Padepokan Witasem
arya penangsang, jipang, penaklukan panarukan, panderan benawa
Bab 1 - Serat Lelayu

Serat Lelayu 21

Setelah menunggu beberapa waktu dan tidak memperoleh tanggapan, Arya Penangsang mengulang seruannya yang merambat di bawah getar suara wajar.

Lembu Jati kembali mendengar suara Arya Penangsang yang diucapkan tanpa tergesa-gesa. Dalam waktu itu, Lembu Jati mengagumi Adipati Jipang yang tetap tenang melalui nada suara maupun tindakan. Kenyataannya memang Arya Penangsang tidak terkesan  mengancam, terburu-buru mendatanginya atau meninggalkannya guna mengejar laju kapal perang yang membawa pulang Raden Trenggana.

“Arya Penangsang,” gumam Lembu Jati pada dirinya dengan suara lirih. “Tidak ada ancaman pada nada suaramu, tapi aku tahu bahwa keadaan ini akan menjadi gawat. Itu tak lain karena kau dikabarkan selalu tahu yang dilakukan. ‘Tidak ada keputusan yang tidak perlu,’ kata orang-orang.” Lembu Jati beranggapan seperti itu karena sejauh pengenalannya pada Arya Penangsang,  melalui laporan petugas sandi, bahwa orang itu hanya perlu sekali atau dua kali mengulang perintah atau permintaan. Lembu Jati tidak mengingkari arus utama di dalam pikirannya ; besar kemungkinan akan terjadi benturan sangat keras pada malam itu di jalan setapak yang membelah hutan jati.

Dari kejauhan, Arya Penangsang tidak mengubah sikap ; bahwa dia tetap tegak berdiri di samping lambung kuda dengan tubuh dan wajah menghadap lereng lembah. Pada waktu itu, Arya Penangsang merenung, lalu berucap dalam hatinya, “Kesabaran mempunyai batasan dengan keputusan-keputusan yang lahir sebagai akibat adanya pilihan-pilihan. Aku dapat memilih ; menggempur lalu membunuhnya atau  meninggalkannya demi Paman Trenggana.”

loading...

Selain itu, Arya Penangsang juga menimbang bahwa dia merasa sayang bila kemudian terjadi perkelahian di situ lalu membinasakan banyak pohon jati. Apakah tidak hancur hati para petani, para penebang kayu dan pemburu ketika mendapati harapan mereka rusak karena sesuatu yang mereka tidak tahu atau terlibat? Mungkin orang lain akan mengatakan bahwa bencana itu adalah bagian dari roda kehidupan. Mungkin, ya, mungkin, pikir Adipati Jipang tersebut. Namun, bukankah dari sisi yang lain, keputusannyalah yang menjadi sebab kebinasaan lahan sandang dan pangan orang lain? Sementara, mereka yang bekerja di atas hutan itu masih terhitung sebagai rakyat yang harus diayominya.

“Dengan begitu, demi meringkus orang yang membuntutiku, aku harus melakukannya di tempat lain,” ucap Arya Penangsang. Meski demikian, dia tidak abai memperhitungkan kemampuan pengintainya. Pikirnya, orang yang membuntutinya sudah terbukti sanggup menjaga jarak. Itu jelas membuktikan bahwa orang itu mempunyai kesabaran yang cukup seperti hewan pemburu yang menunggu kelengahan mangsanya.

Namun, masih dalam ruang pikiran Arya Penangsang, dia harus tetap mengingat kemungkinan buruk bila kejadian yang dialami Raden Trenggana ternyata sudah menyebar ke seluruh penjuru Demak. “Benar-benar tidak mudah sepertinya untuk menyeret pemburu berkaki datar itu pada tempat yang sepi,” kata Adipati Jipang tersebut pada dirinya sendiri. Maka diputuskanya untuk tetap melanjutkan perjalanan tanpa mengurangi kewaspadaan.

Menjelang tengah malam, setelah berkuda perlahan melintasi sebuah kademangan dan hanya berhenti sekali di dekat keramaian pasar, Arya Penangsang berbelok kanan. Dia menuju sebuah pedukuhan yang terletak agak menjorok ke dalam dan berjarak sekitar seratus tombak dari jalan yang dilaluinya. Kedatangannya disambut dengan bau jerami dan ranting-ranting kering yang dibakar. Di samping kiri dan kanan jalan banyak tumbuh pohon yang berjajar rapi seakan menjadi pembatas jalan. Kerlip pelita mulai tampak dari kejauhan. Para penghuni pedukuhan seperti sudah larut ke dalam malam yang gelap. Suara tonggeret nyaring dan mendahului jangkrik ketika membelah udara.

Seperti ombak yang berlomba-lomba mencapai garis pantai, beberapa orang berjalan tergesa-gesa saat berpapasan dengan Arya Penangsang. Adipati Jipang itu hanya menatap tanpa bertanya. Pikirnya, mungkin para lelaki tidak berasal dari pedukuhan di depannya. “Pada malam selarut ini, apakah masuk akal bila mereka tidak ingin kemalaman di perjalanan?” ucapnya dalam hati.

Dari belakang punggungnya, terdengar derap kaki yang cepat. Dua orang berjalan. Mereka adalah sepasang lelaki dan perempuan yang berumur lebih banyak dari Arya Penangsang. Sejenak kemudian mereka berada di samping Adipati Jipang yang menuntun kuda. Ketika memperhatikan langkah kaki pasangan tua itu, Arya Penangsang mengerutkan kening. Batinnya, “Mereka bukan berjalan cepat karena kebiasaan, tetapi sesuatu seperti sedang mengejar atau menunggu di suatu tempat. Betul saat-saat seperti ini adalah waktu untuk persiapan panen. Tapi, mungkinkah dilakukan pada malam hari? Apakah sudah tidak ada hari esok?”

“Maaf, Ki dan Nyi Sanak,” kata Arya Penangsang sambil berusaha menyamakan langkah.

Sepasang orang berumur itu berhenti, lalu menoleh pada Arya Penangsang tanpa  mengucap kata. Sesaat kemudian mereka meneruskan langkah kaki yang lebar.

“Ki Sanak, maaf.” Arya Penangsang mengejar mereka lalu berusaha mendahului pasangan itu. Setelah berbalik arah, menghadapkan wajah penuh pada sepasang orang tua tersebut, Arya Penangsang berkata lagi, “Saya sama sekali tidak bermaksud menganggu atau menghambat perjalanan Bapak sekalian. Saya tidak berasal dari sekitar sini. Jadi, saya pikir betapa baik bila kita dapat berjalan bersama menuju padukuhan.”

Lelaki tua itu menautkan alis. Memandang wajah Arya Penangsang lekat-lekat. Wajahnya memantulkan isi hati yang seakan-akan sedang mengalami hari yang buruk. Dia berpaling pada perempuan yang berada di sampingnya. Perempuan yang sudah berkeriput wajah itu mengenakan kain yang menutup bagian kepalanya. Warna rambutnya tersembunyi.

Malam yang dirundung suram dengan sedikit sinar rembulan tidak dapat menghalangi pandangan Arya Penangsang. Murid dari orang berohani tinggi tersebut dapat melihat pasangan itu sedang terlibat dalam suasana yang tidak nyaman.

Wedaran Terkait

Serat Lelayu 9

kibanjarasman

Serat Lelayu 8

kibanjarasman

Serat Lelayu 7

kibanjarasman

Serat Lelayu 6

kibanjarasman

Serat Lelayu 5

kibanjarasman

Serat Lelayu 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.