Menjadi istri seorang Sakera bukan cita-citaku. Aku tak pernah mengira jika hubunganku dengan lelaki berkalung clurit itu akan menyengsarakanku. Tapi aku cinta padanya. Tuhan mempertemukan kami.
Aku ingat saat pertama kali Sakeraku mengatakan cinta padaku. Saat itu, di tepi sawah yang sudah menguning.
“Apakah betul dia jatuh cinta padaku?” Batinku kala itu.
Atau dia hanya tertarik pada kemolekan tubuhku saja?
Seribu pertanyaanku dibungkamnya dengan sebuah lamaran. Aku tak kuasa menolaknya. Aku jatuh cinta pada lelaki gagah itu.
“Kang Mas akan menjagamu, Marlena.” Bisiknya di malam pertama kami.
Aku tak menduga jika wajah ayu dan molek tubuhku telah menggetarkan hatinya. Dengan hati gembira aku serahkan seluruh keindahan ini kepadanya, Sakeraku.
Lelaki gagah berani. Tak mudah ditaklukan. Sebuah berkah atau kah kutuk? Tanyaku yang tak pernah terjawab.
Aku tak peduli!
Yang aku tahu saat itu aku sangat bahagia!
Langit biru, sebiru angan dan perasaanku yang bahagia. Menghirup bau tubuh Sakera adalah hal yang selalu kurindukan.Tangan kekarnya tak pernah berhenti memeluk pinggang nawon kemitku.
Tapi aku tak berdaya. Meski aku istrinya, aku tak kuasa menahan Sakeraku saat dia terpanggil untuk membela kebenaran. Untuk membela yang lemah.
“Jangan pergi, Kang Mas! Perasaan dinda tak karuan.” Itu saat terakhir kali aku melepasmu di pagi yang dingin.
“Aku, Sakerah. Aku pasti pulang, Nduk.” Kau memagut bibirku lembut.
Mataku terpejam. Air mataku menganak sungai melepas kepergiannya. Dalam tangis aku mengais kekuatan. Beriringan dengan rentetan doa bagi keselamatannya.
Laksana angin kau berlalu. Hari-hari yang terlewati begitu hambar. Aku tak pernah berhenti memikirkan Sakeraku. Menunggu kabar darimu sungguh menyiksaku.
“Di mana Sakeraku, Tuhan?”
Sementara asa di dada mulai mengering, sekarat dalam menantinya.
Sakeraku hilang tak berkabar. Aku ibarat perahu tak bersauh.
Cintaku tak luntur. Penantian tak berujung serupa racun yang kuminum.
Aku ingin mati!
Tapi hati kecilku masih mengharapnya.
Aku hilang arah. Tak ada lagi tempat berlindung.
Sementara kang Brodin selalu memerhatikanku tanpa bosan. Batinku menolak.
“Aku tak mungkin berpikir buruk. Bagaimana pun dia adalah teman baik suamiku.” Gejolak batinku menambah beban.
Aku benci diriku! Bagaimana aku bisa memikirkan kang Brodin sementara Sakerahku tak ada kabar beritanya?
“Maafkan aku, Kang Brodin. Berhentilah datang ke rumahku!” Aku tertunduk.
“Tidak, Marlena! Sakera telah menitipkanmu padaku. Bahkan dia rela jika aku memilikimu!” Nada suara kang Brodin begitu tegas.
Apakah betul yang dikatakannya?
Kenapa kang masku menitipkanku sedemikian rupa pada kang Brodin?
Entahlah!
Aku kehilangan akal warasku!
Aku gila!
“Ya, Tuhan!” Hatiku menjerit. Berharap Tuhan menghapus keresahan hatiku.
Andai saja tak ada kabar yang memilukan tentang kang masku.
Kabar kang Brodin serupa halilintar yang menghancurkan harapanku.
“Marlena, tabahkan hatimu, Dik!” Ucap kang Brodin di suatu senja.
Temaram sinar senja yang indah kini bagai cerita duka.
Kulihat wajah kang Brodin datar tanpa ada emosi yang mampu kubaca.
Apakah dia bahagia dengan kabar duka ini?
Atau justru aku yang bahagia?
Karena aku tak harus lagi mengharapkan kang masku.
Karena aku tak perlu lagi melalui malam-malam panjang dalam himpitan rindu.
Karena aku tak perlu lagi menjaga kesetiaanku.
Aku tak tahu!
Batinku tak sanggup membayangkan kekecewaan Sakeraku.
Tanganku menelungkup di wajahku. Apakah rasa maluku telah mati bersama akal warasku?
Apa aku wanita yang tak setia?
Atau, sudah cukup bukti setiaku pada Sakeraku?
“Tuhan, aku ingin berpulang kepadaMu!”
Aku Marlena, ke mana aku membawa segala beban ini?
Meyda Taurean dengan cara luar biasa menghadirkan Marlena dalam liris Sakera.