Ki Sarwa Jala, meski mempunyai banyak harapan pada diri Siwagati, tetapi juga merasa cemas tentang muridnya itu. Jiwa muda Siwagati dapat terguncang sewaktu-waktu, dan Ki Sarwa Jala tidak berharap guncangan itu terjadi justru pada saat hari pernikahannya
Siwagati
Sekitar dua belas atau tiga belas bulan silam.
Ki Sarwa Jala cukup banyak memberi bekal kejiwaan pada murid tunggalnya. Ia tidak memberi kelonggaran pada Siwagati untuk menolak pendapatnya. Kedekatan Siwagati dengan gurunya tidak dibantah oleh Nyi Juru, bahkan ibu Siwagati ini merasa bersyukur karena kehadiran Ki Sarwa Jala. Sebenarnya Siwagati pun menolak keinginan ayah ibunya untuk menjalin ikatan dengan Bondan. Tetapi penolakan itu tidak berlangsung lama. Ki Sarwa Jala merengkuh jiwa yang memberontak itu dengan kelembutan melebihi seorang ibu.
“Dalam waktu yang sangat dekat, saya harus membuka sebuah tutup. Dan, guru tahu, saya tidak pernah dekat dengan lelaki lain selain kakang Sumba Sena dan ayah,” Ki Sarwa Jala merenungi ucapan Siwagati sepekan sebelum kedatangan Bhre Pajang untuk melamarnya.
“Aku dapat memahami gejolak hatimu.”
“Tidak! Guru tidak mengerti keinginan saya. Guru tidak mau tahu tentang tujuan saya. Saya hanya ingin membuat ayah dan ibu bangga terhadap saya. Mereka akan mendapat kehormatan tinggi ketika saya mampu menjadi penyangga kademangan. Jika itu bukan keinginan mereka, lantas apa tujuan mereka mengundang guru untuk mengajari saya tentang banyak hal?” Isi dada Siwagati seakan mendapat jalan keluar melalui rentetan kata-kata yang mengalir dari bibirnya.
Ki Sarwa Jala menggeleng. Sesekali ia manggut-manggut. Usai Siwagati mengatupkan bibir, Ki Sarwa Jala berkata,” Mereka memintaku datang untuk memberi pelajaran padamu, itu benar. Tetapi mereka dan aku tidak pernah mempunyai bayangan kau akan berkelahi. Aku tidak pernah berpikir bahwa kamu akan memimpin pengawal kademangan bertempur di tepi hutan.”
“Tidak! Kalian memberi saya bekal untuk menjadi perempuan tangguh. Menjadi perempuan yang dapat membela dirinya sendiri. Lalu, sekarang, kalian berkata bahwa kemampuan saya tidak mempunyai arti karena saya akan menjadi seorang istri! Guru dan ayah, juga ibu, telah berpikir seperti itu meski tidak terang mengatakan itu!”
Siwagati menggeser telapak kaki pada tanah kering pijakannya. Ia tidak menampakkan kemarahan dengan menatap langsung wajah gurunya. Ia mengais tanah. Sekali-kali ia menghantam tanah dengan tumitnya.
Siwagati sembunyikan wajah, “Siapakah Bondan itu, Guru? Apakah Guru akan memberi izin pada ayah untuk menyediakan seekor kelinci sebagai santapan? Kelinci muda yang dalam sekejap akan tandas di mulut seekor serigala. Saya tidak pernah membayangkan bahwa hubungan ini akan berakhir buruk. Guru tidak melindungiku dari keinginan ayah. Sementara Guru tahu, bahkan lebih mengenal ayah dibandingkan aku mengenalnya.
“Guru! Berbuatlah sesuatu untukku! Saya tidak ingin mengatakan ini. Tetapi saya mempunyai hak membela diri. Saya katakan itu pada Anda, guru saya!” Siwagati meledakkan amarah. Mendadak ia berdiri dengan tangan terkepal. Sedikit ia merasa sakit dalam dadanya. Ia abaikan itu. Sedikit bergeser, ia lurus menatap wajah Ki Sarwa Jala.
“Ayah menerima pinangan orang Pajang itu supaya ayah dipandang satu tingkat dengan orang Pajang. Cih! Saya merasa, sekarang ini, tidak lagi sebagai seorang perempuan seperti ibu. Saya adalah tentang pikiran kalian.
