“Saya meninggalkan mbokayu Sekar Mirah dalam keadaan baik,” jawab Pandan Wangi lalu menghirup udara banyak-banyak ke dalam rongga dadanya. Ia berkata kemudian, ”Mudah-mudahan dukun bayi mengirim berita baik untuk Kakang.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Mbokayu Sekar Mirah sedang ditemani oleh dukun bayi yang dipanggil oleh Ki Demang. Sepintas saya mendengar percakapannya dengan Ki Demang sebelum saya keluar dari bilik mbokayu.”
“Apa yang mereka bincangkan?”
Tiba-tiba Pandan Wangi sadar bahwa yang disampaikan oleh dukun bayi pada Ki Demang dapat membawa perubahan bagi Agung Sedayu. Hatinya berdebar-debar bila yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi pada Agung Sedayu. Sulit bagi istri Swandaru untuk mengatakan sebenarnya pada senapati pasukan khusus itu. Namun kesulitan itu adalah karena Pandan Wangi tidak menerima berita secara langsung dari dukun bayi. “Aku tidak ingin hanya sekedar dugaan yang didengar tetapi benar-benar kenyataan. Lalu bagaimana jika mbokayu Sekar Mirah sungguh-sungguh dalam keadaan gawat? Tentu aku adalah orang yang bersalah,” kata Pandan Wangi dalam hatinya. Sungguh! Ia merasakan lebih mudah bertempur di bawah seratus kelebat pedang di Pedukuhan Janti jika dibandingkan dengan keadaan yang dihadapinya sekarang, di depan Agung Sedayu.
“Kakang,” kata Pandan Wangi akhirnya, “dukun bayi itu mengatakan pada ayah bahwa mungkin kelahiran putra Kakang akan terjadi lebih cepat.”
“Oh!” Agung Sedayu mengeluarkan seruan tertahan. Sejenak ia membeku lalu mengusap dagu dan kepala. Kemudian ia mengedarkan pandang mata. Tampak olehnya kesibukan-kesibukan yang belum mereda. Sedangkan dari langit Pedukuhan Janti pun masih membara. Walau pun dalam hatinya ada keinginan untuk segera menghamburkan diri ke rumah Ki Demang, tetapi ia segera menguasai perasaannya. Dalam waktu itu ia berkata singkat, “Beginilah.”
Pandan Wangi menautkan alisnya. Ia hanya mampu memandang Agung Sedayu yang menundukkan wajah dalam-dalam. Ia mengerti bahwa senapati pilih tanding benar-benar dalam keadaan sulit. Berita bahwa Sekar Mirah akan memasuki persalinan tentu mengguncang pikirannya. Sedangkan Agung Sedayu adalah detak jantung pertahanan Sangkal Putung. Bilamana Raden Atmandaru menjatuhkan perintah menerjang kademangan, lalu bagaimana mereka menghadang air bah yang segera memenuhi tanah air mereka? Pandan Wangi memandangnya sebagai peristiwa mengerikan apabila Agung Sedayu tidak dapat mengendalikan diri. Setelah belasan tahun mengarungi pernikahan tanpa suara dan tangis bayi, lalu hari demi hari dijalani dengan harapan besar bahwa Yang Maha Sempurna memberi anugerah, maka jika malam itu adalah malam kelahiran anaknya, apakah itu berarti malapetaka? Pandan Wangi tidak sanggup melanjutkan jalan pikirannya yang seperti itu.
“Saya tidak mengerti maksud Kakang.”
“Mudah-mudahan aku dapat melihat keadaan Sekar Mirah,” kata Agung Sedayu, “sebenarnya sebelum engkau datang ke tempat ini, aku berniat untuk menengok mereka berdua. Namun Pedukuhan Janti telah memaksaku untuk menunda niat itu. Lantas, engkau kabarkan padaku tentang Sekar Mirah dan anaknya.” Agung Sedayu diam sejenak, kemudian lanjutnya, “Pandan Wangi, bukankah usia jabang bayi itu belum genap sembilan bulan?”
“Benar, Kakang. Tetapi itu perhitungan yang berdasarkan perkiraan kita sendiri. Kita menghitung berdasarkan pengakuan dan keadaan yang terjadi pada diri mbokayu. Sementara Yang Maha Sempurna mempunyai ketepatan yang mengagumkan.”
Pandan Wangi berkata demikian supaya Agung Sedayu tetap melandaskan perasaan dan pikirannya pada nilai tertinggi.
Di tengah gelisah yang bergemuruh melanda hati dan pikiran, Agung Sedayu seolah menemui kebuntuan untuk mengurai siasat perang yang akan digelarnya. Antara meninggalkan banjar pedukuhan atau sekedar menengok Sekar Mirah? Walau rentang jarak dari banjar ke rumah Sekar Mirah tidak terlalu jauh, tetapi dalam peperangan, perubahan dapat terjadi secepat mata berkedip. Dan itu yang tidak dikehendaki Agung Sedayu. Ia tidak ingin melewatkan setiap laporan karena musuh yang berada di balik lindungan gelap adalah orang yang penuh rahasia. Terlebih bila pedukuhan induk tiba-tiba diterjang oleh air bah berupa serbuan pengikut Raden Atmandaru, lalu bagaimana ia dapat membela diri di hadapan orang-orang Sangkal Putung? Meski tidak bakal ada kata-kata tajam untuknya, tetapi Agung Sedayu tahu diri.
“Wangi, pada awalnya aku ingin berada di Pedukuhan Janti bersama Ki Gatrasesa. Dan engkau menggantikan kedudukanku di sini. Meski aku belum dapat laporan dari dua pedukuhan yang mengapit pedukuhan induk, itu tidak berarti kita aman berada di sini.” Agung Sedayu mengatakan itu karena tidak mungkin baginya memberi perintah pada Panda Wangi agar pergi ke Janti mendampingi Ki Gatrasesa. Tidak pula baginya dapat membiarkan Ki Jagabaya mengendalikan peperangan dari pedukuhan induk.