Di tengah kelam malam pada awal musim hujan, Arya Penangsang membuka tirai keheningan di antara mereka. “Terima kasih,” katanya kemudian, “Anda berempat tidak memaksakan diri dengan melanjutkan perkehalian yang sebenarnya berawal dari kesalahpahaman.”
Sebenarnya perkelahian terhenti bukan karena kesadaran empat orang yang datang dari Pajang, melainkan karena daya dorong tenaga yang memancar dari lengking siulan Arya Penangsang. Lalu ditambah lagi mereka pun terpukau oleh pesona gagah dan keberanian yang melekat dalam diri pemimpin Jipang itu. Namun mendengar kata-kata Arya Penangsang, empat orang itu hanya mampu tersenyum kecut. Dalam pikiran mereka, ucapan itu tidak lebih dari sindiran yang lebih cadas dari batu hitam Merapi.
Ki Tumengung Suradilaga seolah tidak yakin dengan kehadiran Arya Penangsng. Ia tidak mendengar bunyi selain suara mereka berempat. Tidak ada suara dari daun atau dahan yang bergoyang. Sejenak ia berpaling pada Ki Rangga Sembaga untuk meyakinkan dirinya, namun Ki Sembaga pun memberi tanda bahwa ia juga tidak mengerti.
“Aku tidak melihat bayangan apapun. Tidak pula mendengar kaki menginjak dahan, sedangkan aku melintasinya ketika menuju ke tempat ini,” gumam hati Ki Sedayu Tawang.
Tetapi Kidang Tlangkas justru berpikir tentang hal lain. Ia membayangkan akibat yang akan diterimanya jika peristiwa itu dilaporkan Arya Penangsang pada Adipati Hadiwijaya. “Kanjeng Adipati pasti menggantungku di alun-alun. Kesediaan Pangeran Parikesit untuk membebaskanku memang tidak diragukan, tetapi aku? Aku menantang seorang perwira berkelahi. Bukan satu, dua orang! Kegilaan seperti apa yang ada dlam pikiranku tadi?” ucap Kidang Tlangkas dalam hatinya. Tetapi ia segera membuang jauh bayangan buruk. Ia kembali pada keyakinannya bahwa seorang Kidang Tlangkas telah menegakkan paugeran. Bahwa tidak boleh ada orang mendekati Sambi Sari tanpa izin Adipati Pajang. Maka aliran napasnya menjadi tenang. Dentang jantungnya tidak lagi memukul dengan keras.
Sorot mata dingin Arya Penangsang menebar hawa mengerikan. Suasana tempat itu tiba-tiba berubah menjadi lebih mencekam. Kedatangan pemimpin Jipang seolah membawa keputusan yang akan mengakhiri hidup mereka.
Malam berjalan lebih pelan. Bahkan Kidang Tlangkas mengira bahwa waktu sempat terhenti oleh kehadiran Arya Penangsang.
Tiba-tiba ketika empat orang itu tenggelam dalam angan-angan, Arya Penangsang bergeser mendekat. Ia memberi tanda agar orang-orang berkumpul di depannya.
Bagi Kidang Tlangkas, itu seperti panggilan hakim yang akan memberinya hukuman mati. Perasaannya berbisik kepadanya bahwa Arya Penangsang adalah orang yang dikirim Adipati Hadiwijaya untuk mengikuti dua orang yang diintainya. “Sial,” lirih hati Kidang Tlangkas berkata sambil mencoba menatap langsung wajah Arya Penangsang, tetapi ia tidak mampu, debar hati Kidang Tlangkas kembali mengguncang, bahkan kini lebih keras dari sebelumnya.
Tiga orang lainnya bertanya-tanya tentang yang dilakukan Arya Penangsang berikutnya. Membunuh mereka? Hanya Ki Suradilaga yang tidak berpikir seperti itu. Ia lebih tenang Adipati Jipang itu tidak akan membunuhnya. Ki Suradilaga datang sebagai utusan Demak. Masalah besar dapat dipastikan akan menghadang Jipang di kemudian hari apabila Arya Penangsang gegabah membuat keputusan.
“Siapakah yang menjadi saksi apabila aku membunuh kalian semua pada malam ini?’ suara Arya Penangsang terdengar begitu menusuk. Nada penghinaan dapat mereka rasakan.
Pikiran Ki Suradilaga menjawabnya dengan pertanyaan yang tidak pernah dinyatakan. “Tidak ada. Siapa yang dapat merintangi kemauan Adipati Jipang itu? Siapakah yang mampu membendung kedahsyatan ilmunya? Mengeroyok Arya Penangsang? Menyatukan empat kekuatan ilmu sepertinya belum sanggup menebas ketinggian ilmu lelaki putra Raden Kikin itu.”
Dalam waktu itu, meskipun sebenarnya Kidang Tlangkas merasakan ngeri, tetapi ia teguh bahwa kematiannya akan penuh dengan kehormatan. Rasa percaya diri yang begitu besar mendorongnya menggetarkan bibir, “Tidak ada, kanjeng Adipati. Tidak pernah ada orang yang akan melihat kematian kami berempat.”
Tiba-tiba Arya Penangsang terbahak. “Aku bukan orang bodoh yang akan membunuh kalian tanpa alasan kuat. Walaupun tidak akan terdengar oleh kakang Hadiwijaya maupun paman Pangeran, aku masih mempunyai hati untuk berkata-kata. Bahkan, dan justru aku heran dengan kalian. Bagaimana kalian dapat berpikir bahwa aku akan membunuh setelah melerai perkelahian bodoh kalian?”