Hingga pada masa yang berlaku sesuai kebiasaan orang-orang Grajegan, maka Bhre Pajang segera mohon undur diri. Dia beserta seluruh rombongan akan kembali ke Pajang. Dalam kesempatan itu, Angling Dhyaksa berharap dapat tiba di istana kadipaten sebelum hari menjadi gelap.
“Engkau juga kembali bersama kami, Bondan,” kata Bhatara Pajang ketika melihat wajah harap Bondan yang ingin tinggal lebih lama di Grajegan.
Beberapa orang terlihat penasaran saat melihat Bhre Pajang berbisik pada Bondan namun Bondan segera memalingkan muka.
“Apa yang terjadi pada Bondan, Tuanku?” tanya salah seorang dari rombongan.
“Tidak terjadi apa-apa. Bondan hanya ingin bertahan di tempat ini untuk berlatih tanding bersama Siwagati. Dan aku melarangnya, aku takut Bondan akan terluka hatinya.” Ucapan Bhre Pajang disambut gelak tawa dan tepuk tangan orang-orang yang mendengarnya. Maka Bondan tak dapat lagi menyembunyikan wajah yang memerah. Bahkan Siwagati harus menggeser tubuhnya berlindung di balik punggung ayahnya.
Siwagati mempunyai penilaian tersendiri untuk Bondan. Dia tidak atau belum ingin mengakui jika tertarik. Tapi, biarlah itu menjadi rahasia Siwagati.
Satu dua kata disampaikan oleh Bhre Pajang untuk mengakhiri kunjungannya. Tak lama kemudian, rombongan itu meninggalkan rumah Ki Juru Manyuran. Berbagai kata gembira dan celetuk ringan bergantian menggelitik pendengaran Bondan. Rona merah merebak pada raut wajahnya, hingga dia berulang kali meminta orang-orang supaya berhenti. Namun mereka semakin bersemangat, bagi mereka, perjodohan Bondan adalah tanda hari baru akan menjelang. Terutama para pengiring yang berasal dari padepokan, keberadaan Bondan adalah pelita ketika guru mereka tidak berada di sekitar mereka. Harapan mereka terhadap Bondan begitu besar. Resi Gajahyana memang meyakini bahwa keturunan Panji Alit akan mampu meneruskan semangatnya.
Matahari belum sepenuhnya berada di balik punggung Merapi, bintang belum berkelip penuh ketika Bhre Pajang tiba di halaman istana. Terlihat olehnya Resi Gajahyana duduk bersila di beranda depan. Para pengiring segera memisahkan diri dan menjalankan tugas tambahan dengan kesadaran. Mereka membagi makanan dan beberapa buah tangan untuk penghuni lainnya di istana. Bhre Pajang membiasakan pengikutnya untuk berbagi sekedarnya, sementara orang-orang pun telah mendahulukan Bhre Pajang dalam banyak urusan. Dan memang seperti itulah yang patut dilaksanakan.
“Apakah engkau akan kembali ke padepokan, Bondan?” bertanya Bhre Pajang.
Sejenak Bondan merenung, lalu menjawab, “Saya pikir memang sebaiknya kembali ke padepokan. Saya tidak ingin menambah repot Paman berdua.”
Bhatara Pajang tertawa kecil, kemudian berkata, “Sebenarnya bukan sesuatu yang merepotkan jika kau ingin menginap di sini, tetapi aku kira kau sengaja menghindar pertanyaan bibimu. Tentu saja, dia ingin tahu pendapatmu mengenai gadis itu.”
Bondan bersemu merah dan nasib baik berpihak padanya karena suasana gelap rela membantunya, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak melihat perubahan wajahnya. Sesaat saja Bondan minta diri pada paman dan bibirnya, serta pada orang-orang yang mengiringinya.
Sedikit berlari kecil, dia menghampiri Resi Gajahyana untuk minta diri pula. Satu atau dua kata Resi Gajahyana mengucapkan sesuatu, Bondan tekun menyimak. Sejurus kemudian, dia melangkahkan kaki menuju padepokan.
Dalam perjalanan itu, Bondan membayangkan perjalanan panjang dan wajah Siwagati penuh menghias pikiran. Bondan benar-benar tidak dapat menitikberatkan pada satu pikiran pada saat itu. Kotaraja dan Siwagati datang silih berganti memenuhi pikiran Bondan sepanjang langkahnya menuju padepokan.