“Maafkan saya, Guru!
“Saya adalah alat untuk meraih kekuasaan dalam pikiran ayah. Saya menjadi tongkat panjang orang Pajang untuk mengendalikan kademangan. Itulah saya sekarang ini! Guru, jangan berpikir saya mempunyai alasan yang buruk. Tetapi saya telah mendengarnya dari ayah.”
Singkat Siwagati menuturkan kejadian ketika ayahnya menemui beberapa orang yang datang dari timur Gunung Lawu. Ia mendengarnya seperti itu. Ki Sarwa Jala sesekali melepas jauh pandangnya ke arah punggung perbukitan Menoreh.
Ia ceritakan segala yang didengar dari percakapan ayahnya. Sesekali ia mengusap wajah untuk mengalihkan rasa sedih. Tetapi gelombang amarahnya lebih besar. Siwagati memanaskan udara di sekitar mereka. Ki Sarwa Jala memintanya berkali-kali untuk mengendap. Siwagati bergeming. Memang sekali-kali ia dapat mengendap, sekejap kemudian kembali meletuskan amarah yang berketegangan sedikit di bawah guncangan Merapi.
Ki Sarwa Jala sebenarnya memahami keadaan hati murid tunggalnya, tetapi ia telah memutuskan untuk membiarkan Siwagati melontarkan segala yang dipendam. Suasana hati Siwagati akan semakin membahayakan apabila dipaksa untuk berhenti bicara. Keadaan akan semakin rumit, pikir Ki Sarwa Jala. Memang ia berusaha meredam kemarahan Siwagati tetapi, itu tidak lebih dari sebuah kewajaran sebagai seorang guru. Gelombang napas memburu yang keluar masuk dari saluran pernapasan Siwagati mulai terlihat teratur. Sinar mukanya kini mulai berangsur cerah. Sepertinya angin lembut yang keluar dari kata-kata gurunya mampu menyingkirkan mendung gelap yang menaunginya.
“Anakku, Siwagati, engkau tentu telah mengerti bahwa aku tidak mungkin dapat mendampingi selamanya. Kau harus keluar dari batas usiamu sekarang. Semua yang telah engkau lewati adalah sebuah bekal. Hari ini kau berhadapan denganku untuk menyatakan keberatan, sementara engkau mengerti keinginan ayahmu adalah keinginan yang mustahil mampu dibelokkan. Ia mempunyai rencana dan itu telah disusunnya sejak lama.
“Tetapi aku tidak bicara tentang keinginan ayahmu, tidak untuk pembahasan itu sekarang. Aku ingin berkata padamu bahwa kau akan memasuki sebuah dunia yang berbeda dengan segala pengalaman di masa lalu,” kata Ki Sarwa Jala panjang.
“Tidak! Perjodohan Ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari keinginan ayah. Segala sesuatu yang terkait dengan perjodohan tidak terlepas dari kemauan ayah yang mempunyai tujuan di pusat Pajang. Saya merasa keadaan yang menimpa saya telah menjadikan sebuah tempat dapat bergeser dengan cepat. Aku adalah anak perempuan seorang demang. tetapi itu dahulu. Untuk sebuah masa yang lama.” Siwagati menghela napas lalu mengatakan, “Saya akan menjadi sebuah alat tukar. Tidak lebih! Sebuah kedudukan sedang menanti ayah ketika saya telah berada di istana Pajang untuk beberapa lama. ”
“Siwagati, kau harus melihat batasanmu. Kamu, dalam keadaan apapun selamanya akan tetap menjadi anak seorang Ki Juru Manyuran.”
Aku tidak mengingkari kenyataan itu, guru! Dalam diam, Siwagati bicara dengan dirinya sendiri. Memang bibir Siwagati tidak lagi banyak mengeluarkan kata-kata, tetapi kenyataan pada saat itu, tatap matanya setajam pedang. Sebenarnya memang seperti itulah perasaan Siwagati. Ia adalah alat pertukaran bagi ayahnya. Keadaan yang dengan cepat segera menduduki semua tempat di hatinya.
Siwagati banyak melihat kejadian di sekelilingnya. Beberapa temannya yang sebaya telah menjadi wanita dari lelaki lain. Sebagian dinikahi oleh lelaki yang lebih tepat disebut sebagai kakeknya. Meski begitu, masih ada sejumlah perempuan yang mendapatkan suami yang sebaya.
