Namun perbincangan itu seketika terhenti ketika beberapa cantrik memasuki ruang pendapa itu dengan membawa minuman juga beberapa potong makanan. Tidak ketinggalan terlihat pula Jaka Tole salah seorang cantrik yang telah dikenal sebelumnya oleh murid-murid Perguruan Randu Wangi tersebut. Dan setelah semuanya selesai, para cantrik pembawa hidangan itupun beringsut pergi meninggalkan pendapa tersebut.
Akan tetapi langkah mereka terhenti oleh suara Ki Gede Sekar Jagad yang berkata, “Tunggu Tole..! Tetaplah kau di sini, dan kalian yang lain boleh meninggalkan tempat.”
Jaka Tole menganggukkan kepalanya, lalu beringsut mencari tempat duduk di antara orang-orang dalam pendapa.
“Baiklah Angger Jaladara berempat,” kata Ki Gede kepada murid perguruan Randu Wangi kemudian, “mungkin sebaiknya kalian singgahlah barang dua hari di padepokan ini. Sebelum kalian pergi ke Mataram.”
“Seperti pesan guru, kami mengikuti apapun petunjuk yang Ki Gede katakana,” jawab Jaladara.
“Aku rasa apa yang aku katakan malam ini cukup, dan tentu kalian sangat letih setelah menempuh perjalanan jauh sampai di tempat ini. Karna itu kalian istirahatlah. Anak-anak telah menyiapkan gandok untuk kalian.”
“Terima kasih, Ki Gede. Dan jika demikian kami mohon diri,” sahut Jaladara kemudian lalu beringsut meninggalkan ruang pendapa.
“Kalian juga boleh meninggalkan pendapa ini, Wirantaka dan kalian semuanya,” kata Ki Gede kemudian kepada para anak muridnya.
Mereka pun satu per satu beringsut pula lalu meninggalkan ruang pendapa itu. Namun ketika Jaka Tole ikut beranjak, Ki Gedepun berkata, “Kau tetaplah di tempatmu.”
Jaka Tole hatinya berdebar-debar, Anak itu merasa seperti telah berbuat sesuatu yang mungkin melanggar aturan perguruan sehingga hanya terdiam seraya mengangguk kecil.
Tak terasa malam pun telah beranjak semakin jauh. Sampai saat wayah sepi wong satu demi satu beberapa orang telah meninggalkan pendapa itu Namun masih terlihat beberapa orang tak berkeming dari tempatnya duduk. Tampaknya beberapa orang yang termasuk dalam angkatan tua padepokan itu mengawani Ki Gede SekarJagad yang memang masih belum beranjak dari tempatnya. Guru besar perguruan Sekar Jagad itu menghelakan nafasnya, lalu memandang berkeliling ke arah para tetua perguruan yang masih bertahan di tempatnya tersebut.
“Tole, sudah sekian tahun waktu berlalu sejak aku membawamu kemari, rasanya baru kemarin itu terjadi,” kata Ki Gede SekarJagad mengawal iucapannya, “waktu yang terasa begitu cepat berlalu itu seakan menepis sekat-sekat waktu hingga tak terasa pula kau telah tumbuh menjadi seorang yang kini mulai beranjak dewasa. Aku memang tidak bisa setiap saat membangun perkembangan jiwa dan ragamu, namun tentunya paman-pamanmu di sini, juga saudara-saudaramu di padepokan ini lebih berperan dalam kau belajar segala sesuatunya di sini. Karena itu sesungguhnya aku ingin tahu perkembangan dirimu itu, paling tidak sampai di mana kau mampu menyadap ilmu perguruan ini,” kata Ki Gede.
Namun anak itu terdiam seperti tidak mampu menjawab pertanyaan orang yang paling dihormatinya di padepokan itu. Karenanya Jaka Tole itupun justru terlihat semakin dalam menundukkan wajahnya. Di sisi lain para tetua perguruan itu pun tiba-tiba menundukkan wajahnya pula.
