Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 13

Di pekarangan Ki Darmabudi, Pandan Wangi tegak berdiri dengan wibawa seorang panglima tinggi. Para pengawal merasakan kulit mereka meremang ketika Pandan Wangi berada di belakang mereka. Dentang jantung mereka seperti menggema ke segala ruangan di udara. Apa yang akan diputuskan oleh Pandan Wangi?

Mereka dapat meninggalkan Swandaru dan Pandan Wangi di pekarangan. Walau demikian, mereka seperti enggan melakukannya. Sebenarnya, ini adalah urusan sebuah keluarga. Ini adalah perkara hubungan yang tidak semestinya para penjaga regol berada di tengah-tengah suami istri tersebut. Tetapi, siapa yang dapat menjamin kesetiaan Swandaru pada Sangkal Putung? Para pengawal kademangan mengetahui kisah kelam Swandaru ketika berteman dengan Ki Ambara. Dalam waktu itu, jalan keluar terbaik adalah menunggu perintah Pandan Wangi. Mereka pikir, sebaiknya memang lebih baik menunggu sikap Pandan Wangi.

Swandaru memandang Pandan Wangi dengan keringat dingin yang terus mengembun meski udara lebih dingin dari hari-hari penuh kabut. Tidak ada yang ingin dikatakan olehnya. Ruang pikiran Swandaru berisi pertanyaan ; inikah Pandan Wangi yang disebut-sebut sebagai pengganti Agung Sedayu dalam mengendalikan pertahanan Sangkal Putung? Mengapa seolah ia tidak dapat mengenalinya lagi? Swandaru benar-benar melihat Pandan Wangi dari segi yang berbeda. Perempuan lembut yang menjadi sahabat terbaik saat duka dan suka, kini, menunjukkan keagungan yang sulit dilukiskan. Di mata Swandaru, Pandan Wangi tampak benar-benar mewarisi segala yang ada dalam diri Ki Gede Menoreh.

“Wangi.” Ingin Swandaru menyapa istrinya tetapi lidahnya begitu keluh untuk bergerak. Bibirnya bergetar. Sepasang lutut Swandaru seolah tanpa daya yang cukup untuk menopang tubuhnya.

loading...

Cukup lama Swandaru dan Pandan Wangi saling pandang, sementara tiga penjaga regol masih merunduk dengan senjata telanjang di tengah-tengah mereka.

“Bagaimana keadaan Kakang sekarang?” Pandan Wangi membuka percakapan.

Swandaru ingin menjawabnya tetapi keberadaan tiga penjaga regol yang berada di depannya adalah dinding yang sangat tebal untuk dilewati. “Apakah tidak sebaiknya kita bicara di dalam rumah?” Swandaru balik bertanya.

“Itu tergantung keperluan dan sejauh mana kepentingan Kakang berada di sini,” kata Pandan Wangi dingin.

“Wangi, aku adalah suamimu dan ayah dari anakmu,” kata Swandaru dengan bibir bergetar. Antara menahan marah karena sikap dingin Pandan Wangi atau malu karena istrinya seolah tidak menganggapnya ada? Swandaru merasa telah kehilangan segalanya.

“Itu adalah kenyataan yang memang harus diakui dan dijalani,” ucap Pandan Wangi sambil berjalan memutar, memasuki rumah. Kemudian sebelum melewati tlundakan, perintahnya, “Biarkan ia masuk. Kalian tetap berjaga sebagaimana seharusnya.”

“Kami mendengar, Nyi,” sahut pengawal serempak. Mereka menyingkir, membuka jalan supaya Swandaru dapat melenggang mengikuti Pandan Wangi.

Luasnya bagian dalam rumah terasa sempit bagi Swandaru. Kehangatan yang biasa diterimanya setiap bertemu Pandan Wangi telah berganti dan terasa seperti serangkum tenaga cadangan yang pejal. Pintu telah ditutup tetapi udara di dalamnya masih mengalunkan nada-nada getir dari hati seorang perempuan.

Mereka duduk berhadapan namun Swandaru merasa seperti pesakitan yang akan menjalani persidangan di banjar pedukuhan. Sorot tajam Pandan Wangi menghunjam jantungnya. Keangkuhan Swandaru luluh di depan Pandan Wangi.

“Benarkah yang aku dengar dari orang-orang yang berdagang di Randulanang?”

“Mengapa kita tidak memulai dari awal?”

“Pertempuran di tepi Kali Progo sudah aku dengar dari Kakang Agung Sedayu. Aku tidak ingin mendengarnya lagi karena Kakang sudah berbuat yang terbaik pada waktu itu,” jawab Pandan Wangi.

“Apa yang dikatakan Kakang Agung Sedayu padamu?”

“Tidak penting untuk Kakang dengarkan saat ini,” sahut Pandan Wangi. Ia berkeras pada pokok persoalan. Lanjutnya, “Benarkah berita, yang mungkin Kakang anggap sebagai kabar angin, yang banyak diucapkan oleh orang-orang?”

Jauh di kedalaman hatinya, Swandaru membuat pengakuan bahwa sangat sulit menjawab pertanyaan itu. Bila hanya satu atau dua orang yang tahu, ia dapat mengabaikannya. Namun hubungannya yang sangat dekat Nyi Gandung Jati ternyata telah tersebar luas. Swandaru dapat membayangkan keguncangan yang akan menimpa Ki Demang dan istri serta Sekar Mirah. Lalu bagaimana ia menempatkan muka di depan Ki Gede Menoreh? Kebodohan menjerumuskannya jatuh ke tempat paling dasar dari sebuah jurang. Kesukaannya pada belahan-belahan daging telah membuatnya tersudut di ujung jebakan yang sulit baginya melepaskan diri. Swandaru merasa sedang dimainkan oleh kehidupan. Pada awalnya, ia adalah tawanan. Berikutnya, ia adalah seorang pahlawan. Selanjutnya, penuh kesadaran merelakan diri sebagai tumbal. Menyadari perjalanan yang singkat itu, Swandaru ingin membunuh dirinya sendiri. Tetapi, bukankah itu pun mendatangkan aib bagi nama gurunya?

“Mungkin aku sudah membosankan untuk dipandang. Kulitku tak lagi kencang dan kenyal seperti dulu. Beberapa lembar rambut pun mulai memudar. Lalu, kapan Kakang dapat berhenti mencari pengganti?”

Swandaru membisu. Memaki diri yang begitu bodoh. Raden Atmandaru menjebaknya dalam siasat yang licin. Merangkul Swandaru yang mudah lelap dalam belah payudara, lalu menyebarkan perbuatannya  ketika Swandaru tidak menyerahkan Sangkal Putung padanya. Udara Sangkal Putung segera dipenuhi berita panasnya ranjang yang ditempati Swandaru selama di Randulanang. Sejumlah pengawal Sangkal Putung menjadi goyah namun melihat ketegaran Pandan Wangi, mereka kembali bersatu. Mengikat kesetiaan hanya pada perempuan kelahiran Tanah Perdikan Menoreh itu.

“Di saat banyak orang resah karena kitab Kiai Gringsing belum ditemukan, bagaimana Kakang dapat menjalani hari dengan kegembiraan yang sulit dinalar? Ketika orang-orang mencari jalan agar dapat keluar dari tekanan lawan, bagaimana Kakang dapat bersenang-senang dengan cara yang tidak wajar?”

Swandaru masih membisu.

“Aku mewarisi sebuah wilayah yang lebih luas dari Sangkal Putung. Aku adalah putri penguasa yang wilayahnya menjadi tumpuan Mataram. Untuk itu, apakah aku akan kehilangan pangan dan papan bila meninggalkan Sangkal Putung?” Ketika mengucapkan itu, sepertinya Pandan Wangi ingin memeluk bayangan yang namanya tidak dapat diucapkan. Hanya ketegaran hatinya yang sanggup menghempas bayangan itu,dan memang terhempas walau sulit membendungnya kembali. Namun, ia akan tetap memeluk ketegaran itu demi sebuah kehormatan.

Lidah Swandaru keluh. Swandaru seperti tak lagi bernapas saat mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari Pandan Wangi. Berdekatan dengan perempuan lain memang bukan perbuatan yang dapat membahayakan baginya. Namun, sedikit waktu Swandaru dapat menyadari bahwa bahaya tidak selalu bergantung pada ujung senjata. Lantas, bila ia tidak lagi melihat Pandan Wangi, apakah ia masih dapat menjalani hidup seperti keinginan dan harapannya?

Pandan Wangi bukan perempuan biasa. Sikapnya ketika duduk berhadapan menggambarkan perlindungan bagi anaknya, bagi kademangan dan juga bagi Tanah Perdikan. Pandan Wangi duduk dengan punggung tegak dengan sepasang tangan dipangku dengan penuh martabat. Sikap duduk yang mencerminkan ketinggian harga diri tanpa merendahkan lawan bicaranya. Kepala Pandan Wangi tegak tersanggah dengan keyakinan yang sukar dijabarkan. Dalam keseharian, Pandan Wangi bekerja seperti kebanyakan perempuan. Tak segan mengotorkan diri di pategalan dan sawah. Tanpa malu menjinjing barang-barang yang diperolehnya di pasar. Sepanjang usia pernikahannya, ia tak pernah melawan atau berpanjang kata berbantahan dengan suaminya.

Sekarang, Pandan Wangi akan menentukan jalan hidupnya.

Sorot mata dan raut wajahya seperti telah terhimpun segala kekuatan dan perlindungan dari Yang Maha Agung. Swandaru membenamkan wajah karena tak sanggup beradu pandang dengan Pandan Wangi. Dalam waktu itu, Swandaru dapat merasakan bahwa segala jalur kekuatannya telah terkunci. Bila seseorang melemparkan serangan gelap padanya, Swandaru akan roboh tanpa perlawanan. Segala daya yang dimiliknya terhisap dalam pusaran batin Pandan Wangi. Swandaru meremang. Di balik kelembutan wajah Pandan Wangi yang masih tersisa untuk dilihat, Swandaru dapat menyaksikan kekuatan yang lembut mengalir, membanjiri ruangan lalu melumpuhkannya.

“Aku mempunyai tiga pilihan, dan semuanya dapat aku lakukan tanpa tekanan dan ketakutan. Aku merasa aman dari keburukan-keburukan yang mungkin ada dan mengikuti pilihan-pilihan itu,” ucap Pandan Wangi yang agaknya sanggup menepis keseganan dan rasa hormat pada Swandaru. “Apakah Kakang ingin mendengar?”

Ini bukan salah ketika memilih gelanggang pertempuran, pikir Swandaru. Serangan dahsyat dapat dihindari atau ditangkalnya, namun menghadapi gelombang dari gejolak batin Pandan Wangi, sanggupkah?

“Kakang, bagaimana?” Pandan Wangi lanjut bertanya setelah Swandaru bungkam cukup lama. “Aku masih duduk dan bertanya sebagai seorang istri. Dan bila aku merasa perlu, sebagai wakil Mataram karena kuasa dari Ki Patih Mandaraka, aku dapat menjatuhkan hukuman pada Kakang dengan alasan pembelotan. Tidak akan ada orang yang menyalahkanku mengenai hukuman itu. Jadi, sebagai istri, aku ulang sekali lagi, bahwa aku punya tiga pilihan, apakah Kakang ingin mendengar?”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 93

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.