Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 4

Suasana pagi yang semakin naik masih terasa segar, apalagi jika melihat aliran air jernih yang selalu mengikut ialur jalan-jalani tu. Lambaian daun-daun hijau di antara pepohonan sisi persawahan itu seakan menambah kesejukan yang tiada taranya. Hawa sejuk itu seakan mampu menumbuhkan tenaga bagi setiap tubuh-tubuh yang tersentuhnya. Sehingga tidak mengherankan jika di sepanjang perjalanan anak penggembala itu terlihat berjalan dengan penuh kesegaran pula. Anak gembala itu melihat para petani bagai tiada lelah pula melakukan tugas mereka, meski sesekali mereka berhenti sesaat untuk menghirup segarnya udara sebelum kembali menghunjamkan mata cangkul mereka ke tanah-tanah garapan.

“Le, mau kau bawa ke mana domba-domba angonmu itu?” bertanya salah seorang petani yang kebetulan sedang melepas lelah di gubug tepian sawah.

“Mau pulang, Bapak. Sudah empat hari aku mengarak domba-domba ini untuk merumput,” jawab anak penggembala itu. “apakah Bapak memerlukan aku?”

“O, tidak, Le. Pulanglah jika ingin pulang,hati-hatilah dengan domba-dombamu itu. Aku mendengar sedang banyak anjing hutan berkeliaran di kaki bukit itu,” kata petani itu seraya menunjuk satu arah.

loading...

“Terima kasih, Bapak. Aku akan hati-hati, mudah-mudahan aku tidak bertemu rombongan anjing hutan itu,” kata anak itu lalu berjalan lambat mengiring langkah domba-domba piaraannya.

“Anak yang aneh,” timpal kawan petani yang duduk disebelahnya.

“Siapa, Kakang?”

“Anak itu, bocah angon itu.”

Petani yang pertama itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Iya, sebenarnya anak itu salah seorang di antara murid Padepokan Sekar Jagad, tapi entah kenapa seperti tidak pernah mengikuti segala kegiatan perguruan itu, apalagi mengikuti latihan olah kanuragan seperti halnya anak murid yang lain. Hari-hari justru dia habiskan untuk angon.”

“Kau benar, Adi, sepertinya anak itu tidak tertarik dengan ilmu olah kanuragan dan sejenisnya, anehnya kenapa hidup di padepokan?”

“Entahlah, mungkin ada sesuatu yang kita tidak ketahui dari apa yang kita melihatnya, Kakang”

“Kau benar, tapi yang jelas dia seorang anak yang baik, sehingga tidak ada sesama anak gembala di sekitar daerah ini yang tidak menyukainya”

“Sudah lama aku mengenal anak itu sejak sebelum dirinya beranjak remaja seperti itu, dan selama itu pula aku melihat keanehan-keanehan dalam dirinya”

“Maksud, Adi?”

“Apakah Kakang tidak melihat ,anak itu seperti punya kemampuan memahami watak segala macam binatang bahkan sebuas apapun binatang itu seperti tunduk padanya. Karenanya anak itu tidak merasa takut sedikitpun dengan grombolan anjing hutan yang sering berkeliaran memangsa ternak di kaki bukit.”

“Aku juga merasakan keanehan itu, bahkan bukan hanya binatang buas, akan tetapi pada tempat-tempat wingit yang sering dihindari orang pun dia masuki tanpa ada rasa takut sedikit pun. Tenang-tenang saja anak itu ngangon domba-dombanya. Bahkan menurut Kakang Krepa, tetangga sebelah rumahku, segala jenis jin, setan, dahnyang, iblis merkhayangan seakan enggan mengusik anak itu meskipun jagjagan di kawasan keramat sekalipun”

“Kau benar, meskipun aku bukanlah orang pintar, tapi aku merasakan di balik kelembutan perangainya, anak itu bukanlah anak sembarangan.”

Demikian kedua orang petani itu berbincang sambil sesekali menatap ke arah anak penggembala itu berjalan. Semain lama terlihat semakin jauh.

Dalam pada itu keempat orang penunggang kuda tak dikenal itu semakin mendekati kaki bukit dimana letak perguruan Sekar Jagad berada. Namun sejenak langkah kuda mereka berhenti setelah keempat orang itu merasakan dua orang penunggang kuda semakin berada lebih dekat di belakang mereka.

