Tetapi akhirnya Sura, dan ketiga orang kawannya berhasil melihat keranda yang dikiranya dapat berjalan sendiri itu, sehingga justru ada di antara mereka yang menjadi sakit. Tetapi Paksi Pamekas sama sekali tidak takut bertemu dengan keranda yang dapat terbang. Meskipun demikian ia harus berhati-hati, karena di sekitar keranda itu terdapat sekitar sepuluh orang yang berpakaian serba hitam. Jika orang-orang itu menyadari, bahwa rahasia mereka diketahui, maka mereka tidak akan segan-segan menyingkirkan orang yang mengetahui rahasia mereka itu.
Beberapa lama Paksi berjalan di tengah-tengah bulak yang luas itu. Tetapi Paksi sudah menduga bahwa keranda yang belum lama lewat, hari itu tidak akan lewat. Apalagi keranda itu hanya lewat di hari-hari tertentu saja. Semakin lama maka langkah Paksi menjadi semakin jauh dari padukuhan.
Sementara malam menjadi semakin malam. Di simpang empat di tengah bulak, Paksi berhenti. Dipandanginya padukuhan yang tampak kehitam-hitaman. Seleret sinar oncor memancar menyusup di sela-sela dedaunan. Paksi harus menunda perjalanan panjangnya yang tidak diketahuinya kemana. la tidak merasa bersalah jika ia berhenti di padukuhan itu beberapa hari. Bahkan sampai sepuluh hari, karena ia memang tidak dibatasi oleh waktu. Bahkan tiba-tiba terngiang kembali suara ibunya melengkah. ”Kau sengaja mengusirnya.” Tetapi ayahnya selalu menjawab, ”Ia sudah menginjak tujuh belas tahun.”
Paksi menarik napas panjang. Namun tiba-tiba saja Paksi terkejut. Di bawah sebatang pohon randu yang tumbuh di pinggir simpang empat itu ia melihat sesuatu yang bergerak. Bahkan kemudian menjadi semakin jelas baginya, bahwa yang bergerak itu adalah seseorang yang sedang duduk bersandar batang pohon randu itu. Paksi melangkah surut. Sementara orang yang duduk bersandar pohon randu itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Paksi memang tidak ingin membuat persoalan. Karena itu, Maka Paksi merasa lebih baik ia pergi tanpa mengganggu orang itu.
Namun ketika ia melangkah menjauh, terdengar orang itu berkata, ”Kau kira begitu saja kau dapat pergi?”
Paksi berhenti. Sambil menghadap kearah orang itu, Paksi bertanya ”Apakah maksud Ki Sanak?”
“Kau telah mengetahui rahasiaku. Rahasia keranda terbang itu, serta kau telah melihat tempat kami menyimpan benda-benda rampokan itu.”
Jantung Paksi berdentang semakin cepat. Ternyata orang itu mengerti bahwa ia telah mengetahui rahasia hantu keranda itu. ”Apakah kau salah seorang dari mereka?” bertanya Paksi.
Orang itu masih tetap duduk. Dengan suara yang seakan-akan bergulung di dalam mulutnya, ia menjawab ”Ya. Aku salah seorang dari mereka.”
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun dadanya mulai bergejolak. Jika benar orang itu salah seorang dari para perampok yang membuat hantu-hantuan serta yang telah menyembunyikan barang-barang hasil rampokan itu, maka ia harus benar-benar mempertahankan hidupnya. Tetapi Paksi masih tetap berdiri di tempatnya karena orang yang duduk di bawah pohon randu masih duduk di tempatnya pula.
Namun kemudian terdengar orang itu berkata, ”Anak muda. Kau telah bermain dengan api. Adalah salahmu jika api itu menjilat dan membakar tubuhmu.”
Paksi menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Tetapi apa boleh buat. Ia harus berani memikul tanggung jawab atas perbuatannya sendiri sebagaimana dikaitkan oleh orang itu. Tiba-tiba saja keberaniannya telah menghangatkan darahnya. Dengan suara yang mantap Paksi bertanya, ”Apa yang kau kehendaki, Ki Sanak?”
“Nyawamu,” jawab orang itu.
“Ambillah sendiri” jawab Paksi.
Orang itu mulai bangkit. Ia berdiri di bawah pohon randu alas itu. Gelap malam telah mengaburkan wajah orang itu, sehingga Paksi tidak dapat melihat dengan jelas. Tetapi yang nampak di matanya dalam keremangan malam adalah tubuhnya yang gagah, tinggi dan besar. “Menyerahlah” suaranya terdengar serak.
“Untuk apa aku menyerah?” bertanya Paksi.
“Aku akan membunuhmu.”
