“Satu hal, apakah tidak ada pengawal atau pasukan lain yang berada di Sangkal Putung?” tanya Pangeran Purbaya setelah merenung beberapa lama.
“Sejauh yang kami tahu dan lihat sehari-hari, tidak ada. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa sudah ada orang-orang asing di kademangan, Pangeran,” jawab Prasetya.
“Bagaimanapun, benturan-benturan yang terjadi walau sangat kecil dan jarang, itu tetap menjadi gangguan yang mampu merusak ketahanan jiwani pengawal dan penduduk kademangan,” kata Pangeran Purbaya, “ditambah dengan jatuhnya korban dari pihak kita, mau tidak mau, pandangan orang-orang Sangkal Putung terhadap Mataram dapat berubah.”
Tiga orang yang mendengarkannya kemudian mengangguk kecil. Kemudian Sukra berkata, “Pangeran, sebenarnya apa yang sedang ditunggu oleh Nyi Pandan Wangi? Apakah beliau terhalang oleh jumlah pengawal yang semakin berkurang atau ada sebab lain? Mohon penjelasan.”
“Tidak mudah untuk meraba segala yang telah terjadi di Gondang Wates. Sama sulitnya dengan membuat perkiraan mengenai yang dilakukan oleh Nyi Pandan Wangi saat ini. Ketiadaan Ki Swandaru Geni di tengah-tengah kademangan sudah menjadi sebab ketidakseimbangan. Apabila Nyi Pandan Wangi keliru membuat siasat, itu akan menyeret Gondang Wates pada bahaya yang lebih besar,” terang Pangeran Purbaya. “Bukankah sebagian Pedukuhan Janti berada di tangan lawan?”
“Benar, Pangeran.” Sukra dan dua pengawal kademangan menjawab bersamaan.
“Lepasnya sebagian wilayah sudah tentu menjadi bahan pertimbangan Nyi Pandan Wangi. Sebagai panglima tertinggi di kademangan untuk saat ini, Nyi Pandan Wangi tidak akan membiarkan sebagian wilayah yang lain jatuh ke dalam penguasaan musuh. Ia tidak akan gegabah membuat keputusan. Terlebih lagi jika Nyi Pandan Wangi tahu bahwa Ki Rangga Agung Sedayu tidak berada di Sangkal Putung, tentu hal itu akan mendorongnya lebih berhati-hati.”
“Kami mengerti, Pangeran.”
“Aku tidak akan lagi bertanya pada kalian. Aku pikir semua laporan dan keterangan sudah mencukupi untuk menyusun langkah selanjutnya,” kata Pangeran Purbaya. Kemudian ia beranjak bangkit, bergeser beberapa langkah lalu memandang dusun dari tempatnya berdiri. Ucapnya kemudian pada tiga pengiringnya, “Kita telah menempuh perjalanan sulit dan melelahkan. Kalian dapat beristirahat untuk beberapa waktu. Di depan kita, mungkin dusun itu sudah bersiap menjadi padesan geni yang tersembunyi atau racun yang tersebar di setiap semak belukar, istirahatlah, kita akan membutuhkan banyak tenaga dan pikiran yang akan benar-benar bekerja keras.”
Sukra lantas memandang punggung Pangeran Purbaya sambil membaringkan tubuh di atas rumput yang tidak tumbuh sama rata. Dua pengawal kademangan pun melakukan hal yang sama. Sejenak kemudian tiga anak muda itu berusaha memejamkan mata, meski pikiran dan perasaan mereka gaduh bergelut berbagai suara asing yang menggaung di dalam ruang jantung mereka.
Sambil mengatur pernapasan seperti yang diajarkan Nyi Ageng Banyak Patra dan Agung Sedayu, Sukra membangkitkan persitiwa-peristiwa yang lama mengendap dalam hatinya. Terbayang olehnya wajah-wajah marah dan sedih dari penduduk Tanah Perdikan Menoreh ketika kebakaran melanda pasar-pasar mereka. Air mata yang tak henti berderai dari anak-anak yang terpisah dari ibu mereka ketika banyak orang berusaha menyelamatkan diri. Kepergiannya bersama Sayoga serta Kiai Bagaswara ke Sangkal Putung seakan menjadi titik balik dari kehidupan yang dijalaninya. Sebelum itu, Sukra hanyalah pengawal muda yang kerap turun ke sungai untuk memasang pliridan lalu memberikan hasil tangkapan pada Sekar Mirah untuk diolah. Sukra adalah seorang lelaki muda yang sering menemani Ki Jayaraga di dangau untuk makan siang. Mereka banyak berbincang mengenai segala hal yang terjadi di sekitar mereka, termasuk pula menyinggung tata cara bebrayan yang semestinya.
