“Itulah yang membuat aku tertawa, Ngger. Melalui tulisan itu gurumu memintaku untuk mengantar kalian ke Mataram. Mengingat usia yang semakin tua menggrogoti tubuhnya..hehhehheh.. Lalu apakah aku juga tidak digrogoti usia pula?” lanjut orang tua itu.
Terlihat beberapa senyum mulai mewarnai orang-orang yang berkumpul di pendapa itu. Termasuk Jaladara dan ketiga saudaranya.
“Sudah begitu lama aku tidak bertemu Kakang Rangsang Wangi,” kata Ki Gede Sekar Jagad kemudian, “terakhir aku bersama-sama dengan guru kalian itu saat mendukung kekuatan Mataram memadamkan pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga. Dan setelah itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Dan aku berharap keadaan Kakang Rangsang Wangi selalu dalam keadaan baik”
“Seperti yang Ki Gede harapkan, saat ini guru dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun usia guru kini semakin terlihat tua,” tukas Jaladara.
“Itu wajar, Ngger. Tidak ada orang yang mampu bersembunyi dari intaian usia,” lanjut Ki Gede Sekar Jagad kemudian. Sejenak ia seperti mengingat sesuatu, lalu katanya lagi, “Bahkan di saat Panembahan Hanyakrawati mangkat, aku juga tidak melihat Kakang Rangsang Wangi di Mataram.”
“Saat itu guru sedang mesu diri, Ki Gede.”
“Ya, aku percaya, jika tidak tentu Kakang Rangsang Wangi akan menghadiri upacara pemakaman sang prabu. Karena memang semua tokoh perguruan yang menjadi sahabat Mataram berada di sana.” Kyai Sekar Jagad menarik nafasnya. “Dan sepertinya saat ini Kakang Rangsang Wangi juga mendengar wara-wara itu.”
“Wara-wara?” desis Jaladara.
“Ya, bukankah gurumu itu menyuruh kalian mengikuti pendadaran keprajuritan ke Mataram?” sahut orang tua itu, “dan seperti yang aku dengar Mataram kini sedang berusaha memperbesar angkatan perangnya.”
“Sepertinya Raden Mas Jatmika sebagai pemegang kuasa Mataram sekarang ini berbeda dengan para pendahulunya,” sahut Ki Resa Demung tiba-tiba.
“Kau benar Adi Demung,” jawab Ki Gede Sekar Jagad, “dan rasanya Mataram bagaikan tidak pernah kehabisan orang-orang pinunjul di dalamnya. Meski perkembangan Mataram seperti terhenti sejak mangkatnya Panembahan Hanyakrawati beberapa tahun lalu. Namun sejak kedudukan Pangeran Martapura diserahkan kepada Raden Mas Jatmika, Mataram kini kembali menggeliat. Dan memang seperti apa yang banyak dikatakan orang, baik dari dalam maupun dari luar istana, putra mendiang Prabu Hanyakrawati yang satu itu seperti memiliki wawasan ilmu yang tidak mudah dijajagi siapa pun.”
“Tampaknya dalam kekuatan keprajuritan saat ini Mataram sudah tidak memerlukan dukungan dari kalangan seperti kita ini lagi, Ki Gede,” tukas Ki Resa Demung.
“Bukan begitu. Adi, kau salah jika berpendapat seperti itu,” lanjut Ki Gede SekarJagad, lalu ucapnya lagi, “memang tidak bisa dipungkiri sejak masa Panembahan Senapati kekuatan prajurit Mataram tidak bisa dipisahkan dengan para sekutunya termasuk dari kalangan orang-orang perguruan seperti kita ini. Demikian juga dengan pada masa Panembahan Hanyakrawati”
“Tapi bukankah kini Mataram akan membentuk kekuatan prajurit yang begitu besar di bawah kesatuan induk keprajuritan Mataram sendiri?. Bukankah itu artinya ke depan kekuatan-kekuatan Mataram dari unsur luar istana tidak lagi digunakan?”sahut Ki Resa Demung.
