Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 2 Penolakan di Kaki Merbabu

Penolakan di Kaki Merbabu 6

Malam beranjak sejengkal demi sejengkal menuju kegelapan. Seorang penunggang kuda melintasi bulak panjang dengan derap sangat cepat. Seolah sedang mengejar bayangan setan, sesekali ia melecutkan cambuk agar kudanya melaju lebih kencang. Hingga terlihat olehnya pohon beringin yang batangnya dua kali lingkar tangan lelaki dewasa.

”Seperti perintah yang aku terima, kuda ini harus ditambatkan di bawah pohon ini,” katanya dalam hati. Sedikit keraguan muncul dalam hatinya karena mungkin kudanya akan menjadi mangsa binatang buas atau dicuri orang. Sebenarnyalah keadaan di lereng sebelah timur Gunung Merbabu belum ada gangguan keamanan yang berarti. Berbeda dengan daerah di sebelah barat, utara dan mulut lembah Merbabu.

Utusan Nyi Humalang kemudian memutuskan untuk menambatkan kuda di balik rerimbun tanaman perdu. Ia berjalan setapak demi setapak menyisir pematang panjang yang membelah persawahan yang melingkari padepokan. Sesekali ia menengadahkan wajah, dilihatnya mendung tebal menutupi bintang dan setengah bagian bulan. Angin bertiup sedikit kencang dan hawa dingin pegunungan menyusup hingga tulang belulang.

Sesekali terdengar desah darinya mengusir rasa dingin yang membalut tubuhnya. Semakin dekat ia dengan padepokan yang sudah terlihat di depannya. Api dari beberapa pelita kecil terkadang merunduk tertiup angin.

loading...

“Eyang agaknya tidak menambah penghuni padepokannya,” desahnya perlahan.

“Kakang Getas Pendawa!” Ki Kebo Kenanga berseru pelan. Sementara Pangeran Parikesit menyambutnya dengan dua uluran tangan.

Pangeran Benawa

Ia telah berada di pintu samping padepokan setelah melompati parit kecil. Ia meraba bagian dalam ikat pinggangnya. Sebatang bambu kecil seukuran kelingking digenggamnya. Satu siulan panjang melengking tinggi.

Derit pintu terdengar dan perlahan terbuka. Seorang lelaki bertubuh sedang tepat berdiri di tengah pintu yang  lebar terbuka. Rambut putih keperak-perakan tersisir rapi menjuntai melewati bahunya. Kerut di wajahnya semakin menambah wibawa besar yang terpancar dari sorot matanya. Tidak seorang pun dapat memperkirakan usia lelaki tua yang sebenarnya sudah hampir seabad.

Jantung utusan Nyi Humalang seakan lepas dari tangkainya. Ia mendesis, ”Berulang kali aku berhadapan dengan eyang, selalu saja aku nyaris pingsan.”

Sebenarnyalah getar sukma Resi Gajahyana telah menyusup relung hati Ki Sangkilan. Getaran yang bukan berasal tenaga cadangan yang terungkap, tetapi terpancar dari dalam diri Resi Gajahyana. Sosok sepuh yang telah berhasil merubah dirinya menjadi sebuah samudera. Ki Sangkilan pernah mendengar dari Nyi Humalang bahwa sorot mata Eyang Gajahyana sanggup memadamkan hutan yang terbakar. “Benarkah seperti itu?” pertanyaan Ki Sangkilan menyeruak tapi tak pernah diungkapkannya pada Nyi Humalang. Pikirnya, lebih baik menerima karena kebenaran dapat saja tertunda kemunculannya.

Tanpa bercakap, Resi Gajahyana membuka jalan masuk bagi tamunya. Resi Gajahyana menarik lengan Ki Sangkilan yang berlambat-lambat berjalan di belakangnya.

“Janganlah kau membuatku merasa tinggi dengan berjalan di belakangku,” suara lembut Resi Gajahyana mendorong Ki Sangkilan menerawang jauh menembus awan. Percakapan ringan itu menyentak jiwa Ki Sangkilan kembali ke alam kasunyatan. Ia menyiapkan diri untuk menyimak lebih mendalam. Keduanya lalu berjalan berdampingan menyusur lorong kecil yang ada di sebelah dinding bangunan induk. Kini mereka telah berada di bagian tengah padepokan.

Seseorang berdiri dan memberi hormat pada Resi Gajayana dan Ki Sangkilan. Yang satu segera menyambut Resi Gajahyana dan menyiapkan tempat duduk bagi orang tua yang gagah dan penuh wibawa itu.

Ki Sangkilan terkejut dengan dua orang yang tidak ia kira sebelumnya. Kini ia duduk dalam satu lingkaran dengan dua orang asing yang sempat bermalam di istana Bhre Pajang. Namun dua orang itu tidak terlihat lagi olehnya hingga kunjungannya ke padepokan Resi Gajahyana.

“Ki Sangkilan,” berkata hangat orang asing yang berbadan tinggi dan lengan yang padat berisi.

“Kao Sie Liong, apa kabar? Tiba-tiba kau tidak tampak lagi di istana Bhre Pajang,” Ki Sangkilan tidak dapat menahan keingintahuan.

Seraya menoleh pada kawannya, Kao Sie Liong menundukkan kepala. Ia tidak ingin melewati batasan seorang tamu. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada Resi Gajahyana. Resi Gajahyana sadar tentang hal itu, katanya, ”Benar Angger Sangkilan.”

Wedaran Terkait

Penolakan di Kaki Merbabu 9

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 8 – Pengepungan Istana Berubah Mematikan Saat Pemimpin Pemberontak Turun Tangan

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 7

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 5

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 4

kibanjarasman

Penolakan di Kaki Merbabu 3

kibanjarasman

1 comment

Merebut Mataram 34 - Padepokan Witasem 30/08/2021 at 21:26

[…] Getaran yang bukan berasal tenaga cadangan yang terungkap, tetapi terpancar dari dalam diri Resi Gajahyana. Sosok sepuh yang telah berhasil merubah dirinya menjadi sebuah samudera. Bara di Borobudur  […]

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.