“Saya dapat mengerti kegusaran Kyai,” kata Raden Atmandaru dengan nada rendah disertai sorot mata yang seakan-akan ingin meremas lidah tajam Ki Hariman. “Tentu saya tidak ingin memperpanjang kebodohan Mas Jolang yang menyia-nyiakan banyak perguruan olah kanuragan, melemahkan padepokan-padepokan dengan berbagai larangan adu kepandaian dan sebagainya. Salah satu tujuan untuk hari-hari mendatang adalah memenuhi Mataram dengan banyak orang-orang pandai. Waktu-waktu yang akan datang sudah barang tentu berbeda suasana dengan hari-hari di masa lalu. Orang-orang bermata biru banyak berjalan dan bertebaran hampir di sepanjang pesisir utara. Itu sudah tentu akan menjadi salah satu sebab perubahan bagi Mataram di masa mendatang.”
Selama beberapa waktu berikutnya, mereka bertiga duduk mematung sambil menghitung bintang-bintang di langit.
Dalam pikiran Raden Atmandaru, kemajuan Mataram tak ada beda dengan pertumbuhan pohon jati. Begitu subur pada zaman Panembahan Senapati, lalu meranggas di tangan Panembahan Hanykrawati. “Ini seperti api yang akan padam kemudian kita datang lalu melemparkan ranting-ranting yang patah di atasnya,” ucap Raden Atmandaru, “dan seperti itu pula Mataram pada sekarang ini.”
“Apa yang Anda pikirkan, Panembahan?” tanya Ki Hariman, lalu melanjutkan ucapan sendiri, “aku tidak datang sebagai ranting atau kayu kering yang berada dalam genggaman. Sebetulnya, aku cukup benci dengan segala pembicaraan mengenai perebutan kekuasaan.”
Pada waktu itu, Ki Sekar Tawang bicara dalam hatinya, bahwa Ki Hariman benar-benar menjadikan gerakan Raden Atmandaru sebagai kendaraan. “Untuk sebuah kitab peninggalan Kyai Gringsing, aku harus mengakui kelicinan siasat Ki Hariman. Dalam keadaan demikian, Raden Atmandaru hanya mempunyai dua pilihan, melepas Ki Hariman atau tetap mengikatnya dengan janji.”
“Ki Hariman,” kata Raden Atmandaru. “Aku adalah orang yang tidak suka pada kebodohan. Namun, apakah aku termasuk orang bodoh atau tidak? Itu penilaian orang lain padaku. Aku juga tidak menganggap Kyai, bahkan berpikir untuk itu pun tidak. Maka, jika Kyai berkehendak untuk keluar dari kotaraja karena keengganan menghadapi Ki Juru atau perempuan tua di sebelahnya, saya tidak ingin melarang selama Kyai bergerak menuju Gunung Kendil. Di tempat itu, bila Kyai beruntung, mungkin Agung Sedayu juga akan hadir sebagai panglima perang.”
“Agung Sedayu,” gumam Ki Hariman. “Bukankah ia dikabarkan menderita luka-luka? Sebenarnya aku mempunyai keraguan bila Agung Sedayu sanggup datang sebagai orang linuwih. Ramai orang membicarakan keberadaannya yang belum diketahui sampai sekarang.”
Ki Sekar Tawang manggut-manggut mendengar ucapan Ki Hariman. Kata Ki Sekar Tawang kemudian, “Kita mendapatkan laporan bahwa ada penyusup yang bersembunyi di Kepatihan. Orang itu mungkin Agung Sedayu, mungkin Glagah Putih atau mungkin juga Untara. Selama kita belum dapat menyingkap tabir, selama itu pula kita terkurung dalam pertanyaan ; apakah Agung Sedayu masih hidup?”
“Untuk itulah, Kyai berdua,” ucap Raden Atmandaru, “saya tidak akan melarang atau menghentikan langkah setiap orang yang ingin meninggalkan kotaraja dengan langkah kaki gemetar. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Kyai berdua, tetapi di dalam kotaraja ada Ki Juru dan perempuan tua. Di luar kotaraja, ada Agung Sedayu dan orang-orang yang mungkin tidak kita perhitungkan. Segalanya sudah berubah sekarang.”
