Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 16

Sehari semalam telah berlalu dan Bondan mulai memperlihatkan kemajuan yang cukup menggembirakan orang-orang di sekelilingnya. Nyi Kirana adalah orang pertama yang mengetahui perkembangan Bondan lantas mengabarkan pada yang lain.

“Ia mulai bernapas dengan teratur, Ki Rangga,” kata-kata yang diucapkan oleh Nyi Kirana juga didengar oleh empat orang lainnya. Dengan langkah lebar dan dipenuhi rasa bahagia, mereka bergegas berjalan mendekati Bondan yang terbujur lemas di bawah tempat berteduh. Atap jerami dan deaunan menjadi payung bagi mereka berenam yang duduk memutari Bondan. Wajah-wajah yang bersinar dan sorot mata lega dapat dilihat dengan jelas di pagi hari yang masih menyisakan kabut dan embun.

“Aku harap ramuan daun dan akar yang telah aku siapkan dapat membantunya untuk bergerak. Aku tidak dapat menyediakan ramuan yang lebih keras lagi, tetapi apa yang telah aku siapkan bagi anak ini akan dapat membawa keajaiban bagi kita semua,” terucap pelan dari bibir Nyi Kirana. Tangannya cekatan menumbuk dan meremas akar bratawali yang basah dengan tenaga inti sehingga dalam waktu singkat dapat menjadi lembut. Dengan pelan dan berhati-hati, Nyi Kirana mulai menyuapkan ramuan yang telah dibasahi air ke mulut Bondan. Tak menunggu waktu lama, ramuan itu habis. Jalutama lantas menggantikan Nyi Kirana dengan nasi lembek  yang telah diletakkan di atas sehelai daun lebar.

Dari waktu ke waktu, Bondan mengalami perkembangan. Pelan-pelan Bondan mulai dapat menelan suapan tanpa bantuan air, sedangkan sehari semalam sebelumnya hanya dapat menelan air saja.

loading...

Menjelang senja Bondan dapat duduk dengan bantuan Ki Swandanu. Pada saat itu, mereka sedang membicarakan tentang jalur yang akan dilewati menuju Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita berlima sekarang beserta seorang tawanan dan aku kira,” Ki Rangga berhenti sejenak sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian, “kita tidak perlu bermalam di banjar-banjar pedukuhan yang akan kita lewati. Perbekalan kita bawa seperlunya dari pasar-pasar yang ada. Meskipun aku sendiri lebih suka menjauhi keramaian.”

Ki Swandanu dan Ki Hanggapati memandang wajah Jalutama seakan memintanya untuk membuat satu pilihan.

Bondan melihat sikap dua utusan Resi Gajahyana, lantas katanya, “Kakang, aku kira sebaiknya memang kita mengikuti saran Paman Banawa. Kita tidak tahu cara orang-orang padepokan dalam mengikuti jejak kita. Sementara, banyak orang yang sedang menanti kedatangan Kakang.”

Nyi Kirana seolah mendapat kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya. “Sebenarnya aku keberatan jika kalian menganggapku sebagai tawanan meskipun seperti itulah kenyataannya. Tetapi, jika aku sendiri menempatkan diri sebagai tawanan sudah tentu kalian akan menangisi kematian anak muda itu,” sergah Nyi Kirana yang keberatan apabila dianggap sebagai tawanan. Ia berkata lagi dengan tajam, ”Apakah aku akan berjalan dengan tangan terikat dan kalian mendorongku dari belakang? Atau mungkin akan menyeretku dengan kuda-kuda kalian?”

“Itu tidak akan terjadi, Nyi,” tegas Bondan dengan raut wajah sangat tegang. Ia tahu bahwa ucapannya dapat menyinggung perasaan Ken Banawa dan Jalutama. Itu karena Ken Banawa adalah pemimpin perjalanan mereka dan Jalutama adalah orang yang telah kehilangan seluruh pengawal Menoreh.

“Lalu kau anggap sebagai apa kematian semua pengawal Tanah Menoreh?” Jalutama bangkit sambil membentak Bondan. “Aku tidak akan melupakan yang kau perbuat untuk kami. Sejak malam saat kau mengawasi kami di banjar pedukuhan hingga kau menggendong seorang pengawal lalu susah payah menyusulku di tempat ini. Tidak, Bondan! Aku tidak akan dapat melupakan itu.” Rahang Jalutama menonjol keluar menahan kegeraman karena tidak setuju dengan penolakan Bondan.

