Malam belum terlalu pekat. Pandan Wangi mengedarkan pandangan dengan pikiran yang dipenuhi kelebatan gambar-gambar masa silam. Dalam waktu itu, ketegangan yang pernah dilaluinya pada masa Ki Tambak Wedi dan Sidanti membuat onar di Tanah Perdikan seperti terulang. Perkenalannya dengan Agung Sedayu dan Swandaru pun melayang dalam benaknya.
“Kakang,” desis Pandan Wangi tanpa suara saat mengingat pesan Agung Sedayu terakhir kali. Pikirnya, cukup lama menunggu sebuah perintah sedangkan mereka hanya terpisah jarak yang lumayan dekat. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Rasanya aneh bila tidak dapat mencari jawaban. Petugas-petugas yang dikirimnya pun kembali ke Gondang Wates dengan berita-berita hampa. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kabar Agung Sedayu. Apakah Ki Patih Mandaraka dapat tiba di kotaraja dengan selamat? Ini juga menjadi sesuatu yang seolah jauh darinya. Pandan Wangi merasa bahwa ia bertempur seorang diri. Apakah benar begitu? Benarkah Mataram benar-benar meninggalkannya? Benarkah Swandaru telah pergi dari sisinya? Andaikata benar, andaikata benar, Pandan Wangi berpegang pada kekuatan jiwani seorang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Meski getar-getar rasa yang asing sedikit kuat menggeliat, tetapi, sejauh ini, mereka berdua menjadi salah satu penyanggah ketahanan hati Pandan Wangi.
Dengan keadaan tubuh yang mengendurkan segala urat dan otot, Pandan Wangi mendengarkan suara hatinya ; bahwa seseorang sedang mengamati setiap pergerakan yang ada di dalam rumah yang ditempatinya. Ini terasa nyaris sama dengan masa lalu. Rumah ini bukan rumah milik orang biasa, tetapi tempat tinggal Ki Darmabudi yang disediakan khusus untuknya, sementara pemilik rumah justru menepi ke salah satu tempat milik kerabatnya. Rumah Ki Darmabudi dibangun dengan batu berperekat hingga ketinggian dada orang dewasa, setengah sisanya adalah papan-papan dari kayu yang ulet dan kuat. Tidak mudah menembus dinding rumah dengan lontaran panah atau tombak yang dilemparkan dengan cara biasa. Bangunan itu mengingatkan Pandan Wangi pada rumahnya sendiri, rumah yang menjadi tempat ia tumbuh dan berkembang.
Pandan Wangi menarik napas dalam-dalam, pikirnya, ia harus menyatukan diri dengan keadaan rumah. Penyesuaian adalah satu persiapan yang sempat ditinggalkannya ketika menempati rumah itu. Namun, keadaan memaksanya berubah. Pandan Wangi membulatkan hati untuk mengenali lalu merasakan segala getaran yang ada di dalam dan sekitar rumah. Hanya dengan begitu, batin Pandan Wangi, ia akan mampu bertahan di bawah intaian atau tekanan seseorang meski kehadirannya belum tersentuh.
Hati Pandan Wangi semakin bergetar. Kulitnya meremang, Mungkinkah orang itu semakin dekat? Siapa?
Dengan pertimbangan bahwa tidak ada bahaya yang akan menyusup masuk ke dalam rumah, Pandan Wangi melompat panjang seperti kilat, melintasi sisa beranda, menembus kelam yang belum beranjak pekat. Panggraitanya menuntun ke sana meski Pandan Wangi mendengar jejak kaki menapaki sunyi.
Tidak ada! Tidak ada bayang yang bergerak menghindarinya. Yang terlihat hanya para pengawal yang berjaga di sekiar gardu di antara ujung halaman dan persimpangan jalan. Pandan Wangi kembali melontarkan diri ke arah belakang rumah, mengayun kaki seperti terbang. Tidak ada sesuatu yang janggal di sana. Masih terlihat hilir mudik peronda di matanya. Tidak ada yang aneh. Ringan kaki Pandan Wangi pada saat melenting, menggapai angkasa lalu mendarat di puncak atap rumah. Tubuhnya merunduk dengan kewaspadaan tinggi. Rambut Pandan Wangi berkibar halus menyentuh daun telinga dan bagian belakang lehernya. Ia menunggu.
