Kedatangan yang sangat mengejutkan orang-orang yang berada di sekitar batu datar. Seseorang yang menjejak tanah begitu ringan dan melewati sejumlah alat rintang begitu mudah. Ki Panuju dan Sayoga cepat menata gerak dasar untuk berjaga-jaga apabila orang itu melakukan serangan kilat.
“Ki Lurah Panuju,” ucap orang yang belum begitu jelas terlihat wajahnya ketika masih berjarak lima langkah dari Ki Panuju.
“Ah!” seru Ki Panuju. Ia terkejut. Sungguh, ia tidak menyangka telah mengenal orang yang tiba di tempat itu dengan kecepatan tinggi. “Ki Lurah Sabungsari.”
Ucapan-ucapan kaget segera terdengar, tetapi begitu mendadak beralih menjadi pandangan yang sangat tajam.
“Bagaimana Ki Lurah dapat berada di tempat ini?” bertanya Ki Panuju yang mengira bahwa Sabungsari masih berada di kediaman Ki Patih Mandraka.
Sabungsari membuka dua telapak tangannya, kemudian katanya, “Saya telah melaporkan pertemuan pada Ki Untara. Atas perintah Ki Untara pula, saya menuju pedukuhan induk.” Ia berhenti sejenak kemudian menyapukan pandangan pada orang di sekitarnya, lalu katanya, “Ki Sanak sekalian. Sebenarnya Ki Rangga yang berencana melibatkan diri di sini. Namun, ternyata, kedatangan saya di pedukuhan induk justru mengubah sedikit siasat Ki Rangga.”
Orang-orang menarik napas lega dan mereka tidak menyatakan keberatan. Sayoga menggerakkan dada lebih longgar dan bebas. Baginya, Sabungsari adalah pengganti yang tepat bila Agung Sedayu berhalangan datang ke Watu Sumping. Ki Punuju berpendapat sama, bahkan ia menyimpan kekaguman pada lurah yang berusia muda itu.
Dalam rentang waktu yang sangat dekat.
Pasukan Ki Sarjuma bergerak semakin jauh memasuki wilayah Gondang Wates. Mereka tidak berjalan cepat atau berlari-lari pendek. Di balik dada mereka tersimpan keyakinan penuh bahwa mereka akan menguasai pedukuhan sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh Raden Atmandaru. Ki Dirgasana mengirim seorang pengamat, dan ketika bawahannya kembali, Ki Dirgasana semakin kuat berucap kalimat untuk menyakinkan anak buahnya.
Ki Sarjuma mendengarnya lalu menghampiri Ki Dirgasana kemudian bertanya, “Bukankah seharusnya engkau melaporkan padaku terlebih dulu?”
“Saya berniat seperti itu, Kiai. Harap tidak salah paham karena Kiai selalu berada di depan saya.”
“Hmm, baiklah. Ada apakah yang sebenarnya di depan kita?”
“Sama seperti keadaan ketika kami memasuki Gondang Wates pertama kali. Gelap dan hanya gelap. Tidak ada pelita sedikit pun.”
“Itu berbeda dengan Janti. Kita menemui keadaan yang berbeda di sana.” Ki Sarjuma tidak menceritakan yang sesungguhnya di Pedukuhan Janti karena ia tidak terlibat dalam penaklukan wilayah itu. terjadi di hadapan mereka. Namun sikap tubuhnya menunjukkan bahwa seolah-olah ia berada di Janti lalu mengalahkan pedukuhan itu dengan mudah.
Mereka terus bergerak. Membelah malam namun tidak banyak mengeluarkan suara.
Di ujung tikungan yang terakhir, mendadak mereka berhenti. Ki Sarjuma mengangkat tangan, lalu memanggil pengamat bawahan Ki Dirgasana. “Apakah engkau telah mencapai tempat ini?”
“Benar, Kiai.”
“Apakah engkau tidak bergerak lebih maju lagi?”
“Saya berdiam di sini hingga beberapa lama. Dan tidak ada pergerakan sama sekali di sepanjang jalan ini atau pekarangan-pekarangan yang dapat terpantau dari tikungan ini.”
“Bodoh!”
“Saya, Kiai.”
“Apakah kalian tidak melihat keanehan di sekitar sini?” tanya Ki Sarjuma pada sejumlah orang yang merunduk di belakangnya, termasuk Ki Dirgasana.
“Terlalu sepi?” jawab Panengah dengan ragu-ragu sehingga terlontar nada Tanya.
Wajah keras Ki Sarjuma segera melabraknya. “Telo! Bukan itu maksudku. Sepi sudah menjadi teman kita sepanjang jalan ke sini. Tetapi, tidakkah kalian melihat ranting-ranting yang tidak bergerak meski diterpa angin?”
Sedikit orang yang dapat melihat kejanggalan yang diungkapkan Ki Sarjuma, namun demikian, mata mereka masih mencari-cari ranting yang dimaksud oleh panglima mereka.
“Ah, sudahlah. Ki Dirgasana, bagilah pasukanmu menjadi dua kelompok. Tinggalkan badan jalan. Kalian harus menyisir bagian dalam.”
Kerut Ki Dirgasana bertaut. Pikirnya dengan bertanya, bagian dalam?
Ki Sarjuma memandang Ki Dirgasana dengan tatap heran. Ki Sarjuma akhirnya paham bahwa Ki Dirgasana tidak mengerti maksud perkataannya. Sedikit gusar ia berkata, “Yah, bagian dalam. Kalau kalian tidak mengerti, maka bagian dalam adalah kalian berjalan melalui pekarangan dan halaman penduduk.”
“Oh, seperti itukah maksud Kiai? Baik. Kami segera laksanakan,” sahut Ki Dirgasana tanpa merasa bersalah. Ia berpaling ke belakang sambil berdesis, “Marilah kita memecah diri.” Sekejap kemudian Ki Dirgasana membagi pasukannya menjadi dua kelompok dengan perintah berjalan memanjang dengan jajar dua.
Begitu pula Ki Sarjuma yang memecah kelompoknya menjadi tiga. Dua bagian berjalan pada dua sisi jalan, sedangkan satu kelompok yang dipimpinnya berjalan menebar di badan jalan.
Benak mereka masih bertanya-tanya tentang kejanggalan yang dimaksud oleh Ki Sarjuma, meski begitu, mereka tidak mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Mereka bergerak dengan jalan yang berbeda dari sebelumnya.
Tiba-tiba belasan tombak meluncur dari ranting-ranting yang menaungi badan jalan!
Kegaduhan segera terjadi! Pasukan Ki Sarjuma berloncatan menghindar, bergulingan menjauh, kebanyakan mereka dapat selamat karena Ki Sarjuma tangkas memutar tongkat membuang tombak ke banyak arah.
“Itu mereka!” teriak Panengah yang melihat tiga orang melompat turun dari pohon yang berbeda yang berada di depan mereka lalu berlari membelah pekat malam.
“Jangan kejar!” Ki Sarjuma mengeluarkan perintah. “Siasat cerdik dengan mengosongkan banyak tempat lalu memasang senjata gelap. Namun yang menjadi lawan mereka, kali ini, adalah aku.” Usai berkata-kata, Ki Sarjuma memerintahkan pasukannya bergerak lebih cepat. Mungkin ia tidak sabar lagi untuk menggebrak pengawal Gondang Wates. Mungkin juga ia terkejut dengan sambutan yang mampu membuat darahnya berdesir lebih cepat. Dan jika ia tidak mengerahkan kekuatan, mungkin banyak anak buahnya yang tertembus tombak gelap pengawal kademangan.