Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 42

Satu-satunya harapan yang digantungkan oleh Ki Demang adalah kedatangan seseorang. Untuk beberapa waktu bilik Sekar Mirah tidak memperdengarkan suara orang bercakap. Setiap kali terdengar langkah mendekat, Ki Demang berharap itu adalah Pandan wangi atau Ki Gede Menoreh. Jantung Ki Demang semakin cepat berderap ketika Swandaru bangkit dari tempat duduk. Air mata Ki Demang hampir menetes keluar. Hampir mengaliri garis-garis keriput yang terukir jelas di bawah kelopak matanya.

Dan seperti seorang yang berada di sudut kesedihan, Ki Demang merasa terhempas dari puncak harapan.

“Ki Demang,” suara lembut menembus dinding bambu bilik Sekar Mirah.

Suara yang sangat dikenalnya. Suara yang sangat diharapkannya. Kekuatan Ki Demang tiba-tiba menghentak dari kedalaman. Walau terperanjat, ia dapat menyembunyikan kebahagiaan. “Ki Gede?” bisik hati Ki Demang.

loading...

Keadaan yang berlainan dialami oleh Swandaru. Lelaki yang disegani di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu seolah kehilangan kekuatan. Tungkai lututnya menjadi lemas. Ia membuang diri ke samping ketika bayangan seseorang terlihat mendekat dan hampir mencapai pintu bilik Sekar Mirah.

“Ayah,” kata Swandaru lirih.

Sejenak kemudian Ki Gede Menoreh telah berada di ambang pintu. Ia memperhatikan suasana di dalam bilik. Ki Gede mendadak merasa gelisah  ketika melihat bahwa keadaan di dalam ternyata cukup jauh dari yang dibayangkannya semula. Perlahan ia berjalan mendekati Ki Demang setelah memperhatikan keadaan Sekar Mirah dan bayinya. Kata Ki Gede, “Ki Demang, saya sedikit merasa ada yang janggal. Apakah Ki Demang berkenan untuk memberi tahu saya?”

Swandaru mendengar ucapan ayah mertuanya, tetapi ia telah berketetapan hati. “Ayah, saya mohon maaf bahwa saya tidak dapat menemani Ayah lebih lama. Sesuatu harus segera saya kerjakan di kademangan.”

“Meski aku ingin menanyakan kabar Pandan Wangi?” ucap Ki Gede dengan nada Tanya.

“Itulah permasalahannya, Ayah. Ia sedang tidak berada di pedukuhan induk. Saya segera menengok keadaannya di Jagaprayan. Saya mohon diri.” Alasan yang tepat! Gagasan cemerlang tiba-tiba datang menjadi penyelamat Swandaru yang nyaris meringkuk di depan ayah mertuanya.

Kening Ki Gede tampak berkerut. Ia memandang Swandaru yang menundukkan wajah dengan hati penuh pertanyaan. Katanya kemudian, “Sikapmu justru membuatku semakin resah. Aku merasakan sesuatu sedang terjadi.” Sambil memegang lengan Ki Demang, Ki Gede berkata, “Ki Demang, bukan dengan niat untuk mendahului Anda atau bersikap dursila dengan tidak memandang wajah Anda sepenuhnya, tetapi saya ingin bertanya.”

Kitab Kiai Gringsing Buku 1 – PDF

“Saya mohon diri,” kata Swandaru ditujukan pada tiga orang di dalam bilik. Sekejap kemudian ia melangkah keluar dari bilik, menuju pendapa untuk bergabung lagi dengan Raden Atmandaru dan Nyi Gandung Jati. Kegeraman dan bimbang, secara bersamaan, benar-benar memenuhi hati Swandaru. Bagaimana ia dapat memenuhi ucapannya tentang penyerahan Sangkal Putung? Dan tiba-tiba ia sadar bahwa ucapannya hanya gertakan yang sebenarnya tidak perlu diutarakan. Mengapa ia menjadi begitu bodoh? Namun, akankah waktu berulang untuk memberinya kesempatan? Hatinya berdengung dan menggaung sangat keras!

“Sebenarnya, apa yang sedang aku lakukan? Menyerahkan Sangkal Putung pada orang asing? Oh, bagaimana aku dapat mengatakan itu pada Ayah di depan Sekar Mirah?” Untuk mengendapkan gejolak perasaannya sendiri, Swandaru menghentikan langkah lalu bersandar pada tiang penyanggah pringgitan.

Dalam waktu itu, di bilik Sekar Mirah.

“Angger Swandaru benar-benar membuatku resah,” ucap Ki Gede sambil menatap arah kepergian Swandaru. Sejenak ia memalingkan wajah, berhadapan kembali dengan Ki Demang, lalu katanya, “Apa  yang sedang terjadi padanya?”

Ki Demang menghela napas panjang sambil mengucap syukur dalam hati. Kemudian berkata dengan nada lirih, “Angger Swandaru sedang digerakkan oleh kekuatan yang tidak dapat kita mengerti. Mungkin Ki Gede masih ingat peristiwa Lemah Cengkar. Mungkin kita semua sdang berada dalam pengulangan peristiwa. Hanya saja, kali ini, mungkin dapat menjadi lebih buruk.”

Sekar Mirah lekat menatap dua lelaki sepuh di hadapannya, kemudian bertanya pada Ki Gede, “Bagaimana Ki Gede dapat mencapai pedukuhan induk? Sedangkan Pedukuhan Janti telah jatuh di tangan pemberontak.”

