Keadaan Sekar Mirah mendatangkan kekhawatiran tersendiri bagi keluarganya. Sejak lama, semenjak ia menyatakan ada jabang bayi tengah dikandungnya maka orang-orang terdekatnya tak dapat melepaskan diri dari suramnya rasa cemas. Apakah Sekar Mirah dapat melewati jalan yang demikian terjal dan keras?
“Sekar Mirah berada dalam ambang,” demikian pendapat sebagian besar orang-orang di Tanah Perdikan dan Sangkal Putung pada waktu itu.
Malam itu, Agung Sedayu adalah orang yang bertelanjang kaki di atas jalanan berapi. Betapa tidak! Agung Sedayu merasakan jantungnya seolah telah keluar dan berdetak di luar kantong yang sewajarnya. Bahkan, ia sempat berpikir bahwa hidupnya terenggut oleh bayi yang mendadak berhenti bergerak! Mungkin bukan ia sendirian karena pendengarannya tidak menangkap desah napas orang-orang di sekitarnya. Atau mungkin segenap ilmu Agung Sedayu luruh tanpa perlawanan sehingga ia benar-benar dalam keadaan terlemah sepanjang hidupnya. Entahlah!
Sungguh! Begitu hening dan senyap.
Semua orang menunggu Nyi Kuswari yang bermandi peluh dan begitu seksama melakukan usaha-usaha terukur demi Sekar Mirah.
Tiba-tiba Nyi Kuswari bergumam, “Aku dapat meraba rambutnya. Aku dapat merasakan tulang lunak! Gusti, jadikanlah gangsar.”
Agung Sedayu sedikit dapat mengerti maksud ucapan Nyi Kuswari yang begitu lirih terucap. Begitu pun Kiai Bagaswara yang menundukkan kepala dan membantu usaha Nyi Kuswari melalui dorongan-gorongan batin tiada henti.
Sebentar kemudian tampak wajah Nyi Kuswari terangkat melebihi kain penutup Sekar Mirah, kemudian ia berkata, “Nyi, marilah bernapas dalam-dalam. Longgarkan semua urat.”
“Mirah, Mirah,” bisik Agung Sedayu, “engkau dengar Nyi Kuswari?”
Sekar Mirah memberi tanda melalui sepasang matanya. Pada waktu itu Sekar Mirah pun merasakan seolah terdapat batuan sisa yang menyumbat jalan lahir anaknya. “Tidak ada jalan yang sungguh-sungguh rapat dan sangat rapat sebelum usaha terakhirku. Tidak ada! Gusti, harapan saya hanya pada-Mu.”
Melalui isyarat, Nyi Kuswari meminta pendapat Kiai Bagaswara. Dukun bayi itu telah mengukur jalur lahir, dan ia membutuhkan saran dari seseorang yang berwawasan luas.
“Satu atau dua ruas jari?”
“Tidak lebih dari dua, Kiai.”
Sembilu! Pekik tolakan dari suara hati Agung Sedayu. Sungguh, meski ia belum paham namun pikirannya bekerja lebih cepat. Terlebih suasana jiwani Agung Sedayu tengah berada di bawah tekanan sangat berat! Sangkal Putung dan persalinan anaknya adalah dua keadaan sangat gawat!
Kiai Bagaswara bergegas menyiapkan dua batang sembilu yang berbeda ukuran, lalu diangsurkannya pada Nyi Kuswari.
Sekar Mirah dapat melihat pergerakan dua sesepuh itu melalui tatapan kabur dari balik kelopak matanya.
“Tidak, tidak, tidak!” rintih Sekar Mirah. “Engkau begitu muda dan ibu pikir bahwa engkau tak sabar lagi bertemu dengan ibu. Sekarang, jadilah kuat. Jadikan ketidaksabaranmu sebagai permohonan. Anakku, apakah engkau akan membiarkan ibu terluka?”
Seolah bayi Sekar Mirah mendengar suara ibunya. Tiba-tiba ia kembali menggeliat dan lebih kuat dari sebelumnya!
Sekar Mirah mengerang sangat kuat.
Satu.
Dua.
Tiga.
Dan seterusnya dalam hitungan Nyi Kuswari sewaktu memperkirakan putaran bayi Sekar Mirah yang tengah berusaha keras menyembulkan kepala.
Genap! Ya, kepala bayi Sekar Mirah sempurna berada di luar namun masih terlindung oleh kain yang menutup bagian bawah tubuh ibunya.
Kembali genap! Setengah tubuh bayi Sekar Mirah telah berada di buai Nyi Kuswari.
Sempurnalah permata Agung Sedayu pada saat ditarik Nyi Kuswari dari gua garba yang menjadi tempatnya berlindung selama tujuh bulan lebih.
Hampir saja kegembiraan Agung Sedayu membuncah liar sebelum melihat cairan merah begitu banyak merembes di bawah tubuh istrinya. Jantungnya bergetar dahsyat karena anaknya tidak segera menumpahkan tangis! “Ini tidak wajar!” serunya tertekan sambil melihat Kiai Bagaswara yang tidak mengalami perubahan pada air mukanya.
“Nyi Demang!” seru pelan Nyi Kuswari.
Sukra nyaris melesat ke pringgitan, tetapi Nyi Demang ternyata telah berada di ambang pintu bilik Sekar Mirah. Perempuan setengah baya ini terlihat begitu tenang meski Agung Sedayu tengah memandangnya dengan sangat gelisah.
Nyi Demang melangkah tenang, menghampiri Sekar Mirah lalu merawat anak perempuan tunggalnya. Pendarahan hebat seperti tidak berarti lagi ketika jari jemari Nyi Demang mulai melakukan sentuhan dengan keajaiban seorang ibu.
Untuk beberapa saat, walau tidak begitu lama, tetapi Agung Sedayu benar-benar tersiksa melihat kenyataan bahwa anaknya tidak menangis. Diam. Terpejam. Bahkan mungkin tanpa napas lagi. “Apakah ia telah tiada? Oh, bagaimana sebetulnya ini?” Ia memandang Nyi Kuswari sambil dapat bertumpu pada kata yang keluar dari dukun bayi itu. Tetapi Nyi Kuswari seolah tidak peduli. Agung Sedayu berganti pandang pada Kiai Bagaswara sambil berharap ada kesejukan dari lelaki penuh wibawa itu. Tetapi Kiai Bagaswara tidak membalas pandangannya. “Ah, apakah ini? Dan bagaimana?”
Nyi Kuswari menimang bayi Sekar Mirah lalu mendekatkannya pada ibunya. Sekar Mirah mengangguk. Lalu mengusapkan air mata dan peluh pada wajah bayinya.
Seketika bayi perempuan itu meledakkan tangis! Begitu keras dan secara tiba-tiba suaranya melumpuhkan kekuatan Agung Sedayu yang tidak lagi sanggup berdiri. Prajurit pilihan Mataram itu terduduk pada dua lututnya.
“Bangkitlah, Ngger,” lembut Kiai Bagaswara berucap sambil menyentuh pundak Agung Sedayu. “Seorang senapati harus mengambil kewajiban besar lainnya.”