Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 66

Kelebat Ki Hariman tidak lepas dari pandangan Ki Patih Mandaraka, tetapi sesepuh Mataram ini membiarkannya pergi. Namun demikian, ia menyadari bahwa tiga pasang mata sedang menatapnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memang membutuhkan jawaban. Lantas, Ki Patih Mandaraka bergeser tempat, dengan suara lirih, katanya, “Kita belum tahu maksud sebenarnya dari orang itu. Apakah ia akan kembali bertempur untuk kepentingan Raden Atmandaru atau meneruskan hasrat pribadinya?”

Dalam pikiran Ki Lurah Plaosan, ucapan Ki Patih Mandaraka yang memilih kata ‘kita’, menimbulkan kesan yang cukup mendalam. Baginya, ini adalah cara patih Mataram itu untuk menghargai kemampuan dan peran setiap orang yang terlibat dalam perkelahian yang dimulai sebelum senja. “Sebenarnya cukup Ki Patih seorang diri dan aku yakin orang itu akan kalah. Namun, ’kita’ benar-benar membuatku tidak sendiri. Semoga Ki Demang Brumbung berperasaan sama denganku, dan anak muda itu semakin bersemangat,” desis Ki Plaosan dalam hati.

Sambil tetap mengawasi pertarungan hebat yang terjadi di sekitar mereka, Ki Demang Brumbung bertanya, “Apakah itu bukan berarti menambah jumlah orang yang berbahaya bagi Mataram, Ki Patih?”

“Ki Demang,” kata Ki Patih Mandaraka, “lawan Nyi Ageng Banyak Patra sudah barang tentu tidak berada dalam lapis yang sama dengan kebanyakan orang. Maksudku, bukan berarti kita berempat tidak dapat mengalahkannya, tetapi ada waktu yang tepat untuk meringkusnya. Maka dari itu, bila kita turun tangan, lalu dan ternyata ia hanya bermusuhan secara pribadi dengan Nyi Banyak Patra, bagaimana kita dapat terlalu jauh mencampuri urusannya? Terlebih, Nyi Banyak Patra belum meminta pertolongan pada kita. Lantas, bagaimana engkau dapat menjawab pertanyaannya? Bila Nyi Banyak Patra keberatan, namun kita terlanjur membunuh orang itu, aku pikir, sepertinya, sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri karena membunuh orang yang tak bersalah.”

loading...

“Ki Patih, sudah tentu ia bersalah karena sepak terjangnya pada malam ini,” kata Sukra dengan nada gusar yang tertahan dalam dadanya.

“Penilaian itu karena orang itu bertempur untuk kepentingan yang berbeda dengan kita. Secara kesaksian yang diperkuat oleh mata wadag, engkau tidak salah dengan pendapat itu, Sukra. Namun, kita harus mengerti alasan yang sebenarnya. Dan tentu akan berbeda, jika di kemudian hari, orang itu secara nyata terlibat dalam pertempuran atau tindakan-tindakan lain yang membahayakan Mataram secara umum. Siapa saja akan aku beri izin untuk memberinya hukuman mati!” Ki Patih Mandaraka memberi tekanan pada kalimat yang terakhir.

Ki Hariman mengalami keadaan berlainan. Dua kali memulai putaran cambuk dari arah yang berbeda. Itu dilakukannya karena gempuran demi gempuran Nyi Ageng Banyak Patra yang membadai serta arah serangan yang berubah-ubah. Senjata Nyi Ageng Banyak Patra yang bersifat sama dengan miliknya ternyata berulang-ulang mendatangkan kesulitan, kesulitan yang dapat berubah menjadi bencana. Setiap kali Ki Hariman menggerakkan tangan untuk mengendalikan cambuk dari gagang, setiap kali itu pula ia harus membelokkan niatnya. Nyi Ageng Banyak Patra sangat jeli membaca arah gerakannya. Perempuan senja ini selalu dapat melihat bagian pertahanan lawan yang terbuka. Semakin sering Ki Hariman mencoba meraih hulu cambuk, maka ujung selendang Nyi Banyak Patra siap menghancurkan persendian tulangnya.

Setelah mengamati cara bertempur Nyi Ageng Banyak Patra yang memiliki kekhususan dan berbeda dengan kebanyakan orang, Ki Hariman dapat melihat bahwa ia tidak akan dapat menarik napas panjang bila tetap menganggap lawannya sama dengan Ki Patih Mandaraka. Kemampuan perempuan ini sulit diukur, tidak mungkin pula melakukan penjajagan padanya, pikir Ki Hariman.

Walau sedang bertarung dengan seseorang yang sangat tangguh, Ki Hariman masih percaya bahwa ia tidak akan kalah! Cambuknya tiba-tiba melecut, menyentak sendal pancing, mengeluarkan dentuman yang sangat halus tapi sanggup merontokkan tulang-tulang pelindung dada, dan sejumlah sinar biru meluncur secepat kilat mengarah pada bagian depan Nyi Banyak Patra.

Sinar-sinar biru itu adalah serabut dari ujung cambuk Ki Hariman yang lepas karena lambaran tenaga cadangan yang dipelajarinya dari kitab Kiai Gringsing.  Ini bukan serangan main-main. Ini adalah puncak ilmu perguruan Orang Bercambuk yang ditulis oleh guru Agung Sedayu. Dua serangan dengan dua watak  yang berbeda menghambur deras dari ujung cambuk!

