Di bawah regol pedukuhan, Pangeran Purbaya berdiri berdampingan dengan Pandan Wangi, Kemudian kata Pangeran Purbaya, “Wangi, seberapa cepat kau siapkan pengawal berkuda?”
Sedikit mencondongkan tubuh menghadap Pangeran Purbaya, Pandan Wangi menjawab, “Kami segera siap dengan sepuluh penunggang kuda untuk saat ini.” Dalam waktu itu, ia segera meminta salah seorang kepala pengawal untuk menyiapkan kuda perang.
Pangeran Purbaya mengerti bahwa ia tidak dapat meminta lebih banyak karena Gondang Wates tidak mempunyai kuda tegar yang siap untuk berperang. Sorot mata Pangeran Purbaya tajam melihat barisan pengawal yang mundur teratur. Ia sedang mencari satu atau dua orang yang dapat menjalankan perintah susulan darinya. “Glagah Putih, Sabungsari,” desisnya dalam hati mengingat dua prajurit muda Mataram yang turut bergabung dalam kemelut Gondang Wates. “Sukra?” Pangeran Purbaya menimbang nama yang muncul belakangan dalam benaknya.
Pandan Wangi juga mengawasi pergerakan mundur kedua pasukan. Ketika kepala pengawal kembali memberi laporan padanya, Pandan Wangi berkata pada Pangeran Purbaya, “Kami siap, Pangeran.”
Jalan pikiran Pangeran Purbaya memberi tahu bahwa Sabungsari dan Glagah Putih pasti tidak sedang dalam kedudukan yang berdekatan. Untuk menjalankan siasat berikutnya, Pangeran Purbaya harus mengerahkan segenap kemampuan mengirimkan suara jarak jauh. Namun, apakah dua prajurit itu dapat mendengar atau mengenal suaranya? Pangeran Purbaya tidak meragukan kemampuan mereka berdua. Mereka bukan prajurit biasa, tetapi prajurit dengan kemampuan yang dapat disetarakan dengan senapati berpangkat panji.
“Sabungsari, Glagah Putih. Aku ingin kalian berputar arah. Ambillah jarak dari orang terbelakang atau terluar pada barisan kita, lalu tunggu pasukan berkuda yang akan datang di belakang kalian. Jika kalian membawa pasukan, segeralah berputar sambil tetap membuat perhitungan dengan waktu tiba pasukan berkuda yang aku kirim untuk kalian,” demikian perintah Pangeran Purbaya melalui suara yang merambat di udara dengan getaran khusus.
“Pangeran,” bisik hati Sabungsari dan Glagah Putih dalam waktu bersamaan pada tempat yang berjauhan.
Sabungsari mengikuti perintah Pangeran Purbaya dengan memberi tanda pada pengawal yang dipimpinnya. Sesuai yang diminta Pangeran Purbaya, Sabungsari mengambil jalan samping, lalu menyilang.Sabungsari berencana memukul barisan terbelakang dari pasukan Ki Sor Dondong. Jarak mereka tidak terlalu jauh, tetapi Sabungsari yakin bahwa kecepatan lawan pasti berkurang karena dera rasa kebingungan. Sebaliknya, justru akan terjadi lonjakan semangat jika pengawal yang dibawahnya dari Watu Sumping diperintahkan untuk mengejar lawan.
“Ki Lurah, ada apa?” ucap lirih seorang pengawal induk ketika melihat Sabungsari berhenti lalu memutar arah langkahnya.
“Kita mendapat perintah untuk mengejar mereka!” tegas Sabungsari. Maka, benarlah dugaan Sabungsari. Para pengawal yang berasal dari pedukuhan induk merasa seperti menghirup udara segar. Mereka mengikuti Sabungsari, berbalik arah, menyilang jalan, mengejar pasukan lawan!
Di tempat lain, Glagah Putih segera meneriakkan nama Sukra. Ia berteriak sekencang-kencangnya sambil meloncat-loncat. Itu dilakukannya agar orang-orang yang mendengar suaranya akan melambatkan langkah, dan Sukra dapat melihat kedudukannya. Harapan Glagah Putih berjalan sesuai rencana.
“Kakang?” bertanya Sukra ketika dapat mencapai tempat Glagah Putih.
“Marilah, ikuti aku!” perintah Glagah Putih.
Kening Sukra berkerut tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk bertanya. Glagah Putih tidak memberinya kesempatan, bahkan untuk membuka mulut! Glagah Putih menarik tangan Sukra, berlari melebar menuju bagian tengah tanah lapang itu. Sukra mengikutinya dengan pertanyaan yang belum tersampaikan. Namun sejenak kemudian, Sukra paham bahwa mereka akan melakukan sesuatu yang mengejutkan lawan.
Lamat-lamat derap kaki kuda terdengar. Barisan pengawal pedukuhan yang bergerak mundur pun tersibak. Beberapa orang tampak akan menggabungkan diri tetapi terdengar suara lantang melarang mereka. “Kalian tetap mundur. Tunggu perintah selanjutnya!” Pandan Wangi berada terdepan memimpin pasukan berkuda. Perempuan berparas menarik ini terlihat gagah dalam balutan pakaian yang ringkas. Ia cekatan mengendalikan kuda sambil tetap mengingatkan para penawal agar tetap mundur sampai regol pedukuhan.