Pertempuran di Slumpring pun memberi pijakan tersendiri bagi Sukra. Perkenalannya yang lebih dekat dengan Ki Patih Mandaraka mampu membuka ruang pandang yang baru untuknya. Bagaimana seseorang mengeluarkan segenap kemampuan, merajut hubungan dengan pihak lain untuk menempatkan diri sebagai yang tertinggi? Bagaimana seseorang harus belajar agar dapat menempatkan diri dengan cukup baik di tengah pergaulannya dengan orang lain? Sukra banyak menyerap dari setiap ucapan maupun tindakan Ki Patih Mandaraka serta Nyi Ageng Banyak Patra dan orang-orang di sekitar mereka berdua. Bagaimana ia harus tetap memandang satu titik tujuan ketika ada pilihan untuk mundur lalu menyelamatkan orang lain? Meninggalkan Agung Sedayu sendirian pada saat menghadang lawan di Slumpring membuat Sukra lebih tegar dari hari-hari sebelumnya. Itu adalah masa paling sulit ketika menjauhi gelanggang perkelahian dalam keadaan buruk : bagaimana nasib Agung Sedayu seandainya tidak ada pertolongan dari murid Nyi Ageng Banyak Patra? Ini menjadi kenyataan paling gelap yang mustahil dilupakannya!
Pengawal Menoreh berusia muda pun menghela napas. “Ki Lurah,” gumam Sukra dalam hati. Memunculkan harapan agar dapat segera bertemu Agung Sedayu di Pajang menjadi satu-satunya penggerak bertenaga sangat besar di dalam diri Sukra.
Sukra telah bernapas begitu halus, sementara dua kawannya telah berkelana di alam yang lain. Dalam waktu itu, Sukra berusaha menjaga asa dan mimpi yang dirasa baik olehnya. Meski demikian, apabila kekecewaan ternyata lebih suka memilihnya, Sukra telah bersiap dengan segala kelapangan hati. Ia yakin akan mampu membebaskan diri dari belenggu yang menjerat di kemudian hari.
Wayah sirep bocah.
Pangeran Purbaya berdehem berulang kali. Tiga pengikutnya segera terbangun. Sekejap kemudian, mereka telah bersiap. Tiga pengiring Pangeran Purbaya berpaling tajam padanya, menunggu perintah yang mungkin akan terucap. Kemudian kata Pangeran Purbaya, “Prasetya, ulangilah gambaran dan cara kalian membawa kami masuk ke pedukuhan!’
“Saya, Pangeran,” kata Prasetya. Lantas ia menjelaskan kembali jalan-jalan yang akan dilalui serta beberapa tempat yang biasa menjadi pemberhentian sementara bagi pencari kayu atau pemburu.
Semua orang memandang lekat pada Prasetya.
Sesudah Prasetya menutup uraian, Pangeran Purbaya berkata sambil menunjuk-nunjuk di atas tanah, “Setelah tempat ini, kita akan berpisah. Aku akan berjalan bersama Lamija, sedangkan Sukra bersama Prasetya. Jika tidak ada perubahan yang dapat memaksa kita mengubah rencana, kita pasti bertemu di sini. Tetapi, khusus untukmu, Sukra…” Lantas Pangeran Purbaya mengangsurkan sehelai kulit yang telah disamak pada Sukra seraya mengatakan, “engkau harus memisahkan diri dari kami jika kita dapat tiba di banjar pedukuhan. Kemudian ikutilah setiap yang tertulis di atasnya. Ingatlah pesan-pesan Ki Patih yang akan kau sampaikan pada Ki Lurah.”
Malam itu, mereka bergerak dengan cara yang sama dengan sebelumnya. Senyap dan tanpa suara. Sejak padesan terlihat oleh mereka, empat orang itu semakin berhati-hati dan menjaga kewaspadaan meski jalur yang ditempuh adalah jalur yang jarang dilalui orang. Namun Pangeran Purbaya tidak ingin bersikap ceroboh lalu membiarkan pengikutnya berjalan sambil berbincang. Ia melarang mereka berbuat itu! Setiap kelompok penjelajah dari kubu pemberontak dapat saja memergoki mereka setiap waktu.
Malam sudah melampaui wayah lingsir ketika mereka semakin dekat dengan dusun itu.