“Kenapa kau diam, Ngger?”sergah Ki Gede.
“Ampun Kyai, sebenarnyalah aku tidak begitu mengerti dengan apa yang Kyai maksudkan,” jawab Jaka Tole sebisanya.
Ki Gede Sekar Jagad mengerutkan wajahnya. Seakan heran mendengar jawaban muridnya yang boleh dikatakan paling muda itu, “Tole, apa yang aku maksud sampai di mana ilmu yang telah kau capai selama berada di padepokan ini?”
“Ilmu?” sahut Jaka Tole lirih
“Ya, ilmu kanuragan perguruan Sekar Jagad ini?” tandas Ki Gede.
“Ampun Kyai sebenarnyalah aku tidak tahu, karena sekalipun tidak pernah mengikuti gladen ilmu-ilmu itu,” desis Jaka Tole.
“Apa?” Ki Gede Sekar Jagad terkejut mendengar jawaban anak itu. Wajahnya yang sudah terlihat sangat tua itu tampak menegang lalu berpaling kearah Ki Resa Demung dengan pandangan mata penuh tanya.
“Maaf Ki Gede, memang anak itu tidak sekalipun mengikuti berbagai gladen untuk menyerap berbagai ilmu olah kanuragan. Akan tetapi itu memang kehendak anak itu sendiri, sehingga aku juga semua keluarga padepokan ini tidak bisa memaksanya terus menerus.”
“Apakah benar seperti kata pamanmu itu, Le?” sela Ki Gede seraya menatap wajah Jaka Tole yang semakin menunduk.
Jaka Tolepun sekejap menatap gurunya kemudian kembali menundukkan wajahnya, dan berkata, “Aebenarnyalah demikian Kyai, apa yang terjadi memang kehendakku sendiri dan tidak berhubungan dengan para paman juga saudara lainnya.”
“Jadi selama bertahun-tahun kau di sini juga tidak tahu apa-apa tentang ilmu?”
Jaka Tole semakin diam tak mampu berucap kata sediikt pun. Sampai pada akhirnya justru Ki Gede Sekar Jagad yang kembali bersuara, “Tole, saat itu mungkin kau baru berumur lima tahun ketika pertama kali aku membawamu kemari, lalu apakah kau mengingatnya?”
“Aku ingat, Kyai,” jawabnya lirih.
“Lalu apakah kau juga ingat bagaimana ceritanya kau ku bawa sampai ke sini?” lanjut Ki Gede.
Kini Jaka Tole kembali terdiam, kepalanya terlihat menunduk semakin dalam. Namun semakin lama tiba-tiba tubuh anak itu terlihat bergetar, dan semakin bergetar hebat dengan kedua tangannya terkatup rapat pada sudut pandang kepalanya yang semakin menunduk begitu dalam. Ki Resa Demung termangu mangu melihat apa yang terjadi dengan anak itu. Dia berpaling ke arah Ki Gede Sekar Jagad, “Kenapa dengan anak itu?”
“Tenanglah Adi Demung, anak itu tidak apa-apa,” tukas Ki Gede sebelum menyapa Jaka Tole. “Kenapa dirimu, Tole?”
“Apa yang aku ingat hanyalah darah!” jawab anak itu semakin menggigil.
“Apa maksudmu, Ngger?”
“Aku tidak mengingat apa-apa waktu itu, aku hanya melihat darah yang mengalir di tubuh! Aku hanya melhat denting pedang juga raungan kesakitan orang-orang yang terluka! Tidak..! Aku tidak suka. Aku benci darah, aku benci darah! Aku benci peraaang!” teriakan kencang Jaka Tole kemudian menghantarkannya dalam ketidaksadaran diri. Anak itu pun kemudian terkulai dan pingsan.
“Tole! Tole!” teriak Ki Resa Demung seraya menggoyang-goyang tubuh anak itu.
Sementara beberapa orang lainnya menjadi kalang kabut dilanda kecemasan yang cukup dalam, “Ki Gede, anak ini?”
