Ki Sor Dondong tidak melihat ada kesalahan pada rencana yang disusun bersama. Tetapi ia tidak dapat mengembangkan gelar perang lebih jauh dari rencana sebelumnya. Kedatangan pasukan berkuda dan keberadaan Pandan Wangi di tengah-tengah medan pertempuran membuatnya harus memeras otak lebih kencang. Tekanan demi tekanan lawan menjadi semakin kuat karena pendobrak yang baru diluncurkan lawan. Namun kegelisahan Ki Sor Dondong segera sirna ketika gelombang deras menghantam sisi luar lawan, bantuan yang tidak disangka-sangka! Ia berpaling ke arah keributan, sepasukan berkuda telah datang memecah benteng Gondang Wates. Kelegaan itu segera diwujudkan melalui kuda Ki Sor Dondong yang berderap melingkar, lalu sepasang tombaknya berkelebat memecah udara! Nyatalah di depan mata banyak orang bahwa Ki Sor Dondong adalah penunggang kuda yang ahli. Tubuhnya seakan-akan melekat kuat pada punggung kuda. Bagaimana mungkin? Tapi nyatanya Ki Sor Dondong berkuda tanpa memegang kendali. Ia mencurahkan segenap keterampilan berkuda sambil menyapu pengawal kademangan yang berkemampuan sangat jauh di bawahnya.
Terdengar sorak sorai pasukan Raden Atmandaru menyaksikan tandang panglima mereka yang menggetarkan. Sekejap kemudian, mereka merangsek maju setapak demi setapak. Semangat dan kekuatan mereka solah-olah meningkat berlipat-lipat ketika muncul pasukan berkuda yang memihak kubu mereka.
“Perkelahian yang tidak adil,” desis Pandan Wangi dalam hati ketika melihat laga Ki Sor Dondong dari kejauhan. Namun, ketika ia akan pergi membendung hantaman Ki Sor Dondong, tiba-tiba, kehadiran pasukan berkuda lawan secepat kilat menghentak hatinya. Pandan Wangi menggeram. Itu di luar gambaran rencana dan perkiraan Pangeran Purbaya serta dirinya. Setelah menimbang keadaan yang berkembang liar, Pandan Wangi dapat menyerahkan kendali pengawal pada Glagah Putih yang tampak sibuk di bagian kiri. Seorang petugas penghubung dipanggilnya mendekat, dibisikkan padanya satu atau dua pesan untuk Glagah Putih. Lantas, petugas penghubung itu kemudian menghamburkan langkah, meminta pertolongan pengawal Gondang Wates agar membuka jalan darah untuknya. Pada waktu berikutnya, para pengawal Gondang Wates berkelahi dengan garang, senjata berayun deras dan berputar-putar guna membongkar halangan yang dihadapi petugas penghubung itu.
Sejenak ia memandang pergerakan petugas penghubung, lalu Pandan Wangi menderap kuda, menyongsong lawan yang berperang seperti petarung yang kerasukan siluman.
Dari balik kain yang menutup setengah wajah, terdengar tawa yang digetarkan suara yang lembut. Suara seorang perempuan seperti dirinya, pikir Pandan Wangi.
“Sepertinya aku pernah melihatmu, Mbokayu. Bila mata ini tidak salah melihat, tentu Mbokayu adalah istri Swandaru gemblung,” suara lantang perempuan itu menggema.
Mendengar suaminya disebut sebagai orang gemblung, wajah Pandan Wangi memerah. Biarpun rasa itu sedang terkikis, tetapi Swandaru adalah suaminya dalam berbagai keadaan. Pandan Wangi membalas dengan sikap garang, “Kau tidak perlu beramah tamah denganku, tak perlu pula menganggap rendah suamiku. Aku memang Pandan Wangi yang bangga dengan segala yang ada pada suaminya.”
“Tentu dan sudah pasti Mbokayu adalah Pandan Wangi. Putri tunggal Ki Gede Menoreh,” sahut perempuan sambil membuka penutup wajahnya. Paras yang cerah dengan dihiasi lengkung alis yang penuh pesona. “Aku tidak menyangka Mbokayu justru memilih tempat di tengah-tengah pria yang berhasrat saling membunuh. Aku pikir ini adalah kenyataan yang sangat buruk.”
