Nyi Kuswari, dengan kepala sedikit menunduk, berkata, “Ki Rangga, dengan usia janin yang belum genap delapan bulan, tentu kita tidak mengetahui pasti tentang keadaannya di dalam. Saya hanya sanggup memperkirakan saja, tak lebih dari itu.”
Agung Sedayu tenang menunggu uraian dukun bayi yang terkenal sangat terampil di kademangan.
Kemudian, lanjut Nyi Kuswari, “Nyi Mirah sering mengeluhkan pernapasannya terganggu. Selain itu, dalam waktu belakangan ini, Nyi Mirah juga mengatakan bahwa beliau pun kadang-kadang merasakan otot perutnya mengejang. Ki Rangga, saya khawatir bila kejangnya otot perut itu kemudian menjadi tanda-tanda kelahiran.”
Agung Sedayu mengerti sedikit tentang cara mengobati bagian perut melalui kitab peninggalan gurunya, tetapi persoalan kandungan hanya disinggung tak lebih dari satu halaman saja. Sewaktu mendengar penuturan Nyi Kuswari, Agung Sedayu sedikit merasa tengah berjalan dalam kegelapan. Semakin jauh ia berjalan atau membuat perkiraan sendiri, maka kian dekatlah Sekar Mirah dengan musibah. Bagaimana dapat seperti itu bila ia hanya mengerti sangat sedikit tentang persalinan? Desah resah pikiran Agung Sedayu mengguncang lembar ketenangannya.
Lantas murid Kiai Gringsing itu mendekati pembaringan istrinya, kemudian berkata lirih, “Sejauh ini, apakah anak kita masih cukup kuat bergeliat?”
“Gerak kakinya semakin kuat, Kakang. Bahkan kadang-kadang saya dapat merasakan ia benar-benar membentangkan dua kaki dan tangannya. Saya dapat menyentuhnya, entah bagian tangan atau kakinya, tapi gerakan itu terasa hingga bagian bawah dada.”
“Lalu?”
“Tak jarang saya merasakan bahwa ia sedang mencari jalan lahir. Perputaran tubuhnya di balik perut, sungguh, benar-benar kuat. Kakang, bukankah usia anak kita belum sembilan bulan? Bahkan mungkin masih delapan, bila perhitungan saya benar. Tidakkah akan terjadi sesuatu yang buruk dialami olehnya?” Sekar Mirah menanyakan itu dengan dua tangan mengusap-usap perutnya. Sejenak wajah gelisah itu berubah menjadi sumringah. Kata Sekar Mirah, “Peganglah, Kakang. Letakkan tangan Kakang di sini!” Sekar Mirah meraih tangan Agung Sedayu, lalu menempatkannya di atas bagian perutnya yang bergerak-gerak. “Lihat, Kakang! Rasakan. Apakah Kakang dapat merasakan gerakannya?”
Paras wajah Agung Sedayu berseri-seri. Baginya, gerak janin secara nyata lebih kuat dari bulan sebelumnya. Lalu muncul dalam benaknya, sebuah pertanyaan, apakah jabang bayi itu akan baik-baik saja bila lahir sebelum masa wajarnya?
Di hadapan Sekar Mirah, Agung Sedayu menekan perasaannya yang terguncang karena kekhawatiran. Meskipun itu tidak berlebihan, tetapi persalinan itu adalah perihal pertama yang dialami Agung Sedayu setelah belasan tahun berdampingan dengan Sekar Mirah. Ia mengumbar senyum, lalu berkata, “Ini pukulan atau tendangankah? Ia begitu kuat. Sepertinya benar-benar tak sabar berayun dalam buaianmu, Mirah.”
“Semoga Yang Maha Agung menerima harapan Kakang.” Jari jemari Sekar Mirah kuat mengenggam tangan suaminya. Kemudian ia berpaling dan berucap kata pada Nyi Kuswari, “Nyi, dapatkah saya beroleh air hangat?”
Nyi Kuswari mengangguk, namun sewaktu ia membalikkan tubuh, Sukra telah melesat, bergegas menuju dapur. Sekejap kemudian ia telah kembali dengan air hangat seukuran tiga kali tempurung kelapa. Nyi Kuswari memperhatikan anak muda itu dengan mengernyitkan kening. Ia belum mengenal Sukra, namun Agung Sedayu kemudian menerangkan, “ia bernama Sukra. Ia tinggal bersama kami di Tanah Perdikan selama belasan tahun, Nyi.”
Mendengar penjelasan padat Agung Sedayu, Nyi Kuswari pun manggut-manggut. Ucapnya, “Anak yang menyenangkan. Tangkas dan tanggap.”
Sukra mendengar percakapan singkat itu, tetapi seperti biasa, anak lelaki itu bersikap seolah tidak menaruh perhatian. Ia mengangsurkan baskom tanah perlahan pada Sekar Mirah.
“Engkau pun datang ke Sangkal Putung,” kata Sekar Mirah dengan lemah menunjuk meja agar Sukra meletakkan wadah air di sana.
Sukra mengangguk, lalu sekilas ia mengerling pada perut Sekar Mirah kemudian menyembunyikan wajah.
“Kapankah engkau datang?”
“Belum lama, Nyi.”
“Ambillah tempat untuk istirahat. Ki Lurah tentu tidak segera memintamu mengerjakan sesuatu meski engkau ingin.”
