Di atas jembatan kecil yang mulai bergoyang, Ki Bluluk Rambang terhalang oleh Sukra yang cukup kokoh dalam ayun titian bambu.
“Apakah engkau berada di situ cuma untuk bicara saja?” Ki Bluluk Rambang memancing Sukra agar terlebih dahulu menyerangnya.
Sukra bergumam, kemudian katanya, “Aku ingin tahu, apakah engkau bernyali jika berkelahi di sini? Sedangkan kau adalah bagian dari orang-orang yang gemar melarikan diri.”
“Aku yakin engkau belum lama mempelajari gerak dasar kanuragan, tapi aku harus memujimu karena kebodohan yang tak terkira,” sindir Ki Bluluk Rambang. “Berpikirlah tentang garis nasibmu di masa mendatang.”
Sukra bergerak, menderas ke depan dengan sepasang senjata yang berbeda dalam genggamannya. Sebilah pedang telanjang berkelebat, berdesing lalu membelah udara gelap. Ki Bluluk Rambang beringsut setapak. Penuh kepercayaan diri, ia menyambut serangan Sukra. Dalam waktu itu, dua pengawal Sangkal Putung telah berada di ujung jembatan. Pikir mereka, sebenarnya sangat sulit berkelahi di atas titian yang terus menerus berayun. Jika keseimbangan hilang, maka hal buruk akan menimpa seseorang. Namun, kegesitan Sukra benar-benar membuat mereka terkejut.
Sukra berloncatan ke dua sisi secara bergantian. Sungguh, ia lebih mirip belalalng tempur seperti yang yang didengungkan Pangeran Purbaya dalam hatinya. Kadang-kadang Sukra menyerang dari samping, tubuhnya melayang dengan satu tangan berpegang kuat pada tali yang berbahan akar pepohonan. Lalu dengan kecepatan yang luar biasa, ia berpindah pada sisi lain kemudian menyerang dengan cara yang sama. Itu adalah gaya serang yang memerlukan kekuatan dan kecepatan yang seimbang. Sekali saja ia kurang erat mencengkeram tali pengikat, Sukra akan meluncur deras lalu terbanting di atas bebatuan yang ada di bawah jembatan.
Perkelahian berlangsung sangat ribut. Ki Bluluk Rambang sering mengucapkan kata-kata kotor dalam perkelahian itu. Sepertinya perkelahian itu akan berkembang lebih cepat dan bakal menarik perhatian Pangeran Purbaya lebih dalam. Keributan melanda orang-orang yang cukup dekat dengan kejadian itu. Ini bukan pertarungan yang ingin mereka saksikan, tapi tampaknya bakal menarik.
Sukra terus berloncatan, dan sekali waktu ia menggelindingkan tubuh seperti batu buat yang bergulir dari puncak tebing Merapi. Ketika ia menggelung tubuh, pandang mata Pangeran Purbaya pun memancarkan kekaguman. Bagaimana Nyi Ageng Banyak Patra dapat mengajarkan tata gerak aneh itu dalam waktu yang singkat? Lantas Pangeran Purbaya pun menjawabnya sendiri di dalam hatinya, “Bila tata gerak luar biasa itu dapat diserap dengan sangat baik, maka seorang guru telah mendapatkan wadah yang terbaik.” Meski begitu, ia tetap waspada. Sukra dapat membuat kesalahan setiap saat! Demikian pikir Pangeran Purbaya.
Kebuasan Sukra belum berkurang meski ia bertarung dengan kesulitan yang lebih tinggi daripada sebelumnya di tanah lapang. Semakin lama Sukra berkelahi semakin kuat dan cepat. Semakin liar dan bengis dalam setiap tatap matanya. Ia menerjang, mengoyak pertahanan Ki Bluluk Rambang dengan semangat dari jiwa yang tengah dirundung kegelapan karena amarah. Kewaspadaan Sukra seakan tidak terguncang karena terbungkus oleh tata gerak yang sangat liar. Ini lebih mirip kegilaan dalam peperangan. Keadaan batin seseorang yang terjepit dan butuh pelampiasan. Hasrat untuk membunuh begitu besar. Nalar tajam yang biasa tampak dalam kecakapannya bertarung pun menghilang. Sedangkan yang menjadi lawannya adalah orang yang berulang-ulang melewati banyak perang tanding, maka dengan demikian, kematangan Ki Bluluk Rambang mendapatkan peluang untuk meredam keganasan Sukra.
Ki Bluluk Rambang menggerakan senjata penuh perhitungan. Sepercik darah kental meleleh dari segaris lambung Sukra. “Bersiaplah, anjing Mataram!” pedas Ki Blulung Rambang berucap. Sinar matanya penuh dengan kepuasan seperti musang yang lega mencaplok seekor ayam.