“Tanah Perdikan mengirim sejumlah orang sebagai penghubung dan petugas sandi. Merekalah yang memberi tahu kami mengenai keadaan yang berkembang di Janti dan wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Tanah Perdikan. Dan juga, Ki Lurah Sanggabaya telah melaporkan peristiwa di Jati Anom. Bersama Ki Sanggabaya juga, kami dapat menyiapkan pertahanan di sana. Seorang prajurit dari barak pasukan khusus menjadi penunjuk jalan untukku hingga aku dapat tiba di sini dengan selamat,” terang Ki Gede.

“Lega mengetahuinya, Ki Gede”, ucap Sekar Mirah. Ki Demang pun menyiratkan ketenangan dari sorot matanya.

”Aku rasa andaikan kekuatan, yang Ki Gede katakan, dapat dipindahkan ke Sangkal Putung. Namun itu adalah keadaan yang sulit dilakukan,” kata Ki Demang lalu menutupnya dengan helaan napas panjang. Kemudian dengan singkat, Ki Demang Sangkal Putung memberikan keterangan yang terkait dengan perubahan sikap Swandaru. Pada saat demikian itu, Ki Gede benar-benar merasakan bahwa keterangan Ki Demang begitu ganas meremas hati dan jantungnya. Ketegangan dan derasnya darah yang mengalir benar-benar tergambar jelas pada raut wajah Ki Gede Menoreh. Ia hanya dapat menatap Ki Demang Sangal Putung dan Sekar Mirah bergantian tanpa mengucap kata.

Walau perasaan Ki Gede belum luluh lantak karena penjelasan itu, suaranya bergetar ketika mengatakan, “Ki Demang. Saya mohon maaf sebesarnya. Barangkali sikap angger Swandaru juga berawal dari perbuatan atau keputusan saya yang sebenarnya tidak mendapat perkenan darinya. Atau mungkin juga, sikap Angger Wangi selama ini tidak memberikan kesan yang baik pada angger Swandaru. Sebagai ayah Pandan Wangi, saya mohon Ki Demang dan Angger Mirah dapat memaafkan Pandan Wangi.”

“Oh tidak, tidak, Ki Gede,” kata Ki Demang sambil terburu-buru menahan sepasang tangan Ki Gede yang telah tertangkup. “Ki Gede boleh merasa bersalah karena sikap itu. Tidak, Ki Gede. Justru saya dan seluruh keluargaku serta orang-orang Sangkal Putung yang mungkin telah menempatkan angger Swandaru dalam kesulitan yang tiak terbayangkan sebelumnya. Barangkali kami telah memberinya tuntutan yang tanpa kami sadari telah muncul dari ucapan dan perbuatan-perbuatan kami sebelumnya. Bahkan kademangan ini, kami tidak dapat melindungi angger Pandan Wangi yang berada di Jagaprayan seorang diri. Untuk itu, kami mohon kelapangan Ki Gede.”

Ki Gede tersenyum lebar kemudian berkata, “Pandan Wangi akan mampu melewati semua dengan baik. Saya akan meminta penjelasan dari pengawal kademangan setelah perbincangan ini. Dan, baiklah, Ki Demang, saya rasa Ki Demang juga setuju bahwa sekarang kita berada pada bagian-bagian terlemah sebagai pelaku kehidupan. Kita tidak dapat mengendalikan keinginan seseorang, menguasai keadaan yang di dalamnya juga melibatkan orang lain meski anak kita sendiri. Saya berharap Ki Demang juga menyediakan kelapangan agar kita dapat bahu membahu mengatasi persoalan yang ada saat ini.”

Mbokayu memegang kendali keamanan di Gondang Wates tanpa didampingi salah satu kepala pengawal kademangan, Ki Gede,” Sekar Mirah menerangkan segala yang didengarnya setelah berupaya keras mengumpulkan potongan-potongan kejadian yang dilaluinya setengah sadar.

Ketika mengingat dua orang yang dilihatnya di pendapa, Ki Gede bertanya, “Jadi, berdasarkan keterangan Ki Demang, apakah dua orang di pendapa itu adalah Raden Atmandaru dan perempuan penjerat angger Swandaru?” Nada gemas terpancar dari suara Ki Gede Menoreh.

“Benar.”

“Aku akan menemui mereka.”

“Tahan, Ki Gede,” tiba-tiba Sekar Mirah bersuara. Ia mengungkapkan alasan, “Bila mereka dapat mengenali Ki Gede sebagai pemimpin Menoreh, apakah kita sudah mendapatkan gambaran mengenai rencana mereka? Saya pikir lebih baik Ayah yang tetap menemui mereka bila dirasa perlu. Keberadaan Ki Gede lebih baik tetap ditutup dari penglihatan mereka, kecuali Kakang Swandaru benar-benar telah menjadi orang bodoh.”

“Bagaimana, Ki Demang?”

Sejenak Ki Demang mematung diri. Lalu ucapnya pendek, “Setuju.”

Wedaran Terkait

Merebut Mataram 9

kibanjarasman

Merebut Mataram 8

kibanjarasman

Merebut Mataram 70

kibanjarasman

Merebut Mataram 7

kibanjarasman

Merebut Mataram 69

kibanjarasman

Merebut Mataram 68

kibanjarasman

2 comments

Farid Srijanto 22/09/2021 at 19:53

Kemana dan dimana Glagah Putihutih dan Rara Wulan ?

Reply
kibanjarasman 26/09/2021 at 14:27

terima kasih atas perhatian Ki Sanak.
Dua tokoh di atas tidak disinggung pada awal hingga bagian ini agar kisah tidak terlalu panjang. 🙂

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.