“Kau kira aku apa?” Paksi justru bertanya dengan nada yang mantap. Pengalaman hidupnya membuat Paksi tidak mengenal takut lagi. Bahwa ia seakan-akan telah terbuang dari rumahnya membuatnya tidak peduli lagi apa yang terjadi biarlah terjadi. Bahkan kematian tidak lagi menghantuinya.
Orang itu mulai melangkah mendekat. Katanya ”Kau akan aku bunuh dengan caraku.”
“Jika kau benar-benar akan membunuhku, maka aku pun harus berusaha untuk mempertahankan hidupku. Jika karena aku mempertahankan diri terjadi sesuatu atasmu, aku tidak bertanggung jawab.”
“Bersiaplah anak yang sombong. Kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mundur.”
Paksi segera mempersiapkan diri. Meskipun ia masih terhitung sangat muda di umurnya yang tujuh belas itu, namun Paksi pernah menyadap ilmu dari seorang guru yang berilmu tinggi. Karena itu, ketika hidupnya terancam, maka ia akan mempertahankan dirinya dengan ilmunya sejauh yang dikuasainya. Demikianlah, maka pertempuran pun tidak dapat dihindarinya lagi. Dengan garangnya orang yang semula duduk di bawah pohon randu itu mulai menyerangnya. Tetapi Paksi telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika serangan itu datang,maka Paksi dengan tangkasnya telah mengelak. Bahkan dengan cepat, Paksi telah membalas menyerangnya. Tetapi orang itu mampu bergerak cepat pula. Serangan Paksi sama sekali tidak menyentuhnya. Ketika Paksi memburunya dengan serangan berikutnya, maka orang itu justru telah membenturnya. Serarigan kaki paksi yang terjulur mengarah ke dada, telah ditangkis lawannya dengan kedua tangannnya yang bersilang didadanya. Paksi yang belum mengetahui seberapa besar kekuatan dan tenaga lawannya telah terdorong selangkah surut.
Namun Paksi tidak berkecil hati. Lawannya ternyata juga tergetar dan surut selangkah pula. Demikianlah, keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang, bertahan dan menghindar. Dalam pertempuran yang semakin cepat itu, Paksi berusaha untuk dapat mengenali lawannya. Dalam keremangan malam, Paksi melihat bahwa lawannya itu adalah seorang yang cacat. Meskipun dalam gelap, tetapi setiap kali Paksi sempat melihat wajah yang cacat itu. Ternyata orang itu merasa, bahwa Paksi memperhatikan cacat di wajahnya. Karena itu, maka orang itu meloncat mengambil jarak sambil bertanya, ”Kau memperhatikan cacat di wajahku?”
“Ya,” jawab Paksi berterus-terang.
Orang itu tertawa. Katanya, ”Aku adalah seorang penjahat yang sudah berpuluh tahun melakukan kejahatan. Aku pernah menjadi pencopet kecil. Pencuri ayam dan jemuran. Aku pernah menjadi penyamun di tempat-tempat sunyi. Kemudian aku menjadi perampok dan bahkan perampok di laut. Selama berpuluh tahun aku ditempa oleh kerasnya duniaku. Cacat di tubuhnya terjadi disepanjang pengalamanku yang luas itu. Aku pernah disangka mati karena dipukuli orang sepasar. Tubuhku dilemparkan begitu saja ke jurang tidak terlalu jauh dari pasar itu.”
“Jangan membual!” potong Paksi.
“Kau menjadi ketakutan mendengar petualanganku?” bertanya orang itu.
“Sama sekali tidak” jawab Paksi. ”Jika sampai hari ini kau masih sempat bertualang, maka malam ini petualanganmu akan berakhir di sini.”
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, ”Kau benar-benar anak yang sombong. Tetapi kau akan menyesali kesombonganmu itu.”
“Aku sudah siap apa pun yang terjadi” jawab Paksi.
Orang itu tidak segera menyerang lagi. Tetapi ia pun berkata, ”Lihat, betapa wajahku menjadi cacat. Kakiku sedikit timpang. Bekas luka yang terdapat di mana-mana. Tetapi ilmukupun meningkat di setiap goresan yang terdapat pada tubuhku.”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku akan mempertahankan hidupku.”
