan sehingga pangeran Mataram itu pun harus bertahan dalam kedudukannya agar tidak membentur sumber serangan yaitu Ki Sekar Tawang. Bahkan sekali atau dua kali seakan ada tangan yang tak kasat mata sedang mendekap lalu menarik lehernya ke belakang sehingga mengganggu jalan pernapasan putra raja Mataram itu. Maka satu-satunya jalan baginya adalah mengikuti pesan Agung Sedayu supaya memperkuat kuda-kuda sambil mengikuti arah pusaran yang terkuat, lalu melemaskan otot dan pergelangan supaya dirinya dapat berayun seperti rumput yang diterpa badai yang sangat hebat! Cengkraman demi cengkraman, belitan demi belitan pun silih berganti mendera Raden Mas Rangsang hingga tanpa terasa tapak kakinya pun terbenam hingga mata kaki atau lebih tinggi lagi! Jejak kaki pangeran Mataram ketika bergeser-geser di permukaan tanah  pun meninggalkan guratan yang mengejutkan.

Dalam waktu itu, baik Agung Sedayu maupun Kinasih hanya dapat memerhatikan perkembangan saja. Hanya saja  Agung Sedayu sudah bersiap dengan cambuk yang terjuntai hingga menyentuh tanah -untuk berjaga-jaga apabila Panembahan Hanykrawati atau Pangeran Mas Rangsang tiba-tiba terlepas lalu terjebak dalam pusaran tenaga yang sangat hebat dan tak kunjung reda itu.

Pergulatan antara sikap diam Panembahan Hanykrawati dengan ilmu yang memancar dari Ki Sekar Tawang benar-benar membingungkan! Seluruh serangan dan lontaran ilmu Ki Sekar Tawang membadai, lalu berusaha membelit namun buyar seketika walau belum menyentuh kulit Panembahan Hankyrawati. Bagaimana raja Mataram itu dapat memusnahkan daya serang ilmu Sekar Lembayung? Apakah dugaan Kinasih memang benar bahwa ada kekuatan benda pusaka yang melindungi Panembahan Hanykrawati?

Sebenarnyalah Panembahan Hanykrawati telah mencapai tingkat penyerahan tertinggi. Di dalam hati dan pikiran Panembahan Hanykrawati sudah tidak ada keinginan atau kehendak sedikit pun walau sekedar kemauan bertahan dari serangan. Pada akhir percakapan atau setelah menyerahkan keris Kyai Sengkelat pada Raden Mas Rangsang, Panembahan Hanykrawati meyakini bahwa dirinya sudah berhadap-hadapan dengan wajah Yang Maha Agung. Maka tidak ada jalan untuk berbelok, memutar atau mengulur waktu selain menghadapkan seluruh hati dan pikirannya pada Yang Maha Kuasa. Putra Panembahan Senapati tersebut dalam keadaan eling sangkane saka ngendi lan eling parane bakal menyang ngendi. Ia yang dulu tiada, bukan sesuatu yang dikenal lalu ada kemudian dikenal, maka perjalanan menuju kelanggengan menjadi keniscayaan. Dalam kedudukan seperti itu, Panembahan  Hanykrawati hanya mengikuti pusaran jiwani yang sedang terjadi di dalam dirinya sendiri.

Sementara di luar tubuh wadag Panembahan Hanykrawati, Ki Sekar Tawang benar-benar merasakan  dahsyatnya tolakan atau benteng ajaib yang mengelilingi raja Mataram tersebut. Demikian hebat tolakan itu maka permukaan tanah serasa berguncang dan dinding bambu makin bergetar kuat. Pilar-pilar penyanggah pesanggarahan pun turut bergetar seakan-akan bangunan itu akan roboh dalam waktu singkat.

Namun yang terjadi kemudian bukan lagi tolakan yang mementahkan serangan Ki Sekar Tawang. Benteng ajaib itu tiba-tiba berubah menjadi kekuatan yang sanggup menghisap seluruh kekuatan orang yang dulu dikenal dengan nama Ki Kebo Lungit itu. Begitu kuat dan sangat hebat hingga dirasakan oleh Ki Sekar Tawang seolah-olah sumber ilmunya pun akan tercabut seperti pohon yang tumbang bersama akarnya pula. Raut mukanya terlihat pucat saat membayangkan kehancuran dirinya bila Sekar Lembayung terhisap kekuatan maha dahsyat yang berputar-putar mengitari Panembahan Hanykrawati. Wajah Ki Sekar Tawang kemudian menegang dan tampak memerah saat berusaha mengendalikan agar ilmunya tidak terlepas darinya. Seluruh urat saraf dan ototnya bekerja keras bertahan supaya ilmu Sekar Lembayung dapat terlepas dari cengkeram sangar kekuatan yang melindungi Panembahan Hanykrawati.

Pesanggarahan pun meledak beberapa saat kemudian. Dinding bambu berhamburan ke segala arah. Pilar penyanggah berderak patah lalu mencelat ke segala penjuru.