“Baik, Nyi.” Sukra beringsut kembali ke tempatnya berdiri. Meskipun demikian, ia tidak melakukan permintaan Sekar Mirah. Sukra tidak ingin istirahat. Ia tidak dapat melakukan itu dengan pikiran-pikiran yang menghunjamnya tanpa henti. Sayoga dan persalinan Sekar Mirah, Janti dan Gondang Wates adalah dua pokok yang mengusik jalan-jalan dalam benaknya. Bahkan Sukra pun memikirkan pedukuhan lain yang berada di sebelah utara pedukuhan induk. “Hanya pedukuhan itu yang belum mencuatkan kabar. Hanya pedukuhan itu,” gumam Sukra dalam hatinya tetapi ia tidak menanyakan keadaan Pedukuhan Jati Kalang pada Agung Sedayu. Sukra tak ingin mendahului seorang rangga.
Kiai Bagaswara yang lebih banyak diam untuk mengamati dan menilai perkembangan Sekar Mirah, walau tanpa diminta Agung Sedayu, kemudian berkata, “Ki Rangga.”
Agung Sedayu berpaling padanya lalu mendekat lelaki sepuh itu dengan tubuh sedikit membungkuk.
“Saya pikir memang ada kemungkinan langkah-langkah khusus untuk persiapan kelahiran.”
“Dapatkah saya mengetahui itu, Kiai?” Dua tangan Agung Sedayu bersilang di bagian pusar dengan tubuh masih membungkuk sewaktu mengungkap keinginannya.
Kiai Bagaswara mengangguk, kemudian ucapnya, “Ki Rangga bahkan wajib untuk tahu.” Selintas Kiai Bagaswara memandang Nyi Kuswari, kemudian ia mengangguk. Nyi Kuswari paham dengan maksud pemangku padepokan yang telah berusia lebih tua darinya.
Tiga orang itu saling mendekat, sebuah lingkaran kecil terbentuk, mereka berunding. Sesekali Agung Sedayu mengusap keningnya yang tidak berkeringat. Tak jarang ia bertanya pada bagian-bagian yang tidak dipahami. Kiai Bagaswara terlihat menggerak-gerakkan tangan, memeragakan sejumlah langkah yang harus dilakukan oleh Agung Sedayu dan Nyi Kuswari. Pengetahuan Kiai Bagaswara memukau Nyi Kuswari, betapa secara rinci orang tua itu menjelaskan kaitan-kaitan pembuluh darah dengan bagian tubuh yang terhubung erat dengan persalinan.
“Sembilu?” tanya Agung Sedayu terperanjat mendengar benda yang disebutkan oleh Kiai Bagaswara.
“Ki Rangga tak perlu risau. Saya telah siapkan dalam beberapa ukuran,” tanggap Kiai Bagaswara sambil mengambil kantung kulit yang tersimpan di balik pakaiannya. Memandang Agung Sedayu yang dapat kembali menguasai perasaan, Kiai Bagaswara melanjutkan penjelasannya.
Agung Sedayu dapat membayangkan betapa berat perjuangan Sekar Mirah. Di sudut lain, ia pun dapat meraba jalan terjal yang akan dilewati bertiga, empat dengan Sukra. Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain selain menempuh jalur sulit dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh dua orang tua yang berpengalaman lebih. Bila ia menolak gagasan dan pengetahuan yang ada dalam diri dua sesepuh itu, Agung Sedayu tidak mempunyai wawasan yang lebih baik dari mereka berdua!
Melihat benda tajam dari bambu yang dikeluarkan oleh Kiai Bagaswara, kening dan tubuh Sukra tiba-tiba berkeringat. Udara bilik yang sebenarnya masih segar karena hawa sejuk Merapi, justru dirasakan Sukra telah pengap. Ia tidak sanggup membayangkan sembilu akan membelah tubuh istri dari orang yang dihormatinya. Lutut Sukra gemetar. Nyaris ia tidak lagi sanggup berdiri! Tetapi kemudian tumbuh keyakinan kuat pada pengetahuan Kiai Bagaswara dan Nyi Kuswari. “Mereka lebih berpengalaman dari Ki Lurah. Bila Ki Lurah begitu yakin dan percaya walau berulang kali terkejut, mengapa aku menjadi resah?”
Atas permintaan Nyi Kuswari dan Kiai Bagaswara, sejumlah persiapan lantas dikerjakan oleh Sukra. Tambahan air dan kain. Kendi dan periuk tak bertangkai. Sukra tangkas menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan demi kelancaran persalinan. Ia tak sungkan-sungkan menemui Ki Demang dan istrinya, tak perlu tirai untuk mengemukakan kebutuhan Sekar Mirah pada orang-orang yang biasa membantu keperluan rumah tangga Ki Demang.
Ketika Kiai Bagaswara rampung dalam penjelasannya, maka ia mengundurkan diri lalu menunggu di balik dinding bilik Sekar Mirah. Demikian pula Sukra yang turut berjalan di belakang Kiai Bagaswara sambil berharap dalam cemas. Sukra berharap dalam gelisah.
Suasana di dalam bilik Sekar Mirah pun beralih menuju masa yang diduga akan sulit dan mendebarkan. Agung Sedayu berulang-ulang menarik napas panjang. Mengatasi gugup yang menghantam jantungnya lebih kuat dari serangan Ki Tumenggung Prabandaru atau Ki Ajar Tal Pitu. Nyi Kuswari memberi tanda agar Agung Sedayu dapat tenang sebelum menerima kejutan-kejutan yang dapat terjadi dalam persalinan anaknya. Puja doa bergemuruh dalam hati setiap penghuni rumah Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan penjaga regol pun tak sanggup mengeluarkan suara! Perhatian mereka pun terhisap oleh pusaran hawa persalinan Sekar Mirah.