Swandaru memandang wajah Raden Atmandaru dengan bibir mengatup rapat. Meski tatap matanya bersorot tajam tetapi tidak sesuatu pun yang dapat ia perbuat. Pengalih semangat yang memasuki tubuhnya setiap hari seolah telah merampas seluruh kesadaran Swandaru. Namun hari itu seolah segalanya akan berubah bagi Swandaru ketika menyaksikan leher Ki Gandung Jati yang berlubang. Walau tidak merasakan kengerian atau jijik melihat darah mengalir deras, mulut Swandaru sekali-kali mengeluarkan desis. Sesuatu yang aneh tengah terjadi di dalam hatinya.
Raden Atmandaru kembali mengulang perintahnya, kali ini dengan nada lebih rendah, “Swandaru, Swandaru, lekaslah kembali ke bilikmu. Temanmu terkasih sedang menunggumu di sana.”
Ki Sekar Tawang yang telah berada di dekat jasad hangat Ki Gandung Jati berulang-ulang berdecak kagum. Ia bersyukur karena telah menjadi saksi kehebatan Kiai Plered. Namun untuk membicarakan hasil latihan, maka Swandaru harus ditepikan terlebih dahulu. Ia memanggil seseorang agar Swandaru segera beranjak pergi dari sekitar mereka.
Tak lama, seorang perempuan dengan bagian atas sedikit tersingkap datang menghampiri Swandaru. Perempuan yang berusia lebih tua dari adik seperguruan Agung Sedayu itu memeluk sebelah lengan Swandaru. “Marilah, aku sudah terlalu lama melepaskan kain penghangat,” kata perempuan itu dengan mata menatap dingin tubuh Ki Gandung Jati. “Begitu lama engkau menyiksaku dengan pemandangan keji yang tergelar setiap malam di dalem ageng. Aku telah membalasnya dan Swadaru pun benar-benar tak gentar padamu. Meski aku juga kerap melihat wanita lain bersamanya, tetapi aku dapat menikmatinya. Gandung Jati, engkau hidup tak lebih lama dariku. Kesenanganku tak akan lagi mendapatkan halangan darimu,” bisik hati perempuan yang ternyata istri Ki Gandung Jati.
Nyi Gandung Jati mendekap Swandaru erat-erat. Dadanya tersembul dan napasnya memburu. Ia tidak sedang menahan marah karena kematian suaminya. Ia memang sedang dalam keadaan yang telah diucapkan pada Swandaru.
Wajah Swandaru menunduk. Paras khawatir tampak padanya. Ia menunjuk tubuh kaku Ki Gandung Jati, bisiknya, “Apakah aman?”
“Tenanglah, Kakang. Ki Sekar Tawang dan Raden Atmandaru akan melakukan yang terbaik bagi kita berdua. Sementara itu, setelah kematiannya, aku tidak akan lelah berbaring di sampingmu,” lirih Nyi Gandung Jati membalas pertanyaan Swandaru. Sikap mesranya memantik Swandaru yang tiba-tiba menjadi panas lebih cepat!
Keduanya berjalan beriringan menuju bagian dalam rumah besar yang tidak lagi mempunyai seorang kepala rumah tangga. Dalam waktu itu, perempuan dan ramuan benar-benar telah mengendalikan Swandaru hingga di luar batas kewajaran. Ia tidak merasa kehilangan, tidak terusik dengan kematian dan sekali lagi ; di dalam pandangannya saat itu, perempuan dan perempuan adalah kegembiraan yang tidak tertandingi. Pandan Wangi dan seluruh keluarganya di pedukuhan induk seolah tidak sanggu memasuki bayangan atau ruang pikiran Swandaru.
Gayung bersambut sewaktu Raden Atmandaru berhasil mengenali kelemahan Nyi Gandung Jati yang tersisih dalam perkawinan.
Ketika dua orang yang tengah larut dalam birahi yang nyaris tak bertepi telah lenyap dari pandangan, Raden Atmandaru menimang tombak pendek dengan sikap hati-hati.