Peristiwa hebat yang meremas hati setiap orang yang ada di dalam dan sekitar pesanggarahan itu. Radn Mas Rangsang mendadak jatuh terduduk dengan Kyai Sengkelat tergenggam erat di tangan. Kinasih tanpa sadar tiba-tiba memeluk erat satu lengan Agung Sedayu. Ki Baya Aji, Pangeran Selarong serta Ki Ajar Mawanti hanya dapat memandang dengan sikap beku. Ki Panji Badra Wungu dan Ki  Banyuasri pun mendadak menghentikan pertarungan mereka tanpa sadar. Mereka semua hanya berdiri di tempat masing-masing dan hanya mematung dengan tatap mata kosong. Segenap pikiran dan perasaan mereka seolah-olah ikut tersedot oleh kekuatan hebat nan ajaib yang seakan menjadi pelindung Panembahan Hanykrawati. Mereka tidak melihat keadaan Ki Sekar Tawang yang terpental lalu  jatuh terkapar, kemudian terseret ke arah Panembahan Hanykrawati sambil berkelojotan dengan mata terbeliak seperti ada yang mencekiknya. Nyaris saja, mungkin kurang dari sekejap mata, tubuh Ki Sekar Tawang akan menubruk Panembahan Hanykrawati yang masih bersila hingga Agung Sedayu berkelebat menyambar tubuh raja Mataram tersebut, memindahkan ke gendongan lalu tegak berdiri dengan sikap perkasa sambil memandang Ki Sekar Tawang yang .terbanting-banting menjelang saat-saat terakhirnya.  Untuk sejumlah orang, mereka dapat mendengar bunyi tulang-tulang yang patah. Lalu udara bergetar hebat ketika gumpalan ilmu Sekar Lembayung yang tersisa menjadi ambyar berserakan.

Untuk beberapa lama, keadaan sekitar tempat yang menjadi pesanggarahan menjadi sunyi. Setiap orang seperti kehilangan akal untuk mengurai peristiwa dahsyat yang baru saja terjadi di depan mata. Mereka hanya sadar bahwa kejadian itu adalah gelar kekuatan atau bukti kekuasaan yang berada di luar jangkauan nalar mereka.

Pertempuran keras di Tanah Perdikan setelah lewat belasan tahun..

Adalah Agung Sedayu yang bergerak pertama kali untuk membaringkan Panembahan Hanykrawati pada tanah yang yang layak. Diikuti kemudian Raden Mas Rangsang dan Pangeran Selarong yang mengulurkan tangan untuk membuat pembaringan sekedarnya agar Panembahan Hanykrawati tidak terlalu lama terbaring di tanah. Sementara Ki Baya Aji dan senapati lainnya segera memeriksa keadaan Ki Sekar Tawang yang ternyata sangat mengenaskan. Ketika melihat tidak ada yang dapat diperbuat untuk Ki Sekar Tawang, para senapati pun bergegas menghampiri Panembahan Hanykrawati yang berbaring penuh ketenangan. Bersimpuh di samping kanan Panembahan Hanykrawati adalah Raden Mas Rangsang dan Pangeran Selarong. Diikuti para senapati di belakang mereka lalu Agung Sedayu dan Kinasih berada di barisan paling belakang.

Dari kedudukannya itu, Agung Sedayu dapat melihat Ki Ajar Mawanti berlalu pergi meninggalkan mereka, begitu pula Ki Banyuasri. Tapi pemimpin pasukan khusus itu tidak berkeinginan untuk mengejar atau menangkap mereka. Agung Sedayu merasa bahwa ia harus menempatkan diri dengan baik ketika putra-putra Panembahan Hanykrawati sedang mengucap kalimat perpisahan pada  ayah mereka. Bagaimana ia dapat meninggalkan mereka semua sementara doa serta harapan terbaik bagi Panembahan Hanykrawati sedang menanjak tinggi dalam sunyi? Selain itu pula, apakah ia dapat bertempur dengan baik sementara perasaannya sendiri sedang berduka? Lantas ia berkata pada Kinasih, “Tetaplah di sini.”

Kinasih mengangkat wajah, memandang Agung Sedayu dengan raut wajah muram, lalu katanya, “Apa yang akan Ki Rangga lakukan?”

“Aku akan menarik mundur pasukan. Katakan itu bila ada yang bertanya.”

Kinasih kembali membenamkan wajah dalam-dalam.

Sementara itu, pertempuran pada beberapa bagian hutan masih berlangsung sengit hingga udara menghentak mereka dengan sangat keras. Sejumlah orang Mataram segera menarik diri sambil menunggu perkembangan. Dalam keadaan longgar itu, sebagian pengikut Raden Atmandaru segera meninggalkan gelanggang ke beberapa tujuan. Ada yang bergerak ke barat dengan perkiraan mereka menuju Gunung Kendil. Ada pula yang bergeser ke timur – mungkin akan menggabungkan diri ke dalam kekuatan Ki Garu Wesi yang masih bercokol di sekitar Kademangan Sangkal Putung.

Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu datang menemui pemimpin-pemimpin kelompok agar menarik senjata lalu berkumpul di tempat yang dulu menjadi pesanggarahan.

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA

Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.