“Berhenti!”teriak salah seorang penunggang kuda di belakang yang tidak lain adalah Tanjung, salah seorang murid Padepokan Sekar Jagad tersebut.

Keempat orang berkuda itu pun berbalik arah dan diam termangu-mangu. Sampai pada akhirnya kedua murid padepokan semakin dekat. Wirantaka terlihat menggamt pundak saudara mudanya yang hendak menghampiri keempat orang penunggang kuda yang tidak mereka kenali itu. Ada kecemasan dalam hati Wirantaka membiarkan saudaranya yang mempunyai perangai cukup keras itu. Dia tidak ingin terjadi kesalahpahaman, karena pada dasarnya kedua murid Padepokan Sekar Jagad itu belum mengerti apa tujuan keempat orang itu mengunjungi perguruan mereka.

Wirantaka pun mendahului saudara mudanya mendekati keempat orangitu. “Siapa Ki Sanak berempat ini? Dan ada urusan apa datang ke daerah ini?” tanyanya

Keempat orang itu masih terdiam dan terlihat saling pandang seperti mempertimbangkan sesuatu sebelum salah seorang yang tampaknya pemimpinnya itu berkata,  “siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“He, kenapa kau balik bertanya?” sahut Tanjung yang merasa tidak puas dengan jawaban orang itu.

Namun Wirantaka pun serta merta kembali menggamitnya seraya menyela. “Kami orang pedukuhan ini Ki Sanak,” sahut Wirantaka, “karena itu aku bertanya siapa dan hendak ke mana Ki Sanak berempat ini?”

“Namaku Jaladara, Ki Sanak,” jawab pimpinan keempat orang itu, lalu lanjutnya, “dan ketiga orang ini saudara-saudaraku, Galih Soca ,Anggada, dan saudaraku paling muda ini Sancaka. Kami dari perguruan Randu Wangi.”

“Perguruan Randu Wangi?” sahut Wirantaka termangu-mangu.

“Benar, Ki Sanak, perguruan Randu Wangi di sisi barat Alas Roban”

“Apakah kau berkata sebenarnya?” sergah Wirantaka.

“Sebenarnyalah demikian, dan apakah Ki Sanak pernah mendengar perguruan kami?”

“Apa yang bisa Ki Sanak  tunjukkan hingga aku bisa mempercayai pengakuan Ki Sanak sekalian?” lanjut Wirantaka.

Jaladara sesaat diam lalu berpaling kearah ketiga saudaranya. Ketiganya lalu berjalan menghampiri saudara tuanya itu. Dan tanpa aba-aba sedikitpun keempat orang itu secara bersamaan menyingkap pakaian di sisi dada sebelah kiri hingga terbuka.  Maka sangat jelaslah satu pemandangan yang sama, yaitu satu gambar terajah di setiap dada kiri orang-orang itu berujud dua keris yang bersilangan.

“Apakah ini dapat meyakinkan Ki Sanak?” kata Jaladara kemudian.

“Kiai Rangsang Wangi?” desis Wirantaka.

“Sebenarnyalah kami anak murid Kyai Rangsang Wangi dari Perguruan Randu Wangi,” sahut Jaladara seraya mengancingkan kembali pakaiannya.

“O, maafkan kami jika bercuriga pada kalian berempat, Kiai Rangsang Wangi kawan baik guru kami,”  sahut Wirantaka, “marilah Ki Sanak, aku persilahkan kalian singgah di padepokan kami.”

Jaladara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih, sebenarnyalah padepokan Sekar Jagad menjadi tujuan kami”

Murid-murid perguruan dari padepokan yang berbeda itupun kemudian bergegas memacu kuda-kuda mereka menuju sebuah regol halaman Sekar Jagad yang memang jaraknya sudah tidak terlalu jauh tersebut.

Satu pemandangan yang umum pada sebuah perguruan pun kini terlihat jelas di mata Jaladara dan ketiga orang saudarannya. Yang mana puluhan anak murid perguruan Sekar Jagad itu sedang mengadakan gladen untuk meningkatkan kemampuan olah kanuragan mereka. Di halaman padepokan yang cukup luas itu terlihat jelas barisan anak-anak murid perguruan  dalam posisi berjajar bersap-sap cukup rapi, dan bersama-sama melakukan gerakan serentak mengikuti irama aba-aba yang diteriakkan salah seorang yang berusia hampir setengah abad yang tidak lain pembimbing mereka.

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 3

Ki Ras Haris Ph

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.