Menjelang waktu matahari terbenam, Raden Atmandaru berdiri gelisah. Meski semangat tinggi masih memancar kuat dari sorot matanya, tetapi ia tidak dapat menghalau gundah dari hatinya. Dari tempatnya berdiri, Raden Atmandaru dapat melihat semua kegiatan pengikutnya. Sebenarnya ia tidak ingin menunda serangan karena segala sesuatu telah direncanakan begitu matang. Demikian keadaannya hingga malam tiba tetapi masih belum ada tanda-tanda yang sedang dinantikan olehnya.
Waktu pun melayang tanpa suara. Dua sosok tubuh terlihat mendekati pemukiman. Menyusuri jalan setapak dan sekali-kali bertiarap ketika sekelompok peronda berada di dekat mereka.
“Apakah orang itu adalah Raden Atmandaru, Ayah?”
“Betul.”
“Apakah ia memang sengaja menunggu kita di atas atap bangunan bambu itu?”
“Betul.”
“Bukankah dengan begitu, setiap orang akan dapat melihat pertemuan ini?”
“Tidak.”
“Ayah!”
“Mengapa Mangesthi? Bukankah keadaan begitu gelap dan cahaya obor tidak akan dapat menerangi bagian atas?”
“Aneh, tapi baiklah, saya tidak perlu mengerti alasannya menemui kita di atap bangunan.”
“Lalu?”
“Sudahlah, aku hanya mengikuti Ayah.”
Lelaki setengah baya yang dipanggil ayah itu pun melesat seperti terbang. Meski dua kainya bergantian menyentuh ranting dan anak ranting, tetapi kemampuannya menyerap bunyi telah menghilangkan segala desir daun dan gemeretak kayu. Di belakangnya, Mangesthi pun begitu ringan mengikuti jejak ayahnya.
“Engkau akhirnya datang juga,” kata Raden Atmandaru ketika melihat dua bayangan meluncur deras ke arahnya.
“Raden,” sapa lelaki yang berusia lebih muda dari Ki Patih Mandaraka.
“Ki Sekar Tawang, Mangesthi,” sahut Raden Atmandaru dengan badan sedikit membungkuk.
“Ampuni kami, saya pikir kami telah melambatkan pergerakan Panembahan,” kata Ki Sekar Tawang dengan sikap tubuh lebih rendah dari Raden Atmandaru diikuti oleh Mangesthi.
“Tidak, Ki Sekar Tawang. Justru dengan kedatangan Ki Sekar dan Mangesthi, saya sedang menimbang untuk menunda serangan.”
“Raden paham yang terbaik,” kata Ki Sekar Tawang.
“Saya pikir lebih baik kita bicarakan ini di dalam. Marilah!”
Ruangan yang dijadikan pertemuan itu begitu sederhana. Tidak ada hiasan dinding, kalaupun ada, itu adalah gambar wilayah Mataram. Sungai dan gunung, jalan dan permukaan tanah begitu jelas ditampilkan.
“Raden begitu cermat dan teliti dalam pengamatan,” ucap Mangesthi yang mengagumi rincian dan keterangan yang tertera di atas gambar wilayah.
“Barangkali kau benar, Mangesthi. Hanya saja aku tidak pernah merasa seterang itu dalam menuangkan siasat.”
Ki Sekar Tawang yang berdiri menghadap Raden Atmandaru perlahan-lahan melepaskan bungkusan panjang yang menempel pada punggungnya. Ia berjongkok dengan satu lutut menempel tanahketika mengangsurkan bungkusan panjang pada Raden Atmandaru seraya berkata, “Harap Raden sudi menerima piandel kebanggaan Panembahan Senapati.”
Pandang tajam Raden Atmandaru seolah membelah kain pembungkus benda sepanjang lengan orang dewasa. Ia berpaling pada Mangesthi lalu perintahnya, “Bukalah.”
Mangesthi dengan sikap hati-hati membuka kain penutup benda panjang itu.
“Kiai Plered!” kata Raden Atmandaru dengan nada penuh tekanan tetapi ia belum mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
Ki Sekar Tawang masih berada dalam keadaannya dengan hati bertanya, “Mengapa Raden tidak lekas mengambilnya?”
Melihat sikap Raden Atmandaru yang bergeming pada tempatnya, Mangesthi bersikap sama seperti ayahnya. Ia berkata, “Raden, bila Raden enggan menerima piandel Mataram, maka tidaklah berarti bagi untuk hidup setelah malam ini.”
“Oh, bukan, bukan itu. Berdirilah,” perintah Raden Atmandaru dengan tangan gemetar ketika menyentuh batang tombak Kiai Plered. Setelah sepenuhnya Kiai Plered berada dalam genggamnya, Raden Atmandaru meneruskan kata-kata, “Aku termenung bukan saja karena tidak mengira kalian dapat mengambilnya dari gudang pusaka. Lebih dari itu, aku melihat kejayaan dan kemakmuran Mataram seolah telah membentang di hadapanku.”
“Kami menunggu perintah Raden,” kata Ki Sekar Tawang yang telah tegak berdiri sebelah menyebelah dengan Mangesthi.
Sebelumnya : Bab 3 – Membidik