Ia berkata lagi dengan sinar mata tajam yang menusuk hati Bondan, ”Dalam hati kecilku, aku telah menempatkanmu sebagai saudara lelaki karena aku telah mempunyai satu adik perempuan yang lebih muda dari usiamu. Maka, aku merasa kau telah menyakitiku dengan membiarkan perempuan ini berjalan bebas beriringan denganku.” Jalutama berkata-kata dengan telunjuk mengarah ke Nyi Kirana.

Bondan diam dengan wajah terbenam.

“Sempat terlintas di benakku, bahwa lebih baik aku membunuhmu daripada melihat perempuan ini berjalan bersama denganku menghadap ayah,” Jalutama berkata lalu membalikkan badan beringsut dua langkah menjauhi Bondan. Ia menengadahkan wajah, menghadap langit lalu terdengar hela napas panjang, Jalutama berkata lagi, ”Tetapi aku tidak mungkin dapat membunuhmu karena aku menganggapmu sebagai saudara.”

Kini ia tegak berdiri setegar batu karang menghadap Bondan. ”Aku juga tidak akan melupakan usaha yang dilakukan perempuan ini saat bekerja keras menyelamatkan nyawamu. Bagaimanapun, aku tidak dapat mengingkari bahwa perempuan ini adalah penyelamat hidup saudaraku.”

Jalutama berhenti sejenak lalu mengedarkan pandangan, melihat setiap orang di sekitarnya, ia berkata lagi dengan nada agak rendah, ”Apabila mereka ternyata mempunyai pendapat yang sama denganmu, aku tidak akan menolaknya.”

Kalimat Jalutama yang ditujukan pada Bondan telah membuat orang-orang sekitar mereka seperti dijebloskan ke dalam rawa-rawa.

Orang-orang di sekitar mereka terdiam untuk beberapa lama. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman hidup jauh lebih banyak dibandingkan kedua anak muda yang sedang bersitegang. Dan mereka juga membenarkan dua pendapat yang berseberangan.

Ken Banawa berkata kemudian, ”Nyi Kirana, aku pikir memang sebaiknya kau bersikap wajar. Nyi Kirana adalah tawanan kami itu adalah kenyataan, meskipun kami semua tidak mengingkari pertolongan Nyi Kirana terhadap Bondan.”

“Dan itu berarti kalian telah memaksaku untuk memberitahu setiap orang bahwa aku adalah orang jahat,” tukas Nyi Kirana dengan nada ketus. Setelah menjeda dengan diam sesasat, ia berkata lagi,”Aku juga mempunyai keinginan untuk menjadi baik namun rencana kalian telah mendorongku mundur ke belakang, maka aku tegaskanbahwa aku menolak rencana itu. Aku tidak akan membiarkan orang-orang tahu segala kesalahanku di masa lalu, karena pengetahuan mereka tentang diriku akan menjadi pembatas segala tindakanku di masa mendatang.”

Nyi Kirana merenggangkan dua kakinya dengan tubuh sedikit merendah.

“Apakah kita tidak dapat menemukan jalan keluar yang lebih baik?” Ki Swandanu melangkah maju. Ia memandang setiap orang di sekitarnya bergantian. Kemudian ia berkata, ”Mungkin, memang kita dapat tuntaskan dengan menghukum mati Nyi Kirana. Setelah itu, kita dapat mengenangnya sebagai orang yang menolong Bondan.” Suara Ki Swandanu terdengar seperti menahan gejolak dalam hati namun ia tidak mengungkapkan terus terang tentang gelisahnya..

Bondan memaksa dirinya untuk bangkit berdiri. Lalu ia berkata,”Jika kalian memang memaksa Nyi Kirana berjalan menuju Menoreh dengan tangan terikat, aku akan bertarung di sisinya untuk menentang rencana kalian.” Meskipun tangan Bondan terlihat lemah ketika menarik keris dari sarungnya, namun pandang mata orang-orang berilmu tinggi di dekatnya dapat menangkap tenaga inti Bondan mulai merambati dua tangannya. Ia berkata kemudian, ”Mungkin hari ini adalah perjumpaan kita yang terakhir kalinya. Katakan pada Eyang Resi bahwa aku meminta ampun padanya.”

“Tidak! Ini bukan persoalan yang harus kau hadapi, Ngger,” berkata Nyi Kirana pada Bondan yang terhuyung-huyung berjalan mendekatinya.

Wedaran Terkait

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 9

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 8

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 7

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 6

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 5

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.