Sukra beringsut mundur sambil merundukkan tubuh sambil menghadap samping. Pertahanan terlihat cukup rapat. Darahnya mengaliri sebagian permukaan tubuhnya, Sukra menarik napas dalam-dalam sambil meningkatkan daya tahan. Bola matanya membesar seolah ingin melahap bulat-bulat Ki Bluluk Rambang. Sukra kembali menerjang, kali ini berlandaskan tata gerak yang dimatangkan oleh Agung Sedayu.
Perkelahian berlangsung semakin sengit. Mereka bertarung habis-habisan. Ketinggian ilmu Ki Bluluk Rambang seolah tergulung oleh amarah Sukra. Gila dan liar adalah pendapat Ki Bluluk Rambang mengenai tandang pengawal Menoreh itu. Sejenak, orang akan berpendapat wajar : bagi dua orang itu, yang tersisa adalah yang berhak melanjutkan hidup esok hari!
Mendung sedikit tersibak. Bulan mencurahkan sinar walau temaram. Ki Bluluk Rambang meningkatkan kemampuan selapis demi selapis lebih cepat serta lebih kuat dari sebelumnya. Kelebat goloknya berkilauan seperti kilat dengan mulut yang belum berhenti mengeluarkan ejekan-ejekan yang tidak perlu didengar. Sukra mulai terdesak! Lima langkah Sukra bergerak mundur. Sekali lompat ia menjauh dari serangan. Mereka tidak lagi berkelahi di bagian tengah jembatan.
Ki Bluluk Rambang melayang, sangat mendadak sehingga tubuhnya seolah sedang terbang! Sebuah sepakan telak mengenai pelipis Sukra. Sukra terhuyung tapi masih dapat mempertahankan kedudukannya dengan berdiri. Sekejap kemudian, Ki Bluluk Rambang menjejakkan kaki dengan golok terangkat tinggi dan lurus di atas kepala, mengarah pada Sukra seolah akan membelah musuhnya menjadi dua bagian.
Ruang gerak Sukra terlampau sempit untuk melancarakan serangan balasan yang tak kalah berbahaya. Ia kehilangan keseimbangan dan waktu yang dimiliknya pun terlalu sedikit untuk sekadar menggeser kedudukan dua atau tiga langkah mundur.
Sukra memilih untuk membantingkan diri ke samping, melemaskan tubuh lalu turut berayun mengikuti alunan tali penguat jembatan. Hujaman Ki Bluluk Rambang meleset. Lalu ia berharap tubuh Sukra akan terpantul mengikuti dorongan tali yang berayun kemudian ia akan menyambutnya dengan tata gerak yang sama, kemudian matilah anak muda itu! Perkiraan itu semakin kuat ketika melihat anak panah Sukra tersangkut tali jembatan.
Di luar dugaan – bahkan Pangeran Purbaya sempat mempunyai dugaan yang sama dengan Ki Bluluk Rambang! Ia ingin berbuat sesuatu untuk menolong Sukra, tetapi…. ?
Sukra justru melepaskan senjata, lantas membiarkan tubuhnya – dengan kepala di bawah – terjun bebas ke permukaan sungai yang dipenuhi batu. Dua pengawal kademangan memalingkan wajah. Mereka tidak sanggup menyaksikan isi kepala Sukra yang pasti berhamburan jika membentur permukaan batuMengerikan! Bahkan salah seorang di antara mereka menutup mata dan menahan napas!
Sesungguhnya sepakan Ki Bluluk Rambang dapat mendarat telak karena kelengahan Sukra!
Sukra tumbuh sebagai anak muda yang lebih banyak bergaul dengan lingkungan di sekitar sungai. Ia lebih banyak bercakap-cakap dengan gemericik aliran air. Ia bersenda gurau dengan desau angin malam. Ia mempunyai teman akrab yang bernama air hujan dan mendung yang gelap. Sinar rembulan memantulkan kilau yang menyambar sudut mata Sukra beberapa saat sebelumnya. Anak muda ini lantas terlempar pada kenangan-kenangan semasa berkelana dari sungai ke sungai di Tanah Perdikan Menoreh. Kelalaian yang harus dibayar cukup mahal olehnya!
Sekarang, Sukra harus menerima kenyataan bahwa ia akan bertumbuk dengan batu yang lebih keras dari batok kepalanya. Lebih keras dari seluruh tulang belulangnya. Ini adalah cara menjemput kematian yang tidak pernah diharapkannya!
Walau demikian, keanehan muncul dalam diri Sukra. Ia merasa sebagian jiwanya terbebas. Ia merasakan kebahagiaan di dalam waktu yang kurang dari sejumput. Terasa baginya seolah-olah Ki Lurah Agung Sedayu sedang berseru memanggilnya, terdengar olehnya derap kaki Glagah Putih yang kerap menggodanya. Bagaimana paras wajah Sekar Mirah ketika mendapatinya mengendap masuk dari pintu belakang? Itu jelas terpampang!
Maut sedang menampilkan wajahnya dalam rupa paling menyenangkan di mata Sukra.
2 comments
kata2nya itu lho…..maut sedang menunjukkkan rupa yg paling menyenangkan…..what
😀