Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

Dalam waktu itu, Gending Pamungkas segera melakukan serangan berantai ketika ia baru saja menjejak kakinya pada lantai kapal. Dua tangannya melancarkan serangan bertubi-tubi namun Gagak Panji telah bersiap. Dahsyat terjangan Gending Pamungkas pun ia sambut dengan kekuatan yang tak kalah besar. Putaran lengan Gagak Panji mengeluarkan gaung suara yang tak begitu keras lalu perkelahian mereka meningkat cepat, semakin berdaya hancur dan semakin dahsyat.

Keduanya saling menyerang dan dalam sekejap empat tangan mereka seolah lenyap dari pandangan. Yang terlihat hanyalah sinar yang berbeda warna saling membelit. Untuk sesaat tampak sinar hijau menggulung kelebat kain berwarna hitam yang membalut Gagak Panji. Kadang-kadang sinar hijau yang berasal dari kain Gending Pamungkas tenggelam dalam pusaran hitam. Perkelahian yang akhirnya memaksa para prajurit Demak harus menjauh, bahkan kemudian geladak kapal pun menjadi sunyi dari hilir mudik prajurit Demak maupun Blambangan yang berhasil memasuki kapal.

Pada saat itu, orang-orang Blambangan merasakan tenaga dan semangat mereka seperti melonjak hingga berpuluh kali lipat dengan kehadiran Gagak Panji di tengah-tengah mereka. Walaupun Gagak Panji tidak membantu mereka secara langsung, tetapi keyakinannya yang tinggi saat memilih tempat perkelahian telah mendorong pasukan sampan untuk lebih cepat menuntaskan pekerjaan mereka. Akibatnya adalah sejumlah orang Blambangan yang berhasil menyusup dalam kapal pun bertandang lebih hebat. Perbedaan segi jumlah pun tidak lagi berjarak dan tak pula memberi keuntungan pada orang-orang Demak. Lambat laun prajurit Blambangan mampu menguasai kapal perang Demak.

Gempita sorak kembali pecah di angkasa. Prajurit Blambangan segera melepaskan panah sendaren yang telah dibuat secara khusus sebagai tanda apabila mereka telah menguasai kapal perang Demak.

loading...

“Kemudikan ke pantai!” perintah seorang lurah prajurit Blambangan.

Dan memang seperti itulah perintah pemimpin Blambangan ; jika satu kapal perang Demak berhasil direbut maka membawa kapal perang seisinya ke pantai terdekat adalah kewajiban selanjutnya. Panji Blambangan kembali berkibar di puncak tiang tertinggi. Para prajurit Demak yang terluka pun segera mendapatkan perhatian. Dengan penuh kesadaran dan rasa kemanusiaan, para prajurit Blambangan pun merawat mereka yang terluka tanpa mempedulikan asal mereka. Selain itu, mereka juga memperlakukan para tawanan dengan cara yang pantas.

Raden Trenggana mengerling pada matahari yang kini menapak jalan turun. Sinar matahari yang seharusnya mampu menembus beberapa tombak di bawah permukaan laut pun menjadi suram sepanjang hari. Kepul asap hitam yang berasal dari kayu-kayu yang terbakar, minyak yang terjilat oleh api serta kebakaran besar yang melanda beberapa kapal perang agaknya menjadi satu-satunya alasan betapa suram langit di atas perairan Panarukan. Gelisah kini merambati hatinya. Rahang mengatup rapat dengan kerut dikeningnya menunjukkan bahwa sebuah rencana sedang ia pertimbangkan.

Ratapan maut seolah tak sabar menunggu hingga senja.

Jerit pertolongan, pekik kematian dan kemarahan berbaur kesedihan memenuhi angkasa. Sebagian prajurit dari pasukan sampan berhasil merebut satu dua kapal perang Demak, tetapi tak sedikit dari mereka yang akhirnya hanya memulangkan nama.

Mpu Badandan beberapa kali menarik napas panjang. Ia tidak menduga bahwa korban yang timbul akan menjadi berlipat.

“Kekuatan yang mereka miliki telah mengacaukan semua unsur gelar perang prajurit Demak. Tetapi Blambangan tak akan mampu mempertahankan kedudukan apabila mereka tetap berkeras untuk merebut lebih banyak kapal,” gumam Mpu Badandan. Tiba-tiba ia memerintahkan empat orang prajurit untuk melepaskan panah sendaren dengan perintah untuk mundur.

“Mpu,” kata seorang pemanah, ”bukankah kita dalam kedudukan yang menguntungkan?”

“Tidak!” tanggap Mpu Badandan.

Empat orang pemanah itu pun kemudian saling berpandang. Dalam pengamatan mereka, Blambangan tidak sepatutnya melepas kedudukan yang dapat diraih setelah melalui jalan mendaki berlumur darah dan api.

“Bila menurut kalian tiga kapal perang Demak dalam kendali pasukan sampan adalah ukuran kemenangan hari ini, maka kalian telah membentuk anggapan yang salah,” kata Mpu Badandan. ”Berkurangnya jumlah pasukan sampan dalam riak hebat oleh benturan beberapa orang berilmu tinggi telah memaksaku untuk mengubah keputusan.”

“Kita masih memiliki Ki Rangga,” sahut seorang prajurit.

“Ia akan menarik diri secepatnya bila anak panah telah terlihat olehnya,” pungkas Mpu Badandan mengakhiri percakapan singkat di antara mereka.

Maka sejenak kemudian delapan anak panah sendaren melesat menembus pekat asap dan menyuarakan lengking yang nyaring.

Tetapi lengking suara bernada tinggi itu tidak mampu menembus badan air.

Semambung  dalam usaha kerasnya mengalahkan Ki Jala Sayuta dan membuat porak poranda jajar baris kapal perang Demak berupaya membawa lawannya untuk menjauhi lingkar jangkauan Gagak Panji. Ia benar-benar tidak ingin mengusik perhatian sahabatnya itu dalam menangani kesulitan yang dibawa oleh Raden Trenggana.

Ki Jala Sayuta yang mengejarnya dapat menduga jalan pikiran Semambung, oleh karena itu, ia pun mengikuti kemanapun Semambung bergerak. Namun ia tak menduga bahwa Semambung telah menentukan tempat untuk mengakhiri hari yang menggetarkan.

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 36 (Telah Terbit Bentuk PDF)

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.