Dari atas punggung kuda, Pandan Wangi sedikit terpengaruh oleh ucapan gadis yang berusia jauh lebih muda darinya. Perasaan Pandan Wangi menyiratkan tanda bahaya dengan ketenangan sikap lawan bicaranya yang seakan-akan tidak terpengaruh dengan kecamuk perang. Sambil membuka halaman hidupnya di masa lalu, Pandan Wangi sedang mencari bayangan wajah yang mungkin diingatnya. Tiba-tiba jantungnya berdentang kencang. Ia tidak ingin tergesa-gesa mengucapkan sebuah nama atau masa sulit yang pernah dilaluinya bersama Swandaru. Ia tidak ingin salah menduga, maka, dengan segenap kekuatan hati, Pandan Wangi menata perasaan agar tidak hanyut oleh gemuruh hujan di dalam hatinya.
“Anak gadis,” ucap Pandan Wangi kemudian, “alangkah baik jika kau sebut nama. Bukankah sepatutnya memang begitu ketika berbincang dengan orang yang lebih tua?”
Gadis itu mengangguk dengan bahasa tubuh sederhana yang menyemburkan keanggunan. “Ayah saya memberi nama Mangesthi. Tidak ada kepalsuan karena saya memang ingin memperkenalkan diri,” kata Mangesthi. “Saya pikir memang sebaiknya tidak ada perbuatan atau sikap palsu karena mati dalam kejujuran itu menjadi akhir yang baik bagi Mbokayu.”
“Sayang jika kebagusan paras tidak berbanding dengan kecakapan lidahmu, Mangesthi.”
“Sama seperti suamimu yang terkenal kaya raya. Hidup bersama Swandaru gemblung, apakah Mbokayu juga menuntut kekayaan agar sejajar dengan perilaku? Perbuatan atau ucapan jelek bukan keharusan yang wajib menyertai kecantikan wajah maupun kemolekan tubuh. Tentu, dan sudah pasti Mbokayu masih ingat dengan Wiyati,” Mangesthi masih bernada tenang ketika mengucapkan kalimat itu. “Baik, kalau Mbokayu sudah melupakannya. Wiyati adalah teman yang sangat dekat dengan saya dan ia bernasib buruk ketika terengkuh oleh Swandaru!” Sikap Mangesthi benar-benar berubah! Sungguh, sebelumnya ia begitu menawan dan penuh daya tarik yang dirindukan banyak orang tetapi setelah itu…benar-benar perubahan yang mencolok dan tajam!
Mangesthi mengakhiri ucapannya dengan bentakan dahsyat! Mangesthi melenting dari punggung kuda, melayang sangat cepat sambil memutar sepasang senjata yang berbeda sifat. Dari semua yang diucapkan oleh Mangesthi, Pandan Wangi dapat menilai meski sekedarnya ; Mangesthi adalah dua orang yang berbeda. Kecantikannya benar-benar membius kesadaran laki-laki dan kebuasannya sanggup memusnahkan seluruh lelaki dari muka bumi!
Mungkin anak ini adalah bidadari bertangan maut yang dikirim oleh Raden Atmandaru dari kotaraja, pikir Pandan Wangi sambil menarik kekang kuda.
Tampaknya usaha Pandan Wangi bakal sia-sia karena gerakan Mangesthi jauh lebih cepat dari desah napas kuda. Agar tidak segera tumbang pada serangan lawan yang pertama, Pandan Wangi harus merelakan kudanya roboh terjungkal sebab sabetan Mangesthi tepat mengenai batang leher kuda. Dalam waktu itu, Pandan Wangi telah melompat ke samping sambil mencabut sepasang pedangnya.
Serangan demi serangan Mangesthi selanjutnya datang seperti badai topan yang menggelora di Laut Selatan. Tombak pendeknya menghujani Pandan Wangi dengan kibasan yang bergantian datang dengan pedangnya. Ini menjadi pengalaman pertama bagi Pandan Wangi yang tidak pernah menghadapi petarung dengan senjata yang berlainan. Mangesthi yang menyesap ilmu dari ayahnya, Ki Sekar Tawang, sepertinya sudah mencapai tingkat yang jauh dari dugaan orang-orang yang mengenalnya. Gadis ini terhitung jarang mengeluarkan kemampuan walaupun terdesak. Bahkan, pasukan yang dipimpinnya pun baru mengetahui ketinggian ilmu Mangesthi ketika mereka bergabung dalam serangan yang berhasil menjatuhkan Pedukuhan Janti.