Orang itu melangkah mendekat lagi. Dengan cepat orang itu telah menyerang pula. Pertempuran pun menyala kembali. Keduanya bergerak semakin cepat. Serangan demi serangan telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Orang yang berwajah dan bertubuh cacat itu ternyata semakin lama menjadi emakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan semakin keras. Tetapi Paksi pun telah meningkatkan kemampuannya. Pada umurnya, Paksi memiliki tenaga yang mantap. Kebiasaannya bermain dengan permainan keras telah membantu meningkatkan kekuatan dan ketahanan tubuhnya. Kesenangannya bergulat di tepian membuat tubuhnya semakin liat dan tahannya pun menjadi semakin tinggi. Karena itu maka setelah bertempur beberapa lama, tenaga Paksipun masih belum menyusut. Tetapi pengalaman orang cacat itu memang jauh lebih luas dari Paksi. Karena itu, maka setiap kali serangan orang itu mengejutkan Paksi. Namun betapa pun Paksi mengerahkan kemampuannya, orang itu ternyata mampu menembus pertahanannya. Serangan-serangannya sekali-sekali telah menyentuh tubuhnya. Tetapi setelah bertempur beberapa lama, Paksi mulai melihat celah-celah pertahanan lawannya. Paksi yang kemudian mengalami kesulitan itu, tidak lagi sekedar bertempur dengan unsur-unsur gerak yang dikuasainya. Tetapi ia harus mempergunakan penalarannya sebaikbaiknya. Ia harus membuat perhitungan-perhitungan dengan cepat, tetapi cermat agar tidak justru membuatnya semakin sulit.
Ketika Paksi harus meloncat menjauhi lawannya untuk mengambil jarak, ia melihat bahwa lawannya tidak terlalu cepat menyusulnya. Terasa ada tenggang waktu sekejap sebelum lawannya melibatnya lagi dalam pertempuran yang sengit. Sekali dua kali Paksi mencoba, Sehingga ia dapat mengambil kesimpulan bahwa lawannya kurang memiliki ketangkasan untuk bertempur dengan loncatan-loncatan panjang. Dengan demikian, maka Paksi telah memilih cara yang justru tidak disukai lawannya. Paksi bertempur pada jarak yang dipeliharanya dengan baik. Ternyata Paksi berhasil mempersulit kedudukan lawannya.
Tetapi setiap kali pengalaman orang cacat yang luas itu, terasa sangat berpengaruh dalam pertempuran itu. Orang cacat itu tidak mau terpancing dalam pertempuran dengan jarak yang panjang. Setiap kali Paksi meloncat menjauh, lawannya tidak tergesa-gesa memburunya. Tetapi ia justru melangkah satu-satu mendekatinya. Paksilah yang kemudian menjadi tidak telaten. Ia menjadi tidak sabar sehingga tidak berpegang teguh pada perhitungannya. Dengan demikian, maka serangan-serangan lawannya itu menjadi semakin sering menembus pertahanan anak muda itu. Ketika Paksi menjulurkan kaki menyerang ke arah lambung lawannya, maka orang cacat itu justru menjatuhkan diri. Kakinya dengan cepat menyapu kaki Paksi yang lain, sehingga Paksi telah menjadi kehilangan keseimbangan. Karena itu, maka Paksi pun terjatuh. Tetapi ia pun dengan cepat bergulir. Dengan tangkas pula Paksi segera meloncat bangkit. Tetapi di luar dugaan. Lawannya yang timpang, yang selalu menghindari pertempuran dengan jarak yang panjang, mampu meloncat dengan cepat. Ternyata Paksi terkejut. Tetapi ia terlambat menghindar. Tangan orang itu dengan cepat menghantam perutnya.
Di luar sadarnya, Paksi terbungkuk. Namun dengan cepat pula lawannya memegang kepalanya. Dengan kerasnya kepala Paksi telah membentur lutut orang yang timpang itu. Mata Paksi menjadi gelap. Tetapi ia tidak mau kehilangan kesadarannya. Bahkan dengan cepat ia surukkan kepala pada perut lawannya. Keduanya terjatuh berguling di tanah, namun Paksi tidak ingin menjadi sasaran serangan-serangan lawannya. Meskipun perutnya masih terasa mual serta kepalanya masih aangat pening, tetapi Paksi telah bersiap kembali untuk bertempur.
Pada saat yang sama, lawannya telah bangkit pula. Bahkan dengan cepat ia telah menyerang Paksi. Sambil meloncat orang itu telah menjulurkan tangannya ke arah dada. Tetapi Paksi dengan cepat bergeser kesamping. Justru pada saat tangan lawannya terjulur, Paksi telah menyerang lambung orang’itu dengan kakinya. Meskipun orang itu menggeliat, tetapi kaki Paksi masih dapat menggapainya, sehingga orang yang sedang meluncur itu telah terdorong ke samping dan jatuh berguling. Tetapi orang itu kurang beruntung, bahwa ia tidak memperhatikan parit yang membujur di pinggir jalan, sehingga ia justru terperosok ke dalamnya. Dengan cepat orang itu bangkit. Pakaian dan tubuhnya menjadi basah kuyup. Karena hal itu tidak terduga, maka beberapa teguk air telah masuk ke dalam kerongkongannya. Ketika orang itu sibuk mengusap wajahnya, serangan Paksi telah datang lagi. Kakinya dengan cepat sekali terjulur menyambar kening orang itu. Sekali lagi orang itu terlempar. Bahkan orang itu telah terlempar ke dalam lumpur di kotak sawah yang basah.
