Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buah Laksa Jaya mengalami luka-luka dan pekik mengerikan kerap mengguncang udara di sekitar rawa-rawa. Jeritan pengiring Laksa Jaya seolah memberitahu Patraman yang sedang bertarung dahsyat dengan Gumilang. Patraman tahu bahwa beberapa di antara laskar yang dikerahkan Laksa Jaya adalah pengikutnya yang setia, maka kini ia serasa tersayat ulu hatinya ketika pekik kematian keluar dari kerongkongan anak buahnya itu.
Kekecewaan dan kecemasan berkumpul menjadi satu kemarahan dan melanda Patraman, seiring dengan itu ia ingin segera menghabisi musuhnya.
Semakin cepat itu lebih baik sebelum anak buahku semakin berkurang! pikirnya. Ia membuat kesimpulan pendek bahwa dengan kematian Gumilang maka perlawanan Ken Banawa atau Bondan dapat berakhir lebih cepat. Menurut perhitungannya, separuh anak buah Gumilang akan dapat dibabat habis oleh senjatanya, lantas ia berpindah untuk memasuki gelanggang Ken Banawa atau Bondan.
Keduanya? Sama saja! Hatinya berkata dengan rasa geram yang membuncah hebat.
Patraman mengamuk sangat hebat dan mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menyerang Gumilang habis-habisan. Ujung pedangnya semakin lama semakin dekat dari tubuh Gumilang. Namun Gumilang tetap mampu menjaga keseimbangan sekalipun lawannya telah berubah lebih garang dalam menyerang.
Gumilang merasa tidak dapat selamanya bertahan, Ia harus memutuskan segala sesuatu dengan cermat. Seketika pedangnya terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung di sekitarnya. Patraman menyadari bahwa Gumilang mulai mencoba keluar dari tekanannya. Pada saat itu Patraman mengayunkan pedang, menghantam secara langsung badan senjata yang berusaha membelah tubuhnya.
Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit.
Keduanya terpental mundur tapi sekejap kemudian mereka telah bergumul lagi dalam gulungan senjata yang bergerak cepat dan penuh tenaga.
Terasa oleh Patraman betapa tangannya kini bergetar, ia tidak mengira bahwa kekuatan Gumilang menjadi luar biasa dan mungkin beberapa tingkat berada di atasnya.
Bersamaan dengan meningkatnya pertarungan Gumilang dengan Patraman, pengalaman dan ketenangan Ken Banawa sanggup mengatasi tekanan lawannya. Dan perlahan kini Ken Banawa mampu menguasai lawannya. Ubandhana kini menyadari bahwa ia sedang menghadapi benteng karang yang kokoh.
“Orang tua! Haruslah engkau menyingkir dari hadapanku. Tak lama lagi akan aku benamkan wajah tua itu ke dalam lumpur rawa-rawa!” Ubandhana menyeringai bengis sambil menambah tenaga untuk keluar dari tekanan Ken Banawa.
Memerah wajah Ken Banawa tetapi ia masih mampu menguasai keseimbangan pertarungan.
Pertempuran kedua kelompok yang terpisah menjadi beberapa lingkaran kecil ini seperti tak kunjung usai. Sebagai pemimpin prajurit, Ken Banawa dan Gumilang paham bahwa secepatnya pertempuran harus diakhiri. Mereka tidak berharap pada Bondan agar lekas mengakhiri pertarungannya dengan Ki Cendhala Geni. Karena kedua orang ini tahu kehebatan ilmu Ki Cendhala Geni, selain pengenalan mereka terhadap watak Bondan.
Melihat Ken Banawa menganggukkan kepala, Gumilang paham yang harus dilakukan. Sekejap kemudian ia memberi tekanan dahsyat pada Patraman. Dua senjata yang berada di tangannya melanda pertahanan musuhnya. Selain pedangnya yang bergulung-gulung dengan sinar yang menyilaukan mata, belati pendek Gumilang telah memberi satu dua sentuhan pada kulit Patraman. Arus serangan Gumilang datang bergelombang tiada henti menggempurnya.
Gelombang serangan pedang Gumilang memang mampu ia hindari atau menolaknya, namun belati pendek lawannya tiada henti menyengat tubuhnya. Darah perlahan mulai membasahi banyak bagian tubuhnya, semakin lama Patraman semakin merasa lemah. Patraman melenting menjauhi Gumilang. Namun ia bertekad tidak akan rela ditangkap hidup-hidup untuk dihukum gantung di alun-alun kotaraja.