“Bila senjata ini tidak dapat dikendalikan, lalu bagaimana saya menghadapi Ki Juru Martani?”
“Setidaknya kita telah mengenali watak Kiai Plered, Raden. Saya pikir bila ada waktu untuk menyelidikinya, mungkin kita dapat mengetahui kedalaman tombak ini,” jawab Ki Sekar Tawang penuh keyakinan.
Ki Tunggul Pitu melangkah setapak maju, katanya, “Apakah itu berarti kita sedikit memundurkan waktu?” Pernapasan dan lemasnya urat syaraf membuat Ki Tunggul Pitu kembali berbuat bebas. Jauh berbeda dengan keadaannya saat latihan telah berlangsung.
“Kiai menyimpan sebuah usulan?’ Suara Raden Atmandaru terlontar dengan nada tanya.
Sejenak Ki Tunggul Pitu menengok ke arah timur. Matahari bergulir sedikit lebih tinggi. Kemudian katanya, “Mungkin Ki Patih telah memasuki pedukuhan induk dalam waktu ini. Bisa jadi ia telah bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu. Maksud saya, kita tidak mempunyai waktu untuk melakukan penyergapan di luar pedukuhan induk.”
“Saya mendengarkan Kiai,” kata Raden Atmandaru.
“Kita buat pengalihan perhatian,” ucap Ki Tunggul Pitu percaya diri, “mungkin kita dapat menggunakan tenaga Swandaru. Saya pikir dengan mendorong Swandaru tampil di depan sebagai senapati di Jagaprayan, pastinya, kekacauan akan terjadi di sana. Bukankah wanita yang menjadi pemimpin keamanan di Jagaprayan adalah istri Swandaru?”
“Jalan yang berbahaya. Kiai, saya menaruh hormat penuh pada usulan Anda. Menempatkan Swandaru berhadapan secara langsung melawan Pandan Wangi, apakah itu akan mengurai simpul pengikat saraf? Bila tidak, tentu sangat menyenangkan bila kita kembali melihat perkelahian yang sangat seru.” Meski bersuara seperti itu, tetapi wajah Raden Atmandaru memancar dingin.
“Saya ingin menyimak penjelasan Ki Sekar Tawang bila kita bergeser persoalan, Raden. Hanya Ki Sekar Tawang yang dapat membuat perkiraan lebih dekat dari hasil akhir.”
“Bila penyergapan di luar pedukuhan induk menjadi sulit dilakukan, maka menyerang Jagaprayan bisa menjadi jalan yang lain. Tetapi, Raden, bagaimana jika kita menusuk Mataram secara langsung?” Ki Sekar Tawang menutup kalimatnya dengan sikap tubuh yang gagah. Ada kemauan kuat dan keberanian yang memancar dari dirinya. Kemudian ia melanjutkan dengan suara bernada agung, “Selagi kita bersiap untuk menyerang Mataram secara langsung, Mangesthi dapat ditempatkan di Jagaprayan. Lalu Swandaru akan bersama kita memasuki Mataram.”
“Kita tidak mempunyai jumlah pasukan yang memadai,” kata Raden Atmandaru.
“Kita mempunyai seorang anak muda bernama Simbara, Raden. Bila ia berada di sini sekarang, kita dapat memberinya perintah memasuki Mataram lalu menemui Ki Hariman. Sedangkan Ki Garu Wesi menjadi jangkar di Randulanang,” ucap Ki Sekar Tawang.
“Bagus! Selagi mereka sibuk menyusun rencana, aku akan meminta pekerjaan sebagai petugas sandi. Agung Sedayu harus tahu bahwa Swandaru berada di Randulang,” suara hati Ki Tunggul Pitu berucap kata disertai rencana yang melintas sangat cepat di dalam pikirannya.
2 comments
Banjir rontal…maturnuwun.
Selagi longgar, Ki