Padepokan Witasem
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 118 – Agung Sedayu yang Tak Terbendung

Adalah Agung Sedayu yang … – memang sulit membayangkan kemampuan murid utama Kiai Gringsing ini. Pendengarannya dapat menangkap desir aneh dari debu yang berada di bawah tapak kaki Ki Sanden Merti. Maka, ketika Ki Sanden Merti mendentumkan serangan, Agung Sedayu secepat kilat telah berada di sampingnya dengan putaran tangan yang menimbulkan suara meraung-raung ganas!  Banyak orang-orang sampai menutup telinga lalu menjauh. Sedangkan para senapati yang mempunyai sedikit kemampuan pun menyalurkan tenaga cadangan untuk melindungi gendang telinga mereka. Pertarungan yang benar-benar berisik, sangat berisik!

Pertempuran dua senapati pilihan Panembahan Senapati ini segera berlangsung walau mereka baru beberapa langkah “melayang” dari tempat semula. Pertarungan itu membentuk putaran seperti lingkaran lonjong yang sedang terbang karena kaki mereka belum menyentuh tanah!

Ini..ini, sungguh, perkelahian yang sangat langka! Bahkan Panembahan Hanykrawati pun sempat mengukur kemampuannya sendiri, apakah ia sudah mencapai tataran dua senapati yang pernah menjadi andalan mendiang Panembahan Senapati itu? Namun karena raja Mataram itu telah usai dalam segala pencarian dan pencapaian, maka menyerahkan segalanya pada Kuasa yang Maha Tinggi menjadi pungkasan ilmunya, yang terbaik!

Sementara Pangeran Selarong ternganga! Mulutnya terbuka dengan pandangan mata terpaku pada bulatan lonjong yang berputar hebat di depannya! Perang tanding yang semakin membuatnya semakin hormat pada Agung Sedayu. Betapa dahulu ia hanya menyebut nama Agung Sedayu saat menyapa dan memanggil senapati Mataram itu. Namun setelah menyaksikan sendiri kesetiaan, kecakapan merancang siasat dan kemampuan ilmu kanuragan pemimpin pasukan khusus itu, Pangeran Selarong pun rela menempatkan Agung Sedayu pada ruang tersendiri di dalam hatinya.

loading...

Kinasih yang menyimpan ilmu-ilmu tingkat tinggi di dalam dirinya pun seolah tak sanggup melihat pertarungan itu dengan dua mata terbuka lebar! Ia nyaris tidak percaya dengan perkelahian yang terjadi. Ia menutup mata dengan telapak tangannya. Hati Kinasih berdenyut kencang karena di depannya sedang bertarung mati-matian seseorang yang, mungkin, sudah menjadi tambatan rasa.

Ki Baya Aji, Ki Sadana dan lain-lain orang yang menyaksikan dari kejauhan pun bergumam di dalam hati masing-masing. Bagaimana bila seandainya mereka tidak mempunyai seseorang seperti Agung Sedayu pada hari itu?

“Menjauh,” kata Ki Anjangsana pada Panembahan Hanykrawati dan Pangeran Selarong. Lurah Mataram itu menjadi orang yang paling dekat dengan perang tanding yang sangat dahsyat itu. Ki Anjangsana sampai melupakan paugeran yang semestinya karena belit kuat rasa cemas bila gelombang perkelahian dapat mencapai tempat dua orang terkemuka Mataram tersebut. Ia dapat merasakan nyeri pada kulitnya karena hamburan tenaga yang seolah menjadi duri terbang saat mengenai tubuhnya. Kuda Ki Anjangsana pun tak dapat berdiri diam. Hewan ini berulang-ulang mengangkat kaki depannya seakan-akan ingin menjauhi gelanggang pertempuran dua orang berkemampuan sangat tinggi itu.

“Matilah engkau, Agung Sedayu!” Ki Sanden Merti menggeram dan sepertinya orang ini tidak akan menyerah atau dikalahkan dengan mudah.

Agung Sedayu tidak menghiraukan ucapan musuhnya. Ia memusatkan perhatian pada pertarungan mereka. Sedikit kesalahan akan mendatangkan sesal sepanjang usia. Sedikit kelengahan akan menjadi musibah bagi banyak orang.

Gelaran kepandaian mereka, terutama ilmu meringankan tubuh, hampir tidak masuk akal! Meski kaki mereka belum menyentuh tanah tapi mereka masih dapat bertarung dalam keadaan melayang. Itu karena setiap bagian tubuh yang tersentuh telapak tangan atau telapak kaki dapat dijadikan pijakan oleh masing-masing orang. Baik Ki Rangga Agung Sedayu maupun Ki Tumenggung Sanden Merti sama-sama sedang mengungkap segenap kemampuan untuk membuat tubuh lebih ringan tanpa mengurangi tenaga ketika melakukan serangan.

