Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 29 – Pedukuhan Janti

Sukra merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Terbayang dalam pikirannya, bagaimana perasaan Agung Sedayu yang secara mengejutkan tiba-tiba mendapati wajahnya bersungut-sungut tepat di hadapan wajah senapati itu?

Namun suara Agung Sedayu segera mengusir semua prasangka Sukra ketika ia berkata, “Masuklah kalian bertiga. Terutama engkau, Sukra. Aku ingin sekata dua kata denganmu di pringgitan.” Sepintas ia melihat sejumlah penjaga regol masih mengelilingi pengawal dari Gondang Wates, alis Agung Sedayu bertaut kemudian bertanya pada Dharmana, “Kakang, siapakah pemuda itu?”

Dharmana mengerlingkan mata ke arah regol lalu jawabnya, “Sabin. Dari Pedukuhan Gondang Wates.”

“Mungkinkah Sabin dapat memberi keterangan, mengapa belum ada penghubung dari Janti yang datang ke pedukuhan induk?”

loading...

“Saya akan memanggilnya.”

“Itu dapat dilakukan, Paman.”

Dharmana segera menghampiri Sabin lalu mengajaknya masuk ke rumah Ki Demang. Sejenak kemudian mereka berempat mengikuti Agung Sedayu memasuki pringgitan. Mereka tidak berucap kata meski perlahan atau berbisik. Ketiganya tahu bahwa di dalam ada Sekar Mirah yang membutuhkan keadaan yang sangat tenang. Walau suasana itu hanya sebatas regol halaman rumah ayahnya, setidaknya Sekar Mirah telah terpisah dari segala keributan yang terjadi di pedukuhan induk.

Agung Sedayu duduk di atas tikar daun pandan, menyusul Dharmana dan dua anak muda dari Menoreh. Lalu kata Agung Sedayu, “Ada berita apakah yang akan kalian katakan padaku?” Tatap mata pemimpin pasukan khusus itu memandang Sayoga dan Sukra bergantian.

“Ya, Kakang,” jawab Sayoga setelah mendapat persetujuan dari Sukra dengan anggukkan kepala. “Kami datang dari Menoreh atas ajakan Kiai Bagaswara dan juga perintah Ki Gede. Namun kami tidak dapat melakukan perjalanan seperti biasa. Maksud saya, kami sebenarnya ingin segera tiba di Sangkal Putung, tetapi di Pedukuhan Jagaprayan ada kendala yang harus kami selesaikan terlebih dulu.” Kemudian Sayoga mengisahkan segala peristiwa dan yang dilihat oleh mereka di Jagaprayan, termasuk ketika melihat Pandan Wangi meski sekilas.

“Jadi, kalian meninggalkan Jagaprayan setelah yakin Nyi Pandan Wangi telah berada di sana?”

“Benar, Ki Rangga.” Sayoga mengambil alih jawaban sementara Sukra masih membenamkan wajah dalam-dalam.

“Lalu, bagaimana keadaan di Janti?” bertanya Agung Sedayu pada Sabin.

“Mereka terkurung di dalam, Ki Rangga,” jawab Sabin dengan suara bergetar. Ia seperti hampir kehilangan kepercayaan diri ketika Agung Sedayu bertanya mengenai keadaan wilayah di dekat pedukuhannya.

“Terkurung?” Agung Sedayu mengulang jawaban sambil mengerutkan kening. “Apakah itu berarti tidak ada orang yang dapat keluar dari Pedukuhan Janti atau kalian memang tidak dapat menembus pertempuran bila itu terjadi?”

“Keduanya benar, Ki Rangga.”

“Bagaimana maksudnya itu?”

“Hampir seluruh pengawal Pedukuhan Janti tersedot oleh kebakaran yang terjadi di sebelah barat. Sedikit orang yang tetap berada di gardu jaga. Namun, entah bagaimana, tiba-tiba beberapa gardu jaga telah jatuh ke tangan musuh. Kami dapat melihatnya dari gardu yang ada di antara wilayah kami dengan Janti. Beberapa kawan mencoba datang untuk membantu, tetapi mereka tidak kembali ke Gondang Wates.”

Maka memancarlah rasa heran dari wajah Agung Sedayu. Namun ia segera dapat mengendalikan jalan pikirannya. Mereka telah memperhitungkan segalanya, pikir Agung Sedayu. Kemudian ia bertanya lagi, “Sabin, apakah ada orang yang memintamu datang ke sini atau atas kehendakmu sendiri?”

“Yang tidak kembali ke Gondang Wates juga termasuk pemimpin kami, Ki Rangga. Maka saya merasa Ki Rangga harus mengetahui keadaan terakhir di tempat kami.”

“Tidak ada pemimpin pengawal di Gondang Wates,” Agung Sedayu berkata lirih. Ia sudah dapat menduga bahwa siasat yang luar biasa telah menguasai dua pedukuhan, Janti dan Gondang Wates. Meski demikian, kedatangan Sabin menunjukkan bahwa pertempuran belum bergeser ke Gondang Wates.

Agung Sedayu lekat menatap Sayoga. Dalam benaknya, ia mempunyai keyakinan tinggi pada anak Ki Wijil tersebut. Kemampuannya bertarung telah terbukti ketika melawan Ki Malawi dan Ki Sarjuma di hutan sebelah luar Tanah Perdikan. “Apakah engkau bersedia menjadi mata kami di Gondang Wates, Sayoga?”

“Saya, Ki Lurah.” Tiba-tiba Sukra mengangkat wajah dan setiap orang dapat melihat kesungguhan dari sorot mata anak muda yang mendapat bimbingan dari Glagah Putih itu.

“Sukra,” Agung Sedayu berkata perlahan, “bukankah engkau pernah berjanji bahwa engkaulah yang akan merawat ari-ari anakku. Lantas bagaimana sekarang engkau meletakkan harapanku seperti engkau telah melupakan janji itu?”

“Tidak, Ki Lurah. Tidak, saya tidak mengingkari janji.”

“Lalu bagaimana seseorang dapat pulang balik lebih cepat? Sedangkan engkau dapat memperkirakan jarak pedukuhan induk dengan perbatasan Janti.”

“Saya akan kembali ke sini, secepatnya.”

“Bagaimana bila engkau kemudian terlibat pertempuran di sana lalu kesulitan kembali ke sini? Bukankah itu sudah berarti engkau mengingkari janji?”

“Tetapi, Ki Lurah…” Segera ia menghentikan kata-katanya. Sesungguhnya Sukra dapat melihat kebenaran dari kata-kata Agung Sedayu. Pikirnya, memang tidak ada seorang pun yang dapat melakukan perjalanan sangat cepat selain yang mempunyai ilmu berlari cepat. Dan, ia belum mencapai tingkatan itu.  Selain kemarahan dan keinginannya untuk melepaskan amukan, apa yang menjadi tujuannya bila telah berada di perbatasan Janti dan Gondang Wates?

Untuk beberapa waktu, Agung Sedayu membiarkan Sukra merenung. Ketika dilihatnya Sukra menghela napas, Agung Sedayu kemudian berkata, “Segala sesuatu telah berada di garis yang tidak akan dapat dicampuri oleh kita dan orang lain. Maka, menetaplah pada janjimu dan biarkan Sayoga yang melakukan pekerjaan itu.” Senapati pasukan khusus itu menatap Dharmana sambil berucap, “Dengan ditemani oleh Kakang Dharmana.”

“Saya, Ki Rangga,” serempak Sayoga dan Dharmana menjawab.

Hanya Sukra yang lirih berkata sambil menenggelamkan wajah, “Tunduk, Ki Lurah.”

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.