Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 56 -Gondang Wates

“Perang adalah cara meraih kemenangan, tetapi tidak selalu harus disertai kekerasan. Tipu daya mempnyai banyak ragam dalam sebuah peperangan. Termasuk yang kita hadapi sekarang,” lanjut Agung Sedayu dengan wajah lurus ke depan. “Mungkin engkau bukan termasuk anak muda yang mendapat tempat di Menoreh. Segala sesuatu membutuhkan waktu untuk menjalani perubahan demi perubanan yang mengikat pada tempat dan waktu yang berlainan. Engkau pun ada di dalamnya.”

Agung Sedayu tidak melihat perubahan pada air muka anak muda yang ngenger padanya begitu lama, Apabila Sukra mengucap satu atau dua kata, mungkin Agung Sedayu dapat mengetahui gejolak dalam dada anak muda itu. Ia mengenali nada suara Sukra, tetapi pada malam itu, Sukra lebih banyak diam.

Sukra kemudian dapat mengerti setelah Agung Sedayu memberi banyak uraian tentang perang dan segala hal yang terkait dan terikat dengannya.

Selagi Agung Sedayu mengatakan mengenai banyak bagian dari peperangan, sesungguhnya ia tengah berbicara dengan dirinya sendiri. Sejak kedatangannya di Sangkal Putung pada saat kademangan itu terkepung oleh Macan Kepatihan, Agung Sedayu tidak pernah menyangka akan terbelit oleh urusan besar. Sekalipun belum mendengar keberadaan terakhir tentang kitab gurunya dan Swandaru, tetapi sedikit sesal mulai mencengkeram dasar hatinya.

loading...

“Ki Tunggul Pitu,” gumam Agung Sedayu dalam hati. “Bila ia pernah mengatakan akan menungguku di Lemah Cengkar, apakah benar Raden Atmandaru telah membuat perkemahan untuk menghimpun pasukannya di sana?.” Pandangan senapati Mataram itu beralih. Ia tengah berpikir tentang Randulanang. Dentang senjata telah beradu di Pedukuhan Janti, Jagaprayan dan mungkin juga terjadi di Gondang Wates, tetapi Dharmana dan Sayoga belum juga datang padanya. Pikiran Agung Sedayu menyambar dan membakar setiap ruang yang ada. Ia membuka kemungkinan bahwa dua utusannya terperangkap dalam pertempuran di Gondang Wates. Lantas jika Sukra menyusul dua orang itu, lalu siapakah yang menjadi peninjau di Randulanang?

Untuk sejenak, Agung Sedayu merasakan dadanya sulit bergerak naik turun. Begitu pepat dan sesak seolah terhimpit longsoran tebing Merapi.  Tidak ada tempat baginya untuk meragu dan bimbang membuat keputusan. Sukra pergi atau tetap di pedukuhan induk? Dua orang muda kepercayaan Ki Gede Menoreh telah menjadi tanggung jawabnya, maka dari itu, Agung Sedayu tidak dapat membiarkan Sukra berjalan seorang diri menuju Randulanang.

Dalam hitungan jarak, Lemah Cengkar lebh cepat dijangkau oleh pasukan yang berada di barak Jati Anom. Namun Randulanag, sekalipun tidak terpaut jauh, mempunyai persoalan lain. Randulanang adalah pedukuhan yang rapat dengan pepohonan. Jalan pikiran Agung Sedayu mengingatkan bahwa hanya sedikit tanah lapang di daerah itu. Sepertinya Raden Atmandaru tidak akan menghimpun orang dalam jumlah besar di Randulanang. Namun bila ia terkenang Ki Tunggul Pitu, maka bimbang pun melambai-lambai dalam hatinya. Sangat berbahaya bila Sukra bertemu dengan Ki Tunggul Pitu. Dalam pikiran pemimpin pasukan khusus ini, Sukra adalah orang yang terdekat dengannya dan mempunyai banyak keterangan mengenai kebiasaannya. Sulit memaksa Sukra berbicara dengan tekanan, tetapi Ki Tunggul Pitu seperti mempunyai kelebihan dalam menangkap keinginan seseorang.

Maka bimbang itu semakin membuat hati Agung Sedayu gelisah. Pikirannya berbalik arah berulang kali.  “Seandainya ia tertangkap, apakah Sukra pun akan menjadi bagian perjanjian Ki Tunggul Pitu? Namun aku tidak dapat menjadi pengiringnya. Seseorang harus dapat menemani Sukra ke Randulanang. Ah, siapakah dia?” Agung Sedayu mengingat semua kepala pengawal yang bertemu dengannya sejak sepekan terakhir ini. Sejenak kemudian pikiran itu dibantahnya sendiri. Apakah ada kepastian Ki Tunggul Pitu berada di Randulanang?

“Sukra,” kata Agung Sedayu.

“Saya, Ki Lurah.”

“Apakah engkau mempunyai harapan selain kemenangan Sangkal Putung?”

“Ki Lurah memberi saya pertanyaan sulit.”

Agung Sedayu memaksa untuk tersenyum. Bahwa Sukra adalah anak muda yang sederhana, ia tahu. Namun itu tidak menjadi bagian terpenting untuk mengatasi keadaan gawat Sangkal Putung. “Maksudku, apakah engkau mempunyai keinginan untuk menjalani kehidupan lain setelah perang ini usai?”

Sukra menerawang jauh. Angan-angannya melejit keluar dari ruang pikirannya. Menjadi prajurit Mataram menjadi kemauan yang tetap terjaga olehnya. Bahkan, Sukra berlatih sangat keras agar dapat mengikuti pendadaran untuk menjadi bagian dari pasukan khusus. “Hmm, Ki Tunggul Pitu seharusnya engkau tahu bahwa kejayaan dan masa depan berada di Tanah Perdikan, bukan Randulanang,” berkata Sukra dalam hatinya. Sedikit gugup Sukra yang ingin memunculkan tanya. Bertahap dikumpulkannya keberanian. Kemudian dengan bibir bergetar, Sukra bertanya, “Apabila saya melakukan segala perintah Ki Lurah, apakah itu menjadi penilaian bila saya mencatatkan diri sebagai calon pasukan khusus?”

Agung Sedayu meledakkan tawa yang ditahan. Walau terperanjat, sesungguhnya ia bangga dengan pertanyaan itu. “Keadaan Sangkal Putung mungkin dapat menjadi pembuka yang baik untukmu. Namun aku tidak ingin engkau salah dalam membuat pijakan dasar.”

Paras ayu Gendhis mendadak muncul dalam angan Sukra. “Mengapa gadis itu membayang? Apakah ia telah terukir dalam hatiku? Ini benar-benar gila dan sulit. Sulit sekali mengurai anak itu agar bayang wajahnya bertabur seperti debu!”

Andaikan, andai saja Agung Sedayu dapat mendengar pekik hati Sukra, Ia pasti berpucat wajah! Agung Sedayu tidak menyangka bahwa sebenarnya Sukra telah berada seperempat dari jarak kesepakatan dengan Ki Tunggul Pitu.

Lalu kata Agung Sedayu kemudian, “Jadi, aku ingin engkau menetapkan hati dan landasan yang sangat kuar. Perang tidak sekadar berlari dan berkelahi, bukan hanya kemenangan dan kekalahan. Namun juga ada harga diri dan martabat.” Namun begitu getir yang dirasakan oleh suami Sekar Mirah ini ketika menekankan pesan pada Sukra!

Sebenarnya mereka mempunyai persamaan. Agung Sedayu dan Sukra telah bertemu dengan Ki Tunggul Pitu dalam jarak waktu yang tidak terlalu jauh.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.