“Aku rasa hanya cara yang berbeda yang dilakukan Raden Mas Jatmika soal itu, Demung,” sergah Ki Sekar Jagad, “seperti kau tahu Mataram saat ini tidak seperti pada masa-masa awal berdiri. Mataram saat ini bukanlah sebuah desa atau sebuah tanah perdikan. Dan tidak bisa dipungkiri daerah itu sekarang merupakan wilayah yang setara dengan sebuah kerajaan, meskipun sampai saat ini masih banyak kadipaten-kadipaten yang belum mau mengakui kekuasaan Mataram khususnya dari brang wetan. Apalagi semenjak kewibawaan Pajang semakin sirna. Kini ibarat Mataram menjadi satu-satunya cahaya matahari yang akan menerangi tanah Jawa ini. Dan sebagai sebuah kerajaan tentu tidaklah mungkin dalam kekuatan perang Mataram harus selalu mengandalkan kekuatan dari luar istana yang tentu tidak sepenuhnya akan selalu tunduk pada perintah senapati agungnya.”
“Lalu bukankah itu jelas pada nantinya tenaga kita orang-orang perguruan tidak lagi diperlukan?” sahut salah seorang lain yang juga tetua perguruan itu.
“Seperti yang tadi aku katakan sebenarnya hanya cara yang berbeda yang dilakukan Raden Mas Jatmika saat ini.”
“Maksud Ki Gede?” bertanya Ki Resa Demung kemudian.
“Apa yang dilakukan Raden Mas Jatmika sebagai pemimpin Mataram saat ini memang berbeda dengan para pendahulunya. Akan tetapi sesungguhnya tetap saja masih melibatkan orang-orang perguruan juga, seperti nawala yang aku terima, juga pada perguruan-perguruan lain. Kita diminta untuk mengirimkan beberapa orang anggota perguruan yang pinilih untuk mengikuti pendadaran olah keprajuritan di Mataram. Artinya Mataram menginginkan bagian kekuatan para perguruan itu masuk secara langsung menjadi satu kesatuan prajurit di bawah panji Mataram. Dan bisa kalian bayangkan jika rencana itu terwujud, tentu pada saatnya Mataram akan mempunyai kekuatan prajurit yang luar biasa dan mampu bertempur dalam berbagai bentuk. Mampu bertempur dalam olah gelar perang, juga mampu bertempur secara orang per orang karena rata-rata setiap prajurit Mataram mempunyai ilmu yang cukup tinggi dari berbagai perguruan.”
Orang-orang dalam pendapa itu seperti bersamaan terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya seakan mencoba memahami kata-kata yang diungkapkan Ki Gede Sekar Jagad tersebut.
“Luar biasa, jadi demikian dengan apa yang direncanakan Mataram ke depan?” kata Ki Resa Demung.
“Mungkin, Adi Demung, karena apa yang aku katakan hanyalah panggraitaku saja. Dan tentu soal di dalam Mataram hanya orang dalam istana sajalah yang tahu,” ucap Ki Gede.
“Tapi menurutku, panggraita Ki Gede sangat mendekati benar jika dilihat dari apa yang sedang dilakukan Mataram dalam memperkuat kekuatan perangnya,” lanjut Ki Demung.
“Seperti panggraitaku, Adi Demung. ibarat matahari sepertinya tidak dalam waktu lama Mataram akan bersinar pada puncaknya.”
“Tapi sayang kini tidak ada lagi Ki Mandaraka di Mataram yang belum lama ini juga mangkat.”
Ki Gede Sekar Jagad tersenyum, lalu katanya lagi, “Separti yang aku katakan, Mataram bagaikan tidak pernah kehabisan orang-orang pinunjul. Ibarat daun, yang tua berguguran dahanpun bertunas. Dan Sekalipun kini Ki Mandaraka sudah tidak ada lagi, kita Tidak bisa memandang ringan penggantinya. Dan semua orang tahu siapa Tumenggung Singaranu. Ilmunya juga menjulang baik dalam tata gelar keprajuritan ataupun Kesaktian. Belum lagi putra mendiang Ki Patih Mandaraka sendiri.”
“Ki Juru Kiting maksud Ki Gede?”-sela Ki Demung
Orang tua itu mengangguk kecil. “Dan bahkan menurutku kekuatan senapati Mataram sekarang ini lebih kuat dibanding pada saat Panembahan Hanyakrawati. Terlebih kini Pangeran Purbaya mulai banyak tampil dalam geliat Mataram.”
“Pangeran Purbaya salah seorang putra Panembahan Senapati itu ilmunya sangatlah tinggi. Konon hanya dia yang dapat disejajarkan mendiang kakandanya, Raden Rangga, dalan ilmu kesaktian,” desis Ki Demung