Ki Hariman masih sibuk mengukur kekuatan sesungguhnya dari Nyi Ageng Banyak Patra. Menurutnya, jika ada satu-satunya orang yang sanggup menghentikannya, maka itu adalah musuhnya. Pertarungan hebat yang tidak membutuhkan waktu lama menunjukkan bahwa Nyi Ageng Banyak Patra mempunyai kemampuan yang tidak terduga sebelumnya oleh Ki Hariman. Segenap ilmu dan kekuatan Ki Patih Mandaraka telah dipelajari seksama oleh orang-orang kepercayaan Raden Atmandaru, dan oleh Ki Hariman, pembahasan kelemahan dan kekuatan Ki Patih Mandaraka sangat membantunya.
Sejenak Ki Hariman merasa bahwa Nyi Banyak Patra memiliki tata gerak olah senjata yang lebih unggul darinya. Bagaimana ia dapat membuat kain dapat menjadi kaku dalam bentangan? Itu tidak diajarkan oleh Kiai Gringsing dalam kitabnya. Lalu mengubah sifat keras menjadi lunak? Menurut Ki Hariman, pandangan mata Nyi Banyak Patra terlihat bahwa sesungguhnya perempuan senja itu telah mampu mengolah keadaan jiwani.
“Ki Juru,” kata Ki Hariman,” engkau dapat menghemat tenaga dan menyelamatkan banyak orang bila pikiranmu lepas. Aku tahu bahwa selama ini engkau berada di bawah tekanan dan bayang-bayang Danang Sutawijaya. Sudah barang tentu engkau akan membantah ucapanku, bukan? Tapi, siapa yang dapat melihat isi hatimu?”
Tiba-tiba Nyi Ageng Banyak Patra menyela, “Apakah aku mendengar sebuah suara? Apakah benar suara tadi berasal dari jerit hati putus asa?”
“Wedhus! Perempuan dursila! Simpan ucapanmu itu!” Ki Hariman geram berkata. Itu adalah tikaman baginya. Bagaimana perasaan seperti dirinya mendapatkan kata-kata yang kasar dari perempuan yang tidak dikenal?
“Orang banyak mengeluh karena pelayanan Panembahan Hanykrawati yang kurang baik dan jauh dari kata memadai. Orang banyak meresahkan keseharian karena perapian yang suram di dapur-dapur mereka. Ki Sanak, aku mendengar burung-burung bersuara tentang Ki Sanak sebenarnya. Ranting-ranting pohon bercakap-cakap tentang sikap orang-orang yang menyertai kalian. Ki Sanak tentu tidak seorang diri hingga cukup berani menghadang perjalanan orang-orang kami. Aku tak lagi perlu bertanya mengenai hal itu, bagiku, segalanya begitu benderang dan seterang matahari pagi.” Nyi Ageng Banyak Patra mengucapkan itu dengan bahasa tubuh yang anggun. Lanjutnya kemudian, “Aku pikir penglihatan majikanmu memang kurang baik karena sering bekerja dalam gelap.”
“Itu adalah kewajaran,” kata Ki Hariman. “Orang-orang mempunyai hak untuk berkeluh kesah tetapi ke mana akan mengadu? Raden Mas Jolang terlalu sibuk dengan yang kalian sebut sebagai pemberontakan.” Sorot mata Ki Hariman lantas berpindah pada Ki Patih Mandaraka. Pembantu dekat Panembahan Tanpa Bayangan mengarahkan ucapan, “Bagaimana seorang pemimpin dapat keluar dan masuk dari pintu belakang? Apakah ia tidak lupa untuk selalu mencuci kaki bila usai bepergian? Ki Juru, orang yang memimpin Mataram sekarang ini bukanlah orang tahu tempat menaruh alas kaki. Sembrono dan tidak pernah berhitung dalam setiap keputusannya. Untuk itulah, aku katakan bahwa engkau sesungguhnya sedang berada di bawah tekanan.”
Ucapan liar Ki Hariman menjadi sebab Ki Patih menempuh jalan pikiran yang masuk akal. “Sebenarnya aku ingin menunggu hasil akhir gerakan kalian. Aku tidak ingin mengangkangi Wayah Panembahan dalam hal membereskan kalian. Mungkin kau benar bila berpikir tentang Raden Atmandaru adalah urusan yang sulit bagiku.”
“Sebagai orang yang terbiasa mencuci wadah makan Danang Sutawijaya, untuk sekarang, engkau dapat kembali ke rumah lalu menyiapkan jalan bagi tuan kami,” kata Ki Hariman, “engkau juga dapat membuka jalan di sekitar pintu belakang.”
“Ki Sanak, aku ingin melihat hasil akhir siasat yang telah kalian rencanakan begitu lama. Aku akan duduk di tepi sungai sambil membiarkan kulit keriput ini bermain air,” kata Ki Patih Mandaraka lirih. Sikap tubuh dan paras wajahnya menunjukkan kesungguhan.
Diam-diam Nyi Ageng Banyak Patra merundukkan perasaan, begitu kagum pada cara Ki Patih Mandaraka yang sedang mengoyak pertahanan jiwani Ki Hariman melalui kata-kata dan bahasa tubuh.
“Aku melihat banyak tombak dan anak panah yang bergantung di kaki langit Mataram. Apakah aku salah melihat? Ki Juru, Raden Atmandaru adalah lelaki bagus, sangat mumpuni untuk menggantikan Raden Mas Jolang. Bahkan, aku tidak ragu dengan kejayaan Mataram walau mereka bertukar tempat esok pagi. Namun, penglihatanku mendadak dipenuhi dengan awan gelap. Aku tidak lagi melihat kemilau senjata keramat di dalam gedung pusaka. Bintang-bintang beralih rupa menjadi serpihan yang tersembunyi di balik selongsong senjata.”