Rembulan bersembunyi di balik awan yang mengapung perlahan. Menunggu menjadi kepastian yang harus dijalani Pandan Wangi. Ia bersabar hingga waktu tersibak. Pasti terkuak, Pandan Wangi menguatkan hati. Teguh hayu luput ing lara. Pamuji ngulandara asesanti Ingkang Maha Agung tansah rumeksa Sangkal Putung kalis ing rubeto nir ing sambikala.
Cahaya-cahaya obor masih berayun dan terlena buai angin malam. Dari kejauhan, samar-samar, gemericik air terdengar berkecipak.
“Inikah keindahan senandung malam?” tanya Pandan Wangi pada hatinya. Ia tersenyum sendiri. Melarutkan diri dan perasaan dalam kidung malam yang dikumandangkan tonggeret dan jangkrik. Membenamkan kegelisahan ke dalam arus kepasrahan yang cukup dalam. Dengan keadaan seperti itu, Pandan Wangi adalah sasaran yang sangat empuk, terlalu lunak dan sangat mudah. Namun, ruang hati yang tiba-tiba menjadi lapang dan longgar menghentak kemampuan dengarnya. Kepak sayap kelelawar dapat dijangkau olehnya dari jarak belasan tombak. Meski terkejut atas pencapaian itu, Pandan Wangi tetap berpikir bahwa ini kebetulan yang tidak terulang.
Lambat laun terdengar derap langkah kaki yang begitu ringan. Pandan Wangi menanti kedatangan orang itu dari arah yang telah diperkirakannya, dari regol halaman. Sejurus waktu berlalu kemudian terdengar percakapan antara penjaga regol dengan orang itu.
“Ki Swandaru?”
“Tidak salah.”
Lalu kembali sunyi. Pandan Wangi tidak ingin menebak. Ia bergeser tempat karena pandangannya terhalangi serimbun daun pohon asem yang terjulur ke sebagian halaman. Terlihat olehnya tiga pengawal menghadang jalan Swandaru. Namun Pandan Wangi tidak ingin mencampuri keputusan penjaga regol.
Itu wilayah mereka dan pula, bukankah ini masa genting? Ini dalam kecamuk perang, maka kesiagaan tidak boleh lentur meski pendatang itu adalah Swandaru. Para pengawal telah mendengar sejak terjang Swandaru beberapa tahun lalu. Mereka pun telah mendapatkan pesan dari Agung Sedayu melalui Pandan Wangi ; setiap orang wajib dicurigai. Maka sudah semestinya mereka tetap tegas seperti itu, demikian jalan pikiran Pandan Wangi.
Wajar bila para pengawal menjaga jarak dengan Swandaru. Peristiwa itu menanamkan jejak yang buruk pada perasaan mereka. Bagaimana seorang adik seperguruan menyeret saudara seperguruan yang juga ipar dalam pertarungan hidup dan mati? Ketakutan, mungkin tepatnya kengerian pengawal pada sosok Swandaru masih ada. Peristiwa yang dapat membuat hati orang gemetar dan gusar setiap kali seseorang mengungkitnya dalam perbincangan. Walau bukan atau tidak membenci Swandaru, kenangan itu muncul sebagai hantu yang mengunjungi mereka sejak pengepungan Sangkal Putung dilakukan orang-orang Raden Atmandanru.
“Lalu, mengapa kalian tidak membuka jalan?”
Tiga penjaga regol saling bertukar pandang, kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Ini perintah panglima kami.”
“Sebut namanya!”
“Nyi Pandan Wangi,” jawab mereka serentak.
“Bukankah kalian tahu bahwa Pandan Wangi adalah istri Swandaru, dan aku adalah Swandaru. Pemimpin kademangan,” sahut Swandaru mulai kesal.
“Maafkan kami, Ki Swandaru,” kata seorang pengawal. “Kami kira tidak ada gunanya kita berbantahan di sini. Sebenarnya sudah jelas perintah dari Nyi Pandan Wangi dan kami akan bertahan dengan cara keras untuk itu.”
Swandaru mundur setapak sambil mengelus hulu cambuk. Ini pengawal macam apakah? Menantangnya berkelahi? Swandaru mengulur waktu sejenak, menghela napas, kemudian ucapnya dengan nada geram, “Keadaan ini memang aneh. Aku banyak mengalami kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh para pengawal kademangan. Awalnya, aku pikir, ya, ini wajar. Namun ternyata bukan kewajaran tapi kