Swandaru memandang wajah Sayoga dengan gemas. Ia mencoba membandingkan sikap Sayoga dengan anak-anak muda Sangkal Putung yang kerap bergaul dengannya. Tubuh Sayoga terlihat lebih lemah dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya, oleh karena itu Swandaru bertanya-tanya dalam hatinya, “Banyak pengawal Menoreh yang lebih kekar dan kuat dibandingkan anak ini. Tak sedikit dari mereka yang menguasai olah kanuragan, tetapi, mengapa Ki Gede justru mengirimkannya ke Sangkal Putung? Mungkin aku bisa menerima seorang anak muda bila ia bernama Sukra. Bagaimanapun, Sukra mempunyai dasar-dasar yang jauh lebih baik.” Swandaru tidak berpikir tentang Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang melakukan penyamaran di sebuah tempat, sabrang wetan, Surabaya tepatnya.
“Apa engkau siap bertempur di Gondang Wates?” tanya Swandaru kesal. Hingga sejauh itu, ia masih belum juga mendapatkan yang diharapkannya.
Sayoga mengerti bahwa Swandaru sedang jengkel padanya, lantas menjawab, “Wilayah yang tidak begitu menarik jika dibandingkan dengan Watu Sumping. Ki Swandaru, pasukan lawan telah mencapai pertengahan jalan menuju Gondang Wates. Dan setengah langkah lagi, mereka akan tiba di sini. Mengapa Ki Swandaru ingin bergegas ke tempat itu?”
“Aku sedang tidak ingin ribut denganmu. Jangan membuat panjang persoalan!” sergah Swandaru. “Gondang Wates dapat dipikirkan kemudian. Jika engkau takut meninggalkan pedukuhan induk, mengapa memaksaku dengan mengatakan yang bukan-bukan?”
“Saya tidak mengatakan yang bukan-bukan. Saya sudah siap bertempur di segala tempat, tapi mengapa Ki Swandaru justru bertanya tentang kesiapan saya? Karena saya ingin menjawab tidak siap, maka saya minta Ki Swandaru berpikir juga tentang Gondang Wates. Setengah hari lagi mungkin padukuhan induk akan jatuh ke tangan mereka. Setidaknya, untuk sementara waktu ini, Ki Swandaru dapat melihat keadaan pengawal yang terluka di banjar.”
“Jangan menggurui aku! Dengar baik-baik. Kalian semua, dengarkan aku baik-baik. Ini perintah. Ini adalah kata-kata yang diucapkan oleh pemimpin tertinggi pengawal kademangan., tidak boleh ada wilayah yang jatuh ke tangan musuh. Kita harus dapat merebut Janti dan Watu Sumping,” ucap Swandaru dengan nada tinggi. “Sekarang adalah waktu bagi kalian untuk bersiap. Jika ada yang belum dapat menerimaku sebagai pemimpin, majulah. Kita selesaikan.”
“Watu Sumping belum jatuh ke tangan musuh!” tegas Sayoga.
Pikiran Sayoga melayang ke pertempuran Lemah Cengkar. Ia terlibat dalam perebutan tongkat Ki Sumangkar, guru Sekar Mirah. Ia seolah melihat kedatangan Swandaru dari belakang orang-orang Perguruan Kedung Jati. perguruannya. Apakah benar yang diucapkan Ki Swandaru? Bagaimana bila ia berbalik arah? Sayoga maju selangkah. “Saya adalah orangnya. Sikap Ki Swandaru tidak menambah semangat juang kami.”
“Tarik senjatamu,” kata Swandaru dingin.
“Buat apa? Mengapa Ki Swandaru justru berniat menghabiskan tenaga di tempat ini? Bila memang ingin menemui Nyi Pandan Wangi, segeralah berangkat. Bila ingin mempertahankan Gondang Wates, buatlah rencana pembebasan.”
“Lancang! Seperti apa engkau ini? Bicaramu terlalu besar. Engkau adalah orang yang patut disalahkan jika aku menghukummu! Seru Swandaru lalu melayangkan tangan pada Sayoga.
“Ki Swandaru yang harus dipersalahkan,” kata Sayoga sambil melompat surut “Baiklah, sepertinya aku tidak perlu menaruh hormat lagi padamu, Swandaru!”
“Ini tidak akan menyenangkan bagimu.”
“Tidakkah kita dapat menahan diri sejenak?” Dharmana tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka berdua. Atas perintah Bunija, seorang pengawal pergi ke banjar dan memberitahukan bahwa sedikit kericuhan terjadi di sudut jalan dekat rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Swandaru mendengus marah. Raut wajahnya benar-benar padam dengan tatapan mata menyala-nyala pada Sayoga. Sekejap kemudian, kata Swandaru, “Katakan itu padanya.” Ia mengacu telunjuk ke arah Sayoga.
“Kakang,” kata Sayoga. “Saya tidak bermaksud membuat Ki Swandaru marah.” Kemudian Sayoga melnghampiri Swandaru, ucapnya, “Saya bersalah, nohon Ki Swandaru memaafkan.”
“Tidak ada yang bersalah, tetapi aku sadar telah membuatmu kesal, maafkan Kakang,” sahut Swandaru sambil mencoba mendekatkan diri lebih baik pada Sayoga. Ia tahu Sayoga menyebutnya ‘Ki’ di hadapan pengawal meski kerap memanggilnya ‘Kakang’ di Tanah Perdikan.
“Aku tahu,” ucap Dharmana ditujukan pada Sayoga, lalu berpaling pada Swandaru, katanya, “Kita selesaikan semuanya bila keadaan benar-benar kembali wajar. Ataukah Ki Swandaru mempunyai pertimbangan lain?”
“Beri aku waktu sebentar,” jawab Swandaru bernada datar tetapi ucapannya dapat mencairkan ketegangan.
“Sayoga,” kata Dharmana.
“Saya, Kakang.”
“Ki Swandaru telah memberi maaf. Dapatkah engkau cukupkan di sini?”
“Saya, Kakang.”
Dengan kehadiran Dharmana, maka Bunija dan pengawal yang lain dapat memaklumi bahwa Dharmana telah menyerahkan kembali kendali keamanan pada Swandaru, walau tidak diucapkan secara terang dan langsung.
Dharmana dengan singkat memaparkan perkembangan keadaan lalu melanjutkan dengan rencana yang tersusun dalam pikirannya. Dari penjelasan Dharmana, Swandaru dapat mengetahui lebih gambling tentang keadaan di Jagaprayan dan Gondang Wates, termasuk kehadiran Ki Garu Wesi. Dada Swandaru bergemuruh ketika nama Ki Garu Wesi disebut oleh Dharmana. Geramnya, ia adalah orang yang bertanggung jawab atas hilangnya kitab Kiai Gringsing. Setelah merenung untuk beberapa lama, Swandaru meminta para pengawal yang ada di dekatnya untuk berkumpul. Penjabaran siasat yang dikemukakan olehnya begitu padat tetapi semua orang mengerti.
“Aku belum mengerti, bagaimana Ki Swandaru dapat mengetahui rincian keadaan begitu cepat?” Sayoga bertanya pada hatinya. Nalarnya yang tajam dapat menduga bahwa ada kejadian ganjil yang melibatkan Swandaru. Walau demikian, Sayoga tidak mengungkap pendapatnya pada orang lain. Baginya, keadaan telah menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan ia tidak ingin menambah kerumitan baru sebagai akibat dari dugaannya.
Setelah menimbang keberadaan Raden Atmandaru dan Nyi Gandung Jati yang diperkirakan masih gentayangan di pedukuhan induk, Swandaru menugaskan Sayoga untuk mendampingi Pandan Wangi di Jagaprayan. Bunija bertugas sebagai penghubung antara Dharmana dan Sayoga. Swandaru memutuskan untuk berhadapan dan beradu muka secara langsung dengan Ki Garu Wesi. Untuk pengendalian pertahanan dan keamanan pedukuhan induk, Swandaru meminta Dharmana agar lebih kerap berhubungan dengan Ki Demang atau Ki Gede Menoreh.
Demikianlah, para pengawal Sangkal Putung mendapatkan perintah berantai dari Swandaru. Mengingat Agung Sedayu belum kembali ke pedukuhan induk, maka rancang bangun pertahanan yang disusunnya tetap dijalankan sesuai petunjuk Ki Gede Menoreh
Sementara waktu, di jalanan kecil yang membelah lereng Merapi, tubuh Agung Sedayu terkulai di atas punggung kuda. Keadaan senapati Mataram itu belum beranjak sadar semenjak ia dibawa pergi dari gelanggang perkelahian di Slumpring.
Sekali-kali penunggang kuda di sampingnya menoleh dengan pandangan mata selidik. Kelegaan belum pergi dari hatinya karena daya tahan Agung Sedayu masih cukup baik untuk meneruskan perjalanan tanpa henti. Dalam waktu itu, menurut perkiraannya, bila ada yang mengikuti mereka maka orang itu tidak akan bertahan lama dalam pengejarann. Jejak-jejak telah disamarkan. Ia membawa Agung Sedayu keluar dari jalan-jalan yang lazim dilewati orang. Dua ekor kuda pun ditempatkannya pada lahan yang sulit dan hampir mustahil terjangkau oleh pengembara atau orang-orang yang tinggal sedikit menjorok ke dalam hutan.
Sejenak ia mengingat perkelahian dahsyat yang terjadi sebelumnya. Sedikit pertanyaan terlintas dalam benaknya, bagaimana kekebalan senapati pasukan khusus itu dapat ditembus oleh senjata? Dari orang yang dianggapnya sebagai guru, ia mengetahui bahwa sumber kekebalan Agung Sedayu berasal dari air yang merembes di dalam gua. Selain itu, Pangeran Benawa memegang peran penting dalam mempertajam kekebalan Agung Sedayu. Namun ia tidak mempunyai perkiraan atau dugaan bahwa senjata itu adalah Kiai Plered. Seandainya ia mengikuti perkelahian dari awal, mungkin pertanyaan itu tidak pernah muncul dalam pikirannya. Secara sederhana, ia hanya mentaati perintah agar berada di wakatu dan tempat yang telah ditunjukkan oleh gurunya. Dalam keadaan demikian, ia sadar dan bersyukur bahwa gurunya adalah orang linuwih yang tersembunyi dari pengamatan umum.
Mereka berderap menuju padepokan kecil yang terletak di sisi sungai yang membelah hutan kecil yang dipenuhi pohon jati.
Ia berkata pada Agung Sedayu, meski senapati itu tidak dapat mendengarnya, “Dari semula aku tidak dapat mengerti perintah Guru. Dan aku tidak melihat adanya racun yang beredar di dalam tubuh Anda, itu akan menjadi urusan Guru. Semoga Yang Maha Sempurna tidak melepas tangan-Nya agar keadaan tetap terjaga baik.” Pikirannya kembali pada perkelahian di Slumpring. Desisnya dalam hati, “Sebenarnya aku muak dan enggan bila diperintahkan untuk turut terlibat dalam pertikaian kalian. Namun guruku adalah orang yang baik, maka sulit bagiku untuk mengusik perasaannya.”