“Jadi, menurut Panembahan, saya hanya memikirkan kepentingan sendiri? Hanya berpikir kanuragan dan kanuragan? Hanya mengamankan kitab Kyai Gringsing lalu menghindari perkelahian dengan orang-orang yang Raden sebutkan?” tanya Ki Hariman dengan sedikit kegeraman memancar dari suaranya.
“Itu bukan anggapan saya pada Kyai. Tapi itu tidak adalah salah bila Kyai yakin dengan segala nilai yang Kyai ugemi,” jawab Raden Atmandaru, kali ini ia merendahkan nada. “Kekalahan kita pada hampir seluruh medan tidak berarti menunjukkan bahwa kita sama sekali tak berdaya. Saya menghindari pertemuan terbuka dengan prajurit Mataram di dalam kota. Jika itu terjadi, satu-satunya kepastian adalah kebodohan yang dipertontonkan secara nyata. Benar-benar memalukan! Oleh karena itu, saya harus dapat mengurangi hasrat untuk menguasai tahta Mataram. Saya harus memikirkan keselamatan semua orang yang berada di dalam gerakan ini, termasuk Kyai sendiri.”
“Aku sedang tidak ingin menanggapi langsung,” ucap Ki Hariman.
Sementara Ki Sekar Tawang, lagi-lagi, hanya berkata dalam hatinya. “Rangkaian kata yang memukau dan menjebak. Aku harus mengakuinya.”
“Menunggu menjadi pekerjaan penting. Saya kira Kyai sudah membuat pengertian mengenai itu untuk diri Kyai sendiri. Menunggu pun juga sedang dilakukan oleh Mas Jolang dan Ki Juru Martani serta orang-orang yang setia berdiri di belakang mereka. Kyai, kita tidak dapat mengingkari kenyataan itu,” tutur Raden Atmandaru, “mereka sabar menunggu hingga kita membuat kesalahan. Begitu pula yang kita perbuat pada waktu-waktu ini, menunggu mereka meninggalkan celah. Kita dan mereka berada pada keadaan yang sama. Masing-masing sedang memperjuangkan kepentingan sambil mempertahankan diri. Perbedaan besar yang terjadi adalah mereka wajib menjaga ketenangan. Sementara kita, terutama saya pribadi, adalah sumber kekacauan yang belakangan terjadi di Mataram. Saya dapat menerima anggapan itu, bahkan dengan senang hati karena pada dasarnya gerakan kita mirip bola api yang menggelinding dari puncak Merapi lalu membakar segala yang merintanginya.”
Bumbu Pecel Madiun Sumber Makmur tersedia di sini
Beberapa waktu lamanya, Ki Hariman berdiam diri. Pikirnya, memang benar bahwa Raden Atmandaru sedang ramai disebut sebagai sumber kekacauan. Sedangkan ia sendiri memang tidak berkepentingan langsung dengan gerakan yang digagas oleh Raden Atmandaru dan didukung Ki Sekar Tawang. Namun dalam waktu itu, Ki Hariman sadar bahwa kesalahan yang nyaris tidak bisa dihentikan akibatnya. Awalnya, ia anggap dengan bersembunyi dan mendalami isi kitab Kyai Gringsing dapat dilakukan di kotaraja dengan tenang. Suasana alam yang mengitari kotaraja masih mendukung usahanya, tetapi ketika pengikut Raden Atmandaru berulang-ulang menelan kegagalan maka itu menjadi bencana pribadi baginya. Hampir sepanjang pekan selalu ada orang yang menyuruhnya untuk memasuki kot, dan itu tidak dapat ditepisnya. Setelah membuat kesimpulan, Ki Hariman membuat keputusan, katanya, “Aku akan menunggu hingga malam ini berakhir, kemudian kita dapat berkumpul di Gunung Kendil.”
“Saya tidak dapat memaksa Kyai,” ucap Raden Atmandaru dingin.
Hampir bersamaan dengan berlangsungnya percakapan Raden Atmandaru bersama pembantunya, Kinasih berjalan ringan di sisi luar lapangan. Sesekali ia menebar pandangan berkeliling. Sikapnya tidak menarik perhatian orang karena Kinasih berpakaian cukup ringkas, mungkin hanya Agung Sedayu yang lekat mengawasi pergerakan murid Nyi Ageng Banyak Patra tersebut.