Dalam pandangan Panembahan Hanykrawati, kemampuan Agung Sedayu dan Ki Sanden Merti sudah sangat jauh meninggalkan tingkatan mereka pada belasan tahun silam. Gerakan-gerakan mereka begitu luwes dan terkesan jauh lebih ringan dari kapuk randu. Namun di balik itu ada tenaga amat hebat yang dapat merontokkan buah asem tanpa mengguncang batang pohonnya.

Lingkaran lonjong itu semakin ketat dan rapat. Sepasang lengan dan kaki yang menghunjam, menyambar dan mematuk itu kemudian tampak seperti gulungan sinar yang beraneka warna. Pantulan sinar matahari pada kain pakaian mereka menjadikan lingkaran itu tak lagi seperti pertarungan hidup dan mati. Kadang-kadang gulungan sinar itu seperti kelebat selendang yang gemulai memainkan tari-tarian. Kadang-kadang pula tampak seperti dua ekor ular raksasa yang saling membelit dan mematuk.

Ki Sanden Merti harus membuat pengakuan dalam hati bahwa musuhnya benar-benar lawan yang pilih tanding. Segala cara dan siasat telah dikerahkannya namun Agung Sedayu tidak tampak kesulitan mengatasinya meski kedudukan kadang-kadang berat sebelah. Ki Sanden Merti benar-benar tidak mendapatkan jalan keluar selama pertarungan yang ketat and sangat rapat itu. Ia seperti sedang berada di dalam benteng yang tidak mempunyai jalan keluar atau jalan masuk. Gerakan Agung Sedayu yang  dituntun ketajaman nalar saat membaca arah serangan, sehingga pembangkang itu pun harus menyentakkan tenaga lebih besar dari terjangan semula! Ki Sanden Merti harus melakukan itu  agar dapat melepaskan diri dari tandang Agung Sedayu yang mengerikan!

Dari jarak kurang dari delapan langkah, Ki Sanden Merti memandang wajah Agung Sedayu denagn tengkuk dan terasa dingin. Ia harus menuntaskan pertempuran dengan hasil ; terbunuh atau membunuh. Walau pun ia akan berdiri sebagai pemenang tapi para senapati Mataram tidak akan membiarkan melenggang kaki tenang meninggalkan gelanggang. Hasrat untuk membunuh Agung Sedayu terasa semakin kuat. Kenapa tidak? Ia tak akan kehilangan sesuatu kecuali nama yang buruk dalam kenangan Mataram. Dengan pandangan menyala, ia menatap gerbang kematian dari sisi lain!

Sepasang kaki Ki Sanden Merti merenggang lebar dengan lutut sedikit merendah. Ki Sanden Merti menghentak diri ke puncak ilmunya, Sogok Tunteng. Ia memperoleh ilmu itu secara turun temurun dari gurunya. Ia tidak mengerti alasan ilmu itu diberi nama Sogok Tunteng. Namun menurut keterangan dari gurunya, yang termasuk orang linuwih yang tidak banyak dikenal di tlatah Jawa, diberi nama seperti itu karena jika mendorong maka dorongan itu harus sangat kuat, jika memukul maka pukulan itu harus sekeras dan sekuat tenaga dan seterusnya. Maka dengan sekali genjot, diiringi dentuman suara yang menggedor rongga dada, tubuh Ki Sanden Merti melesat, melebihi kecepatan anak panah, melebihi burung elang yang terjun menukik mematuk mangsa!

Panembahan Hanykrawati dan Pangeran Selarong tercekat pada tenggorokan saat melihat sikap tubuh Agung Sedayu! Itu seperti kura-kura! Benar, Agung Sedayu menyembunyikan kepala dan bagian lemah dada di balik punggung.

Sementara Agung Sedayu tidak terlihat sedang membina kuda-kuda. Senapati Mataram itu berdiri tegak, lalu merunduk dan menyembunyikan wajah dengan punggung menghadap arah serangan! Tapi sebenarnya itu adalah inti kekuatan ilmu yang disadapnya dari kitab Ki Waskita. Agung Sedayu sedang menghimpun tenaga yang bersumber pada segala yang benda yang dapat dipijak oleh kakinya. Tata gerak yang dilakukan Agung Sedayu hampir mirip dengan Ki Sanden Merti walau mereka mempelajarinya dari sumber yang berbeda.