“Dan engkau terus bekerja,” ucap Ki Patih Mandaraka. “Ki Sanak, kalian begitu rapi ketika menyalakan api. Tanpa asap dan abu yang memenuhi udara di pedukuhan serta dusun-dusun. Mataram mungkin lelap dalam tidurnya hingga banyak orang yang berlarian ke sana dan ke sini.”
“Ki Juru Martani,” Ki Hariman menyebut nama lawan bicaranya. “Berpikirlah sebentar tentang seekor lembu muda yang terawat baik di sebuah kademangan.” Kemudian ia mengatupkan bibirnya beberapa lama, lanjutnya, “Kami telah menguasai jalan yang lebih baik untuk menata pemerintahan. Yang Mulia Ki Patih Mandaraka, apakah Anda bersedia bergabung dengan kami atau melanjutkan pertarungan ini?”
Asap perapian menyembul keluar dari celah jendela dan mulai terlihat jelas, pikir Nyi Ageng Banyak Patra. Menyimak ucapan-ucapan bersayap dari Ki Hariman, Nyi Banyak Patra berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya bila ia berkeras meringkus Ki Hariman. Ada yang lebih penting untuk dirundingkan bersama keponakannya, Panembahan Hanykrawati. Meski ia belum mendapatkan laporan resmi dari Kepatihan atau petugas sandi keraton, Nyi Banyak Patra dapat memastikan kemampuan orang-orang di sekitar Raden Atmandaru. Atas alasan itu pula, ia memerintahkan Kinasih bergerak menuju Slumpring, menyelamatkan Agung Sedayu lalu menunggu waktu untuk pijakan yang lebih kuat.
“Apakah Mataram cukup tegak jika hanya bersandar pada Ki Patih dan para senapati? Sangkal Putung sedang terguncang karena jiwani Swandaru yang mudah goyah, dan itu berarti satu pilar belum dapat ditegakkan kembali,” desis Nyi Banyak Patra dalam hati. Ketika ia melihat Ki Patih Mandaraka termenung dalam ruang pikiran, Nyi Banyak Patra membuat keputusan, katanya, “Ki Sanak, engkau adalah lawanku ketika Ki Patih Mandaraka beralih tempat. Maka, tidak ada lagi pertarungan pada malam ini. Keputusan ini akan diikuti oleh Ki Patih beserta orang-orang lain.”
Ki Patih Mandaraka menatap putri Ki Ageng Pemanahan penuh dukungan, kemudian berpaling pada Ki Hariman sambil berkata, “Kembalilah segera pada orang yang menyuruhmu dan mengikutimu. Aku berada di belakangnya untuk menghentikan perkelahian di sini. Sebaiknya engkau tidak bersikap bodoh, Ki Sanak.”
“Tidak perlu risau atau khawatir, Ki Juru Martani. Aku sungguh-sungguh memperhatikan ucapan perempuan itu,” kata Ki Hariman sambil merasakan kelegaan memenuhi rongga dadanya. Ia dapat mengerti dari tatap mata tiga utusan Ki Patih Mandaraka yang sedang mengalami lonjakan juang yang sangat hebat. Mereka penuh percaya diri. Ini, membahayakan, pikir Ki Hariman. Dengan penuh ketenangan dan rasa penuh kemenangan, Ki Hariman berbalik arah sambil berkata, “Waktunya semakin dekat. Jaga diri kalian baik-baik!”
Banyak mata memandang punggung Ki Hariman yang berkelebat sangat cepat lalu menghilang. Para pengikut Raden Atmandaru yang tertahan menyumpahinya sebagai lelaki pengecut. Namun, mereka juga disergap kengerian yang cukup dalam mengingat hukuman yang akan dijatuhkan Mataram. Walaupun demikian, hanya para tawanan yang terasa tercekam. Selain mereka, dengan gemuruh yang bergejolak di hati masing-masing, Sukra dan dua senapati Mataram hanya dapat melihat pemandangan yang benar-benar menganggu : keadaan yang porak poranda sangat hebat di sekitar gelanggang pertempuran. Bumi tersibak. Pepohonan tumbang membujur lintang dan senjata-senjata yang tergeletak telanjang.
“Kita mempunyai waktu yang cukup sedikit bila bertumpu pada ucapan orang itu,” kata Ki Patih Mandaraka pada Nyi Ageng Banyak Patra dalam perjalanan pulang menuju Kepatihan.
Kini mereka tiba dalam tahap pemecahan masalah yang mengancam kelangsungan hidup Mataram. Kehadiran Panembahan Hanykrawati dibutuhkan agar tekanan Raden Atmandaru dapat terurai. Ketiadaan Agung Sedayu di tengah-tengah mereka cukup membawa persoalan tersendiri. Seandainya Agung Sedayu dapat pulih lebih cepat atau setidaknya mereka mendengar kabar tentang senapati tangguh itu, Mataram dapat menjadi lebih kuat.
Mereka berlima berada di ruang utama Kepatihan setelah masing-masing mendapat waktu membenahi diri dan mengurus tahanan.
“Apa yang dilakukan muridmu dalam waktu-waktu seperti ini?” tanya Ki Patih Mandaraka seusai mendengar penuturan Nyi Ageng Banyak Patra.
“Mereka berdua tentu tidak dalam keadaan terpaku, Paman. Kinasih dapat berpikir mengenai cara agar dapat terhubung dengan kita yang berada di kotaraja…atau, barangkali anak muda ini, Sukra, dapat menjadi penghubung kita dengan Agung Sedayu di Pajang,” jawab Nyi Banyak Patra.