Ki Gede Sekar Jagad itu pun mendekati tubuh anak itu, lalu disentuhkannya tangannya secara lembut ke beberapa bagian tubuh Jaka Tole , “Adi Demung, rupa-rupanya anak ini pingsan, cepat kau angkat tubuhnya dan baringkan ke dipan itu, kendorkan pakaian yang melekat di tubuhnya.”
“Alur nafasnya teramat kacau, Kyai”
“Ya, baringkanlah dia, aku akan mencoba membantu meredakan ketegangan urat-urat tertentu di tubuhnya mudah-mudahan alur nafasnya akan kembali wajar.”
Demikianlah Ki Gede Sekar Jagad dan para tetua padepokan itupun berupaya untuk meringankan tekanan kejiwaan yang mungkin dialami anak itu hingga membuatnya pingsan. Dan lambat namun pasti keadaan tubuh anak itu pun berangsur membaik. Alur nafasnyapun telihat kembali wajar, meskipun kesadarannya belum terlihat pulih.
“Marilah kita tinggalkan sebentar, biarkan anak ini berbaring, mudah-mudahan kesadarannya akan menjadi pulih,” desis Ki Gede
“Apa yang terjadi dengan anak ini?” tanya Ki Resa Demung
“Entahlah, Adi Demung, tapi tampaknya sesuatu yang mengerikan tiba-tiba membayang dalam benaknya,” kata Ki Gede seraya menarik napasnya panjang-panjang.
“Ki Gede…” sahut salah seorang tetua lainnya.
“Ya, kenapa Damani?” tanya Ki Gede.
“Sepertinya anak ini pernah melihat sesuatu yang mengerikan di depan matanya hingga kadang bayangan itu muncul dan menghatuinya,” tukas Ki Damani.
“Kemungkinan itu mungkin benar, tapi jika peristiwa waktu itu yang menjadi sebab rasa-rasanya sungguh mustahil,” jawab Ki Gede.
“Peristiwa waktu kita menemukan anak itu?” sahut Ki Demung.
“Ya, bukankah kau sendiri juga berada di sana waktu itu?” kata Ki Gede
“Ya, Ki Gede, bahkan sampai saat ini pun aku tidak mampu memikirkan bagaimana bisa bocah itu berada di tempat bekas pertempuran dan menangis di antara tumpukan-tumpukan mayat pasukan yang tewas?”
“Maksud Kakang Demung, sisa-sisa pasukan Panaraga yang kita kejar bersama pasukan Mataram?”
“Benar Adi Damani, akan tetapi senja itu kita hanya menemukan tumpukan-tumpukan mayat para pasukan Panaraga. Entah kelompok mana yang menghancurkannya kita tidak begitu memikirkannya karena kita melihat bocah mungil itu menangis di antara mayat-mayat”
“Lalu mungkinkah Jaka Tole yang waktu itu masih begitu kecil mampu mengingat peristiwa mengerikan itu, kemudian selalu menghantuinya pada saat akan beranjak dewasa seperti sekarng ini?”- Tukas Damani.
“Bukankah tadi kita jelas mendengar igauannya sebelum anak itu pingsan?” sela Ki Gede Sekar Jagad.
“Aku mendengarnya Ki Gede,” jawab Resa Demung.
“Ya, dan igauannya itu jelas satu gambaran bayangan sebuah peperangan yang pernah di lihatnya,” desis guru besar padepokan itu, “kasihan anak itu, bahkan sampai sekarang kita juga tidak tahu siapa orang tuanya.”
“Namun ada hal yang aneh yang selama ini tidak bisa aku pecahkan soal anak itu,” desis Ki Damani.
“Apa itu?” sahut Ki Resa Demung.
“Apakah kau tidak heran, Kakang, bagaimana bisa seorang bocah yang belum genap lima tahun bisa berada di tempat seperti itu? Siapa yang membawanya? Lalu anak siapa? Ataukah mungkin anak itu diculik? Kalau diculik bagaimana bisa berada di medan perang seperti itu?”