Sekejap mata kemudian atau kurang dari itu, Agung Sedayu memutar tapak kaki, menghentaknya lalu tanpa suara dentuman seperti musuhnya, tubuh senapati Mataram itu melesat melebihi kecepatan Ki Sanden Merti! Dan yang mengejutkan adalah hentakkan kaki Agung Sedayu ternyata mampu membuat getaran yang sanggup menggoyang pohon-pohon berusia muda, serta meninggalkan lubang sebesar serangkulan tangan orang dewasa!

Oh, Agung Sedayu masih teguh mendasarkan tata geraknya dari jalur ilmu Ki Sadewa namun peningkatan pengerahan tenaga cadangan benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya! Agung Sedayu sudah tidak ragu-ragu lagi jika memang harus merobek lambung lawannya dengan tangan kosong!

Ki Sanden Merti sangat cermat mengamati perubahan yang dilakukan lawannya. Orang ini mengerti walaupun hanya berupa angin tapi bila keluar karena gerakan Agung Sedayu maka tidak ia mempunyai pilihan lain. Sekalipun dirinya telah memasang berlapis-lapis ilmu kebal, tapi yang menjadi lawannya adalah orang yang menyimpan kekuatan yang tidak terukur. Menghindari serangan Agung Sedayu pun akan meninggalkan bilur-bilur belaka, tapi membenturkan kekuatan – mau tidak mau – kulitnya dapat tersayat oleh jari-jari lawannya! Setelah mengetahui bahwa kecepatan Agung Sedayu berada di atasnya, ia tidak mengulang perkelahian seperti sebelumnya yang berlangsung dalam keadaan “melayang”. Bila ia tidak mengubah caranya bertempur, maka kekuatannya akan cepat terkikis hanya untuk mengimbangi kecepatan Agung Sedayu. Maka Ki Sanden Merti pun bergerak ke samping, lalu memutar tubuh dengan satu kaki sebagai poros sementara kaki yang lain mengarah tepat pada dahi senapati tangguh itu.

Agung Sedayu menghindar dengan sangat cepat, bahkan ia sudah memperkirakan arah gerak Ki Sanden Merti. Dengan begitu, Agung Sedayu lantas membuat gerakan yang sama persis dengan lawannya!

Pada waktu itu, Agung Sedayu yang mendasarkan tata geraknya dari jalur ilmu perguruan Ki Sadewa memamg terkesan meniru gerakan lawannya. Namun, dari gambar di gua yang telah dihancurkannya, kedudukan kaki aliran Ki Sadewa memang sangat luwes sehingga dapat menyesuaikan dengan hampir setiap perubahan yang dilakukan lawan. Sehingga akan tampak seperti sebuah kesengajaan untuk meniru!

Oleh sebab itu, Ki Sanden Merti menduga bahwa Agung Sedayu tidak dapat mengembangkan tata gerak. Jika tidak, mengapa Agung Sedayu seperti sengaja menirukan hampir setiap kembangan-kembangan jurusnya dan hanya mengandalkan kecepatan saja? Ki Sanden Merti pun mengelak tendangan lawannya agak merunduk, lalu bergerak melingkar dengan dua kaki sebagai tumpuan, lantas menyerang balik denagn sangat cepat.

Serangan itu cukup menyulitkan Agung Sedayu. Serangan balasan yang tak terduga itu pun  memaksa Agung Sedayu kembali “melayang”! Pengerahan kekuatan dan kecepatan yang lebih besar harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan pertempuran.

Namun justru karena kedudukan mereka yang berlawanan karena Agung Sedayu – dengan cara yang sangat hebat – ternyata dapat menjaga dirinya tetap melayang. Itu benar-benar menyulitkan Ki Sanden Merti! Ia tidak dapat memburu atau mencecar Agung Sedayu dengan serangan-serangan yang sangat deras dan kuat karena lawannya semakin sulit terjangkau olehnya. Setiap kali tangan atau kakinya bersentuhan dengan telapak tangan atau kaki Agung Sedayu, maka senapati Mataram ini seakan-akan mendapatkan tambahan tenaga untuk mempercepat gerakannya!

Suara angin yang muncul dari gerak sepasang tangan Agung Sedayu yang tak henti menyambar-nyambar makin mendesing nyaring, dan semakin cepat mengurung lalu mempersempit ruang gerak Ki Sanden Merti. Perpaduan tata gerak pamungkas aliran ilmu Ki Sadewa dengan perguruan Orang Bercambuk – yang bersumber dari perguruan Windujati – benar-benar menjadi rangkaian gerak yang sangat hebat. Susunan gerak dari perpaduan ini melindas Ki Sanden Merti tanpa menyisakan kesempatan baginya untuk membalas.