Tetapi bukan itu permasalahannya! Penentangan dalam hati Siwagati kembali bergolak. “Lalu, apa arti pengajaran selama ini, guru?”
Telah terbit ebook/PDF Bara di Borobudur Buku Satu yang berisi bab 1 sampai 7. Hubungi WA penulis.
Ujung mata Siwagati tajam menyambar dada gurunya, ia berkata tegas, “Guru! Sering saya mendengar Guru berbicara tentang pengabdian. Kisah luhur wanita pemberani di masa lalu. Seorang wanita yang memiliki kepandaian dan ketajaman pemikiran, guru berkisah tentang sosok itu, ia membangun sebuah candi. Ia mengulanginya dengan membangun candi yang lebih besar dan megah. Guru terlihat begitu bangga ketika bercerita tentangnya.
“Setiap kata-kata yang guru katakan, saya selalu merasa, bahkan meyakini, bahwa ucapan itu sengaja guru tujuan pada saya. Setiap hari saya membina semangat, meski saya mengerti membangun candi di dalam hati itu bukan pekerjaan mudah.
Setiap kali saya berkata pada diriku sendiri, selalu ada orang yang datang meruntuhkan dinding semangat. Dan Guru selalu ada untuk menemani membangun kembali dinding yang nyaris runtuh. Sekarang, Anda berada di sisi ayah. Guru memintaku untuk mengubur semua semangat, sedangkan Guru adalah orang yang mendukung untuk membangun candi. Tentu ini menjadi berat dan sangat sulit bagiku. Guru tidak memberiku pilihan atau bahkan sebuah dorongan. Aku tidak suka dengan perlakuan ini!”
“Persoalan ini tidak dapat kamu simpulkan berdasarkan satu pengamatan. Kau harus menggunakan segi yang lain untuk menimbang perjodohanmu dengan Bondan,” nada lembut Ki Sarwa Jala mencoba membelai kekerasan hati Siwagati.
“Tidak ada sisi yang lain selain keuntungan bagi ayah,” Siwagati kembali bersuara dengan nada tinggi.
“Lihat sekeliling! Dan coba ingat kembali, sekarang aku bertanya padamu, apakah ayahmu telah melarang meningkatkan kemampuan?”
“Tidak. Atau saya yang belum mendapatkan larangan itu. Semua yang terkait dengan kanuragan dan perkembangan, saya belum mendengar ucapan ayah,” sahut Siwagati dengan keras.
“Siwagati, cobalah untuk memahami, bahwa tidak selalu untuk selamanya, keinginan seorang ayah dapat dipenuhi oleh anaknya. Dan sebaliknya, setiap kali seorang anak menuntut satu keinginan, orang tua sering mengalami kesulitan untuk mengabulkannya. Aku tidak ingin mengingatkan dirimu tentang kebaikan ayahmu. Aku tahu itu tidak pantas untuk diucapkan, tetapi sekali lagi, kamu harus memindahkan pemikiran ke arah yang berbeda.
“Mungkin kau ada benarnya dengan beranggapan bahwa perjodohanmu dengan Bondan adalah keinginan ayahmu untuk menanamkan pengaruh lebih kuat. Tetapi, kau juga harus berpikir jika itu dilakukan ayahmu untuk memastikan bahwa kehidupanmu akan tercukupi,” kata Ki Sarwa Jala.
“Jaminan kehidupan? Mungkin Guru memang berinduk pada kebenaran. Tetapi, lihatlah, kekayaan ayah tidak akan habis untukku dan kakang Sumba Sena. Harta ayah masih lebih dari cukup walau dibagikan pada seluruh orang di kademangan, termasuk anak cucu mereka. Saya tidak dapat mengerti jika alasan itu justru yang menjadi dorongan bagi ayah untuk menerima penarawaran orang Pajang itu.”
Kejengkelan dan kemarahan Siwagati agaknya memang meluap hebat! Tanpa rasa sungkan pada gurunya, ia menyebut seseorang yang seharusnya disegani dan dihormati sebagai orang Pajang. Sementara banyak orang Pajang dan sekitarnya, bahkan mereka yang datang dari kotaraja, menyebut nama penguasa Pajang itu penuh rasa hormat.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.