Sebaris cahaya tampak berderet mengitari sebuah pategalan. Cahaya dari oncor – yang lebih terlihat mirip dengan kunang-kunang – terlihat kerlap-kerlip bergoyang oleh hembusan angin malam yang turun dari puncak Merapi. Lebih jauh lagi ketika mata memandang terlihat pula sekelompok rumah berjajar tidak beraturan mengikuti lekuk jalan yang menjadi penghubung antar penjuru padesan. Jumlah rumah di dusun itu tidak sebanyak yang berada di sekeliling pedukuhan induk. Mereka berempat dapat menilai keadaan itu berdasarkan sebaran cahaya yang terlihat dari jalan setapak yang mengiris sisi sebuah tebing.
Sebuah pertanyaan muncul dalam benak Sukra. “Di mana Ki Swandaru berada?” Permukiman yang tidak begitu padat sudah tentu didiami oleh orang yang juga tidak lebih sedikit dari jumlah rumah. Tentunya mudah untuk mencari atau menemukan beliau, pikir Sukra. Namun ia tidak mengabaikan makna kesetiaan. Mungkin mereka tahu atau justru mereka menyembunyikan Swandaru, tetapi apakah salah bila mereka memutuskan untuk merahasiakan itu? Bila Swandaru berkedudukan baik di mata penduduk dusun, maka sulit mencabut kepercayaan dari mereka meski Swandaru bertingkah di luar kelaziman. Sukra menarik napas panjang dengan desah yang sangat lembut, menghalau pikiran-pikiran buruk yang timbul dalam benaknya.
Ketika mereka kembali memasuki sebuah tanah yang rapat ditumbuhi bambu dengan batang berukuran sama dengan paha orang dewasa, Pangeran Purbaya bergerak mendadak, secepat kilat melesat kea rah timur.
“Pangeran!” desis Sukra. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya sambil memandang arah kepergian Pangeran Purbaya. Apakah beliau mendengar sesuatu atau melihat bayangan yang ganjil?
Sekejap kemudian Prasetya dan Lamija sadar bahwa Pangeran Purbaya tidak lagi berjalan di samping mereka. Empat pasang mata memandang Sukra dengan pertanyaan yang tidak terucap. Sukra menggerakkan tangan, meminta mereka tetap diam, lalu memberi tanda agar mereka mengikutinya. Sukra berjalan di depan, pada jalur yang baru saja ditempuh Pangeran Purbaya. Di dalam selimut kelam, Sukra mengetrapkan kemampuannya mendengar. Meski terbatas, namun Sukra berusaha mencari keberadaan Pangeran Purbaya.
Tiba-tiba terdengar bunyi benturan dari benda yang mungkin bersifat lunak. Sukra menangkap getaran suara, hatinya bertanya, “Apakah terjadi perkelahian? Siapa dengan siapa? Adakah Pangeran Purbaya bertemu penolong peronda Sangkal Putung atau penyusup?” Ia mengubah arah lalu diikuti dua pengawal kademangan.
Ketika itu.
Dari balik kelam yang rapat memeluk malam, Pangeran Purbaya melihat gerakan di sela-sela rimbun semak dan tumbuhan liar. Oleh karena itu, seketika ia berkelebat untuk mengejar bayangan yang tersentuh penglihatannya. Barangkali dalam empat atau lima lompatan panjang atau sekitar dua puluh hingga tiga puluh tombak, Pangeran Purbaya tiba-tiba muncul di hadapan bayangan asing. Dan sepertinya bayangan itu juga mengetahui pergerakan Pangeran Purbaya yang bergerak sangat ringan dan cepat.
Dengan kepala mendongak, bayangan asing itu mengangkat tangan. Katanya, “Aku tidak sedang menganggumu, Ki Sanak.”
Suara lelaki, desis hati Pangeran Purbaya namun ia belum mengenali pemilik suara. Suaranya asing dan tersamar karena lelaki itu menggunakan kain yang menutup seluruh bagian depan wajahnya, kecuali sepasang matanya. “Aku tidak merasa terganggu bahkan oleh binatang melata.”
Lelaki bertutup wajah itu memandang tajam wajah Pangeran Purbaya. Diam-diam perasaannya tergetar oleh wibawa yang memancar dari lawan bicaranya, tetapi untuk apa ia menundukkan wajah? Bukankah ia belum mengenali begitu jelas wajah lelaki yang berada di depannya? “Jika aku ini seekor hewan merayap, apakah engkau memang menyimpan keperluan yang belum terkatakan? Duduklah, mari kita bicara.”
Pangeran Purbaya meloncat dengan sebelah kaki menekuk ke dalam, melabrak lelaki asing itu dengan serangan yang belum berbahaya!
Lelaki itu terperanjat. Ia heran, mengapa orang yang menghadang jalannya itu mengajaknya berkelahi?
1 comment
Hayur nuwun Ki, semoga sehat sareng keluarga. aamiin.