Paksi yang ingin mengambil kesempatan tidak menunggunya. Dengan cepat ia memburu lawannya. Demikian lawannya bangkit, maka tangannya telah menyambar dagu. Gigi orang itu terdengar gemeretak. Dengan kasarnya orang itu mengumpat. Tetapi ketika dengan satu putaran kaki Paksi menyambar dadanya, maka orang itu telah terlempar jatuh. Dengan cepat orang itu bangkit. Tetapi ia tidak berusaha menyerang Paksi. Dengan serta merta, maka orang itu pun melarikan diri ke dalam kegelapan. Beberapa puluh langkah Paksi mengejarnya. Tetapi kemudian ia menghentikan usahanya untuk menangkap orang itu. Karena itu, maka Paksi pun berhenti. Paksi menarik napas dalam-dalam. Ternyata ia harus terlibat dalam pertempuran dengan salah seorang di antara para perampok yang telah membuat hantu-hantuan itu. Bahkan hampir saja ia terdesak. Jika ia gagal mempertahankan diri, maka nyawanya tentu benar-benar akan dihabisi oleh orang itu. Paksi berdiri termangu-mangu sejenak. Angin terasa semilir menghembus kulitnya. Ketika Paksi menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit bersih. Bintang-bintang berkeredipan kebatas cakrawala. Namun tubuh Paksi semakin terasa nyeri. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Sedangkan kepalanya masih saja terasa pening.
Sejenak Paksi berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia membenahi pakaiannya. Ketika ia melangkah kembali ke padukuhan, sendi-sendinya terasa sakit. Ketika Paksi memasuki regol halaman rumah Sura, ternyata Sura masih duduk di sebuah lincak bambu yang panjang di serambi.
Demikian melihat Paksi memasuki regol halaman dan keremangan malam, Sura segera bangkit dan menyongsongnya. “Kau membuat aku cemas, Ngger.”
Baca juga : Bara di Borobudur
Paksi menarik napas panjang. Namun ia bertanya, ”Pertemuan di rumah Ki Bekel itu begitu cepat selesai?”
“Pertemuan itu cukup lama, Ngger. Kaulah yang pergi terlalu lama. Kita sudah berada di belahan malam terakhir.” Paksi menarik napas dalam-dalam. Tengah malam memang sudah lewat. Agaknya ia bertempur cukup lama pula. “Marilah, Ngger,” ajak Sura, ”sudah waktunya kita beristirahat.”
Keduanya pun melangkah ke serambi.
Paksi berkata, ”Aku akan pergi ke pakiwan, Paman.”
“Baiklah. Tetapi lewat pintu butulan saja.”
“Aku akan masuk lewat pintu butulan.” Paksi kemudian langsung pergi ke pakiwan lewat samping rumah meskipun Sura mengajaknya lewat ruang dalam rumahnya. Paksi memang harus membersihkan tubuhnya dari debu dan lumpur. Tetapi ia tidak dapat membersihkan pakaiannya malam itu.
Ketika Paksi masuk ke ruang dalam lewat pintu butulan, Sura terkejut. Ia melihat wajah anak itu lembab kebiru-biruan dekat arah matanya, langkah Paksi menjadi berat dan bahkan kaki kanannya menjadi sedikit timpang. “Apa yang terjadi, Ngger?”
Paksi menarik napas dalam-dalam. Sura kemudian menggandengnya dan mempersilahkannya duduk di atas tikar pandan. Paksi yang nampak sangat letih dan sekali-sekali memegang perutnya yang sakit dan mual, duduk sambil menundukkan wajahnya. Ketika ia mencuci mukanya, terasa wajahnya menjadi pedih.
“Apa yang terjadi?” Sura mendesaknya, ”aku sudah gelisah menunggumu. Ternyata kau telah mengalami sesuatu.”
“Aku berjalan-jalan sampai keluar padukuhan ini, Paman. Tetapi malang, aku bertemu dengan salah seorang dari para perampok itu. Ketika aku diserang, aku mencoba untuk bertahan. Tetapi inilah yang terjadi. Tetapi aku masih beruntung bahwa aku sempat lari,” jawab Paksi merendahkan diri agar orang-orang padukuhan itu tidak terlalu menaruh pengharapan kepadanya jika ternyata kelak mereka benar-benar harus menghadapi Kebo Lorog.
Sura mengerutkan dahinya. Di luar sadar, ia berdesis, ”Syukurlah bahwa kau dapat melepaskan dirimu.”
Paksi tidak menyahut.
Tetapi Sura melihat sesuatu yang terbersit di hati Sura. Meskipun ragu-ragu, Sura bertanya ”Tetapi bagaimana peristiwa itu terjadi? Apakah kau tahu pasti, bahwa orang itu salah seorang di antara para perampok itu?”