Tumenggung pembangkang itu pun terkejut! Suasana jiwani Ki Sanden Merti segera berbalik! Dari dugaan bahwa Agung Sedayu sedang meniru gerakannya menjadi amarah karena ia seolah-olah bertempur seperti bocah yang baru belajar tata gerak tingkat terendah! Orang ini pun berusaha mengimbangi Agung sedayu dengan pengerahan segenap kekuatan hingga melebihi batasanyang ada pada dirinya.

Belum habis sentakan yang menggetarkan hatinya, Agung Sedayu telah berpindah atau mengawali serangan dengan tata gerak yang jauh berbeda. Namun tidak ada waktu bagi Ki Sanden Merti untuk membuat penyesuaian. Ia sadar bahwa harus ada perubahan, tapi selanjutnya ia serahkan pada keadaan karena Agung Sedayu terlalu cepat dan terlalu kuat untuk dihentikan. Ki Sanden Merti pun menangkis dan mengelak sebisa-bisanya saja. Akibat pengerahan yang melampaui puncak, dari lubang pernapasan Ki Sanden Merti merembes sedikit aliran berwarna merah. Napasnya mulai terputus-putus.

Malang tak dapat ditolak, apes tak dapat dielak!

Agung Sedayu menyodok dada Ki Sanden Merti seperti akan meraih sesuatu namun dengan ujung telapak tangan yang rapat, lalu telapak tangannya berubah menjadi tinju yang benar-benar merontokkan seisi dada Ki Sanden Merti!

Tumenggung yang mengalihkan kesetiaannya pada Raden Atmandaru pun langsung terpental, tubuhnya melayang cukup jauh, dan masih terdorong ketika jatuh menyentuh tanah. Ki Sanden Merti  terkapar dengan dada yang tampak seperti terbakar. Wajahnya menjadi begitu kelam karena pengerahan tenaga yang berlebihan pada saat-saat terakhir dari serangan Agung Sedayu.

Para prajurit berlarian hendak mengerumuninya namun Agung Sedayu memerintahkan mereka tetap pada tempat masing-masing.

Dari kedudukannya, Agung Sedayu dapat melihat sepenuhnya keadaan Ki Sanden Merti, lalu berjalan menghampiri orang yang cukup menyulitkannya dengan perlawanan dan ilmu yang luar biasa. “Aku tidak melihatmu dalam keadaan baik, Ki Tumenggung,” kata Agung Sedayu saaat berjongkok di sebelah kepala Ki Sanden Merti.

Ki Sanden Merti meringis menahan sakit tapi tidak dapat menanggapi ucapan Agung Sedayu. Bagian dalam dadanya terasa sangat panas dan itu menjalar sampai ke pusar. Ki Sanden Merti mengedipkan mata beberapa kali kemudian tubuhnya tidak berdaya sama sekali.

Baca dan jadikan pula sebagai kolesi, Bara di Borobudur Buku Pertama. Hubungi nomer WA di bawah untuk pembelian.

 

Agung Sedayu lekat menatap wajah musuhnya. Terpancar samar-samar sebuah penyesalan karena ia dapat mengurangi hentakan dan sebenarnya itu sudah cukup membuat ilmu Ki Sanden Merti lumpuh.Tapi, bagaimana bila suatu hari kelak Ki Sanden Merti mengulang pembangkangan? Agung Sedayu merenung sejenak. Pikirnya, pengulangan itu adalah suatu kemungkinan. Maka sambil menghitung bahaya yang dapat disebabkan ulah Ki Sanden Merti di kemudian hari, Agung Sedayu pun sedikit merasa lega. Dalam waktu itu, pendengarannya menangkap desir halus langkah kaki yang mendekat padanya. “Kinasih,” kata Agung Sedayu setelah mengenali orang yang ikut duduk di sampingnya.

“Saya, Ki Rangga,” sahut Kinasih dengan wajah merunduk. “Berterima kasih pada Yang Maha Agung.  Ki Rangga terlindungi dan selamat dari perang tanding yang sungguh berbahaya ini.”

Jantung Agung Sedayu berdebar keras meski pernapasannya tidak ada gangguan. Muncul perasaan janggal ketika ia sadar bahwa berada di dekat gadis yang merawat luka-lukanya di Pengging itu seperti menjadi sesuatu yang diharapkannya. Tanpa sadar, wajah Agung Sedayu memerah. Tapi itu hanya sekejap karena dari belakang mereka terdengar beberapa orang bercakap-cakap sambil berjalan kaki.

 

 

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

 

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

1 comment

Budi Setiawan 17/12/2024 at 15:25

semakin dahsyat ilmu AS… joss tata bahasa ceritanya.

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.