Terkesima dengan kekuatan yang belum pernah dilihatnya, Nyi Banyak Patra sempat tercenung sesaat. Bunyi ledakan yang mendentum halus menghantam lapisan pertahanan Nyi Banyak Patra. Sejenak tubuhnya bergetar walau tidak tersentuh oleh senjata Ki Hariman, tetapi benturan tenaga begitu hebat dan sangat hebat hingga ia terdorong surut meninggalkan segaris lurus sepanjang dua langkah di depannya. Belum selesai dengan getaran yang mengguncang jalan darahnya, Nyi Banyak Patra tersudut oleh serabut-serabut cambuk yang terbang mengarah padanya!

Ketenangan dan pengalamannya yang panjang menjadi tumpuan terakhir guru Kinasih. Ia menggetarkan selendang hingga kain itu berdiri tegak dan mengembang seperti seekor ular sendok yang siap mematuk mangsa. Dalam waktu itu, bentangan kain menjadi pelindung dirinya dari serangan tajam Ki Hariman, tetapi selendang berbahan sutra itu menggelembung seperti layar kapal yang tertiup angin kencang. Bila Nyi Ageng Banyak Patra memaksakan tenaga agar kain tetap terbentang, maka benda-benda halus yang berwarna biru akan sanggup menembus benteng pertahanannya. Tubuh Nyi Banyak Patra akan meledak dan tidak akan dapat dikenali lagi karena tercerai-berai dalam serpihan-serpihan yang tak beraturan. Maka, guru Kinasih itu kembali mengetrapkan ilmu yang hampir mirip dengan kemampuan dayang Prabu Brawijaya. Ia harus mengendurkan semua kekuatan lalu mengubahnya menjadi kehampaan.

Yang terjadi kemudian adalah serabut benang yang terlontar pun tertancap pada banyak bagian selendang. Sesaat, setelah dapat mengatur jalan pernapasan, Nyi Ageng Banyak Patra bertanya pada lawannya, “Ketahananku masih sangat baik, bagaimana dengan keadaanmu?”

“Wedhus! Mataku tidak dapat kau kelabui dengan napas yang tersamar. Perempuan reot, aku tahu engkau telah tersengal-sengal, apakah seperti itu daya tahan orang-orang yang berguru di Banyu Biru?” Walau berkata seperti itu, Ki Hariman menimbang kemungkinan yang lain. Sepintas ia melihat keadaan Ki Patih Mandaraka, dan sepertinya itu akan menjadi tambahan beban bila ia turut mengambil bagian dalam perkelahian. Ditambah tiga orang – yang dianggapnya senapati Mataram – yang pastinya tidak berkemampuan rendah. “Ini cukup sulit untuk memenangkan perkelahian. Tidak mungkin aku dapat percaya mereka bila nyawa setan reot itu terancam, tidak mungkin mereka diam saja,” desis Ki Hariman dalam hati. Namun bila memutuskan untuk meninggalkan gelanggang perkelahian, maka itu akan menambah kisah panjang tentang pengikut Raden Atmandaru yang kerap menghilang dari pertempuran.

KI Hariman menggeser langkah pelan-pelan. Lalu dengan tatap mata curiga, ia berkata menantang, “Dua gembel tua, apakah kalian akan maju bersama untuk meringkusku? Ataukah kalian berlima memang ingin menjajagi kedalaman ilmuku?”

“Mirip,” kata Ki Patih Mandaraka pada Nyi Banyak Patra dengan ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh, “ucapannya sangat mirip dengan seseorang yang mengaku bernama Ki Sekar Tawang saat menyergapku  di Slumpring.” Pikiran Ki Patih menyusun kerangka dengan cepat ; ada kemungkinan kalimat-kalimat semacam itu adalah perintah Raden Atmandaru.  Mereka membakar hasrat lawan, memantik api perkelahian hingga tingkat tertinggi, lalu melarikan diri. Apakah seperti itu?

“Aku mencium bau hewan yang ketakutan,” ucap Nyi Ageng Banyak Patra tiba-tiba dengan sorot mata menghina pada Ki Hariman.

“Wedhus! Terserah apa katamu, sekehendakmu dan semaumu,” kata Ki Hariman ketus. Kemudian ia palingkan wajah pada Ki Patih Mandaraka, “Aku hanya menunggu keputusan kalian, terutama engkau, gembel tua.”

Sejumlah laporan yang diterima Ki Patih, sejak kedatangannya dari Sangkal Putung terakhir kali, menyiratkan adanya bahaya yang mengancam Mataram. Pergerakan orang-orang yang ingin menggeser Panembahan Hanykrawati semakin nyata dan seolah ingin menunjukkan perlawanan melalui pertemuan-perteman yang tidak dirahasiakan. Beberapa senapati persandian mengabarkan pada Ki Patih Mandaraka, bahwa di dalam sebagian pertemuan, orang-orang kepercayaan Raden Atmandaru begitu terang mengungkap keinginan untuk merebut Mataram dari genggaman Raden Mas Jolang. Meski tidak menyatakan tanggapan secara terbuka, Ki Patih paham bahwa itu adalah cara lawan untuk memisahkan kawan dan lawan. Siasat lawan untuk memecahkan Mataram dari dalam. Maka, dalam waktu itu, ketika Ki Hariman masih berdiri tegak di depannya, Ki Patih Mandaraka merasa harus dapat memantau pergerakan lawan. “Meski tidak dapat aku perkirakan dengan tepat, tetapi setidaknya ada gambaran kasar sejauh mana mereka membuat tekanan,” pikir Ki Patih Mandaraka.

Wedaran Terkait

Merebut Mataram 9

kibanjarasman

Merebut Mataram 8

kibanjarasman

Merebut Mataram 70

kibanjarasman

Merebut Mataram 7

kibanjarasman

Merebut Mataram 69

kibanjarasman

Merebut Mataram 68

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.