“Apa yang menjadi pertanyaan dalam benakmu itu sama denganku, Damani,” sahut Ki Demung, “sampai saat ini aku juga tidak mampu menjawab keanehan itu”
“Kasihan anakitu, akan tetapi setelah apa yang terjadi malam ini dengan anak itu, mudah-mudahan dugaanku benar,” sahut Ki Gede Sekar Jagad.
Ki Damani dan juga Ki Resa Demung juga kedua orang tetua padepokan yang masih berada di tempat itu menjadi termangu-mangu mendengar ucapan Ki Gede Sekar Jagad. Merekapun memandang penuh tanya ke arah orang yang paling bertanggung jawab di perguruan itu. Sampai pada akhirnya orang tua itupun seperti tanggap lalu kembali berkata , “Aku menduga sebenarnya hal yang samar dengan anak itu hanya dirinya sediri yang tahu.”
“Maksud Ki Gede?” sergah Ki Demung.
“Maksudku dengan daya ingatnya yang sangat tinggi itu sesungguhnya anak itu sudah tahu siapa sebenarnya dirinya. Akan tetapi entah mengapa dia selalu menyembunyikannya, bahkan lebih suka dengan nama Jaka Tole yang aku berikan.”
“Kenapa demikian Kyai?” tanya Ki Damani kemudian.
“Panggraitaku mengatakan bahwa dengan daya ingatnya yang sangat luar biasa itu ternyata dia mampu mengingat pemandangan mengerikan yang telah dilihatnya beberapa tahun berselang, sekalipun waktu itu umurnya belum genap lima tahun. Menurutku tentu anak itu ingat pula siapa namanya, dari mana asalnya dan siapa orang tuanya. Akan tetapi ada satu sebab yang membuat anak itu seperti sembunyi dari segala persoalan yang pernah mengguncangkan jiwanya itu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan Ki Gede?” bertanya Ki Resa Demung.
“Biarkan saja. Biarkan saja dirinya mengikuti perasaan yang bisa membuatnya tenang dalam menjalani hidupnya. Dan aku percaya pada saatnya jiwanya akan kembali dalam kewajaran.”
Ki Resa Demung terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berdesis, “Kini semua menjadi cukup jelas kenapa Jaka Tole sama sekali tidak mau belajar olah kanuragan, sehingga memilih menghindar keluar padepokan dengan alasan menggembalakan domba-dombanya.” Ki Demung menarik napas panjang. “Ternyata anak itu mengalami goncangan jiwa yang cukup berat oleh karena sesuatu yang belum sepantasnya dia lihat hingga membuatnya jerih dan muak dengan hal-hal yang berbau kekerasan.”
“Apa yang kau katakan cukup beralasan, Adi Demung. Namun sebagai ketua padepokan, sesungguhnya aku merasa kecewa, karena dalam pandanganku anak itu mempunyai bakat tinggi untuk menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang mungkin dengan mudah akan mampu mencapai tingkat kesempurnaan ilmunya. Apakah kau juga merasakanya?”
“Aku hanya melihat memang susunan tulang yang begitu sempurna dalam tubuh anak itu.”
“Kau benar, tapi sayang anak itu sepertinya sulit untuk merubah perasaan jerih itu, namun selama ini dia selalu tekun mengikuti segala ilmu kajiwan yang aku jabarkan.”
Namun pada detik itu pula Ki Gede Sekar Jagad tiba-tiba berdiri, lalu tatapan matanya seakan memancar jauh keluar, menembus malam yang telah mulai meninggalkan puncaknya itu. Ki Resa Demung menjadi bertanya-tanya, apa yang tiba-tiba bergayut dalam benak ketuanya itu.
“Adi Demung, dan kalian semua, tiba-tiba saja ada sesuatu yang menjadi pertanyaan dalam benakku tentang anak itu.”
“Mohon Ki Gede sudi mengatakannya,” sahut Ki Demung.