Pandan Wangi lincah bergerak mengimbangi kecepatan Mangesthi yang sangat hebat. Sepasang pedangnya berkelebat dan tubuh Pandan Wangi berputar-putar seperti gasing yang amat cepat. Dentang senjata mereka berdua seakan beradu kencang dengan suasana perang yang sangat bising.
Mangesthi menekan Pandan Wangi dengan segenap kekuatan yang ada. Tata kanuragan Mangesthi benar-benar aneh. Memainkan tombak sudah jelas mempunyai perbedaan yang cukup tajam dengan senjata berupa pedang. Senjata yang berukuran panjang sama dengan pedangnya terlihat begitu ringan namun bertenaga setiap berkelebat. Dalam keadaan itu, Mangesthi tampak begitu mudah mengayunkan dua senjatanya hingga tampak seperti benda mainan. Namun serangannya kerap mengejutkan Pandan Wangi sampai putri Ki Gede ini merasa ada kekurangan dalam unsur-unsur gerakannya. Sebenarnya tidak seperti itu karena olah gerak Mangesthi adalah hasil latihan dari jalur ilmu yang dikembangkan Ki Sekar Tawang. Pandan Wangi mengakui dalam hatinya, bahwa gerakan Mangesthi mengandung banyak ragam yang dapat mengecohnya bila pikirannya berkurang sedikit saja.
Dan sebaliknya, Pandan Wangi berusaha menjaga ketenangan agar kibas senjata lawannya tidak sampai mencelakainya. Meski tampak tidak bersungguh-sungguh pada setiap gerakan, justru itulah titik-titik bahaya ditempatkan. Ilmu yang luar biasa, batin Pandan Wangi. Kematangan usia serta keluasan wawasan membuat Pandan Wangi masih menjadi lawan yang sulit ditundukkan oleh Mangesthi. Meski demikian, keadaan itu tidak dapat selamanya dipertahankan oleh Pandan Wangi. Pandan Wangi tegar menggeser kaki, membentuk pertahanan yang kokoh menahan segala gempuran, tetapi itu tidak dapat memberi rasa aman selama Mangesthi masih menyerang dengan tata gerak yang sulit dimengerti.
Pertimbangan-pertimbangan Pandan Wangi yang membuatnya sedikit lambat bergerak tidak mengurangi kedahsyatan perkelahian. Justru pertarungan itu menjadi salah satu bagian perang yang menarik karena menjadi ibarat antara pertarungan dua sisi yang berlainan watak. Dua paras wajah yang sama-sama jelita namun mempunyai dua pribadi yang bertolak belakang sedang beradu kepandaian. Pandan Wangi mewakili segala unsur kelembutan dan kehalusan olah kanuragan, sedangkan lawannya mengungkapkan oleh kanuragan dari jiwa muda yang brangasan, ganas dan trengginas! Namun tidak ada seorang pun yang berani mendekat. Kulit mereka akan tersayat atau tergores angin tajam yang menyambar-nyambar ke segala arah, dan lebih buruk lagi, kepala mereka dapat terpenggal walau masih berjarak dua langkah dari lingkar perkelahian.
Pada waktu pertarungan sengit yang menyeret Pandan Wangi ke tantangan tersulit, di bagian sayap pasukan Gondang Wates, Ki Demang Brumbung berlari kecil di belakang seorang pengawal demi sebuah perintah dari Pangeran Purbaya. Di sekitar mereka berdua, pertempuran pasukan besar masih tetap berlangsung seru. Keseimbangan kembali menemukan jalan sehingga gempita sorak para prajurit menjadikan angkasa Karang Dawa semakin panas. Masing-masing kubu terus melantangkan seruan-seruan yang mengobarkan semangat kawan dan membakar hati lawan.
Pedang, golok, belati, tombak serta berbagai benda yang dianggap dapat menghabisi lawan pun bergantian membelah udara. Sepertinya, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk berkelahi dengan liar. Rasanya seperti itu ketika melihat mereka bertarung seolah lepas dari kepantasan perang. Seakan-akan semua orang menemukan jalan melepaskan perasaan yang terkekang. Mereka buas dan jalang seperti binatang.
Ki Demang Brumbung menyaksikan itu, namun keinginannya terkendali oleh perintah Pangeran Purbaya agar tidak terjun langsung ke medan perang sebelum bertemu Glagah Putih atau Sabungsari.