Ketika hari itu tiba, hari pernikahan Bondan. Tepat pada bulan keempat sejak kedatangannya kembali di Pajang
Jalan menuju pusat kota Pajang tidak begitu lebar. Pada waktu musim hujan seperti saat itu, beberapa bagian jalan telah berlubang. Meski sebenarnya para petugas kadipaten kerap memadatkan jalanan dengan pasir serta bebatuan kecil, namun curah hujan yang tinggi agaknya kembali membuat lubang-lubang yang baru.
Mendung masih bergelayut di atas udara kota Pajang. Gerimis terkadang turun bergantian dengan hujan yang cukup lebat. Dan angin dari lereng Merapi datang menyapu kota bergantian dengan hembusan yang membius jiwa. Suasana yang mendatangkan kesan yang berbeda pada setiap orang. Sebagian orang menyambut hujan dengan sukacita, dan sebagian bermuram wajah karena kegiatan yang terganggu oleh hujan.

alan utama menuju kota tidak begitu padat oleh orang yang berlalu lalang. Resi Gajahyana dan Bondan hampir mencapai gerbang kota bersama Kao Sie Liong serta Zhe Ro Phan.
Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu, beberapa orang berkelompok di warung-warung bersanding minuman hangat dan makanan kecil. Mereka melewati dua candi yang juga menjadi tempat berteduh sekelompok orang. Dua bangunan itu mempunyai halaman yang cukup luas dan sebuah ruang terbuka beratap pelepah daun kelapa. Meski begitu, jalanan yang basah dan gerimis tidak menghalangi sebagian orang untuk tetap menjalankan kegiatan.
Serombongan prajurit melintasi jalan dengan kuda yang sedikit berlari cepat. Mereka seperti prajurit yang baru saja melakukan tugas perondaan. Wajah-wajah lelah terpancar dari atas punggung kuda. Dari arah berlawanan, iring-iringan kecil yang dipimpin oleh Resi Gajahyana juga berpapasan dengan kelompok kecil pedati yang berbaris rapi menuju luar kota. Mereka saling bertegur sapa ketika saling mendekat. Resi Gajahyana melambai dan terdengar menyebut beberapa nama pedagang yang memang dikenalnya.
Sesekali satu dua orang berjalan mendekati mereka dan mengucap selamat pada Bondan. Belum terlihat kesibukan yang luar biasa di lingkungan istana Pajang pada hari itu. Bhre Pajang masih menutup rencananya untuk menggelar pesta pernikahan Bondan di istana. Beberapa alasan membuat Bhre Pajang merasa harus melakukan satu atau dua tindakan sebab dia masih menunggu laporan terakhir dari petugas sandi.
Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.
Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;
Langit Hitam Majapahit dan Bara di Borobudur Jilid 1 (PDF). Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831
Demikian pemberitahuan. Terima kasih.
Walaupun demikian, kesiagaan para prajurit khusus pengawal istana sama sekali tidak berkurang, bahkan mereka meningkatkan selapis kewaspadaan menjelang keberangkatan satu rombongan besar istana yang akan menuju Kademangan Grajegan.
Hari itu adalah satu masa yang dinantikan penuh debar dan harapan oleh Bhre Pajang dan Ki Juru Manyuran, Bondan datang dengan hati penuh gegap gempita. Dia memasuki regol istana dengan sedikit kenangan pada Arum Sari.
“Andai aku tidak dapat mengekang diri, seperti apa bentuk wajahku saat bertemu eyang guru dan paman? Memalukan! Bagaimana aku akhirnya menyalahi janjiku pada Siwagati untuk meraih hati Arum Sari? Dan aku sungguh sangat beruntung dengan kehadiran Gumilang. Dan ia memang benar-benar saudaraku yang dapat diandalkan.” Bondan tersenyum tanpa sebab yang diketahui orang lain.
Bondan, pada hari pernikahannya, memang menjadi pusat perhatian banyak orang. Raut wajahnya memancar cahaya yang sebanding dengan sinar mentari pagi, bahkan mungkin lebih terang dan menyilaukan! Betapa dia sangat berbahagia dapat kembali ke Pajang dengan selamat setelah melewati banyak peristiwa yang membahayakan.
Pertempuran di Sumur Welut dan penghadangan oleh Ra Jumantara di lereng Gunung Wilis adalah dua kejadian yang nyaris merenggut nyawanya. Maka sepantasnya jika orang-orang melihat senyum Bondan sebagai hal yang wajar. Padahal senyum Bondan bukan karena dirinya yang selamat, Bondan tersenyum untuk menertawakan dirinya yang hampir berbuat bodoh! Matahari