Perkembangan yang terjadi pada kubu pengawal Gondang Wates tidak lepas dari perhatian pemimpin pasukan lawan. Seorang penghubung mengarahkan kudanya sangat cepat ke arah Ki SOr Dondong.
“Kiai!” seru penghubung lawan, “Mereka mengejar kita!“
Ki Sor Dondong memang mempunyai dugaan bahwa akan ada rencana selanjutnya dari lawannya. Bahkan, sepertinya ia sudah mempersiapkan siasat penangkal. Ki Sor Dondong menyebut nama-nama yang menjadi tanda kenal pasukannya. Mereka tetap diperintahkan untuk mundur. Namun untuk barisan yang semula berada di belakang, Ki Sor Dondong memberi perintah yang berlainan. Pada petugas penghubung, Ki Sor Dondong berpesan, “Perintahkan mereka untuk maju. Katakan pula, aku menghendaki adanya perputaran satuan perang!”
“Mengerti, Kiai.” Penghubung yang berwajah sedkit bulat itu segera mendahului gerak besar pasukannya. Ia akan segera mencapai barisan yang sekarang menjadi terdepan untuk memutar arah dan bersiap menjadi perisai yang tajam, perisai bertepi tajam yang sanggup melukai lawan.
“Itulah yang kami tunggu-tunggu!” sahut salah seorang kepala satuan perang Ki Sor Dondong. “Kawan-kawan, saatnya untuk bergembira!” Mereka bertempik sorak. Gemuruh perang kembali terdengar riuh pada barisan Ki Sor Dondong.
Perubahan mendadak yang diputuskan Ki Sor Dondong mendapatkan perhatian dari Ki Astaman. “Mundur, lalu maju lagi. Baiklah, kali ini aku akan bertukar lawan,” desis Ki Astaman. Dari tempatnya, ia dapat melihat pergerakan pasukan Sabungsari yang melintas arah menyilang, bakal memukul barisan belakang pasukan Raden Atmandaru yang belum berganti kedudukan dengan kawan-kawannya yang sedang melaju menuju arah Gondang Wates. “Kelompok itu akan datang lebih cepat dari barisan yang ditukar Ki Sor Dondong,” katanya dalam hati. Maksudnya adalah Sabungsari dan pengawal yang mengikutinya akan dapat memukul lawan dari belakang, ketika terjangan itu melanda, satuan perang yang direncanakan Ki Sor Dondong tidak dapat menghadang serangan itu.
“Baiklah, kita lihat, siapa yang terlebih dahulu datang!” Ki Astaman berucap gemas karena siasat Pangeran Purbaya sedikit banyak telah mengacaukan langkah-langkah Ki Sor Dondong.
Seorang lelaki muda terlihat sigap mengarahkan orang-orang yang turut berlari di belakangnya. “Kalian lihat, kita semakin dekat. Ayo, lebih cepat lagi!” perintah lelaki muda itu.
“Cukup sampai di sini!” Ki Astaman menghadang jalur Sabungsari.
Namun lurah prajurit Mataram itu cakap berpikir. “Kalian akan berjumpa dengan Glagah Putih. Kendali pasukan akan berada padanya. Aku akan hadapi orang ini.”
“Baik, Sabungsari,” ucap seorang pengawal yang belum mengetahui bahwa orang yang bicara itu adalah seorang lurah prajurit Mataram yang berbarak di Jati Anom.
“Apakah ini suatu kebetulan?” Kening Ki Astaman berkerut ketika mengucapkan itu.
“Apa maksud Ki Sanak?” Sabungsari bertanya balik.
“Apakah aku berhadapan dengan orang yang membunuh Carang Waja? Benarkah aku sedang berdiri di depannya?”
Sabungsari mengerutkan alis. Ia teringat peristiwa yang melibatkan orang-orang Pesisir Endut. “Aku tidak ingat,” jawab Sabungsari bermaksud menggoyang ketahanan jiwani orang yang berusia lebih tua darinya. Semoga berhasil, harap Sabungsari.
“Hebat,” sindir Ki Astaman. “Begitu banyak orang yang terbunuh olehmu hingga kau melupakan sebuah nama. Mungkin terlalu banyak nama yang kau simpan dalam ingatanmu. Tapi, aku dengar seseorang menyebut namamu, Sabungsari, ya, tidak salah, Sabungsari. Aku adalah teman baik ayahmu, Ki Gede Telengan. Dan aku, seperti yang lainnya, sangat kecewa karena kau justru berkawan baik dengan Agung Sedayu. Bahkan lebih buruk lagi adalah kau menjadi prajurit Mataram. Sabungsari, aku akan menyelesaikan pencarianku.”
Ki Astaman menyerang dengan sepasang tangan kosong yang membadai.
Untuk sekejap waktu, Sabungsari tertegun. Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam benaknya tetapi ia tidak mendapat kelonggaran karena Ki Astaman bertarung kesetanan!
Sabungsari melejit surut. Membenahi kedudukan meski harus berloncatan menghindar. Ia belum mendapat kesempatan membalas serangan.
Ki Astaman sungguh-sungguh berkelahi seperti kerasukan setan. Ki Astaman kesetanan ketika menemui Sabungsari sebagai anak yang tidak menunjukkan bakti pada Ki Gede Telengan. Hati orang tua mana yang tidak sakit jika anaknya tidak meneruskan perjuangannya? Ki Astaman merasa pantas untuk kecewa, merasa wajar jika menghukum Sabungsari yang –menurutnya- pasti telah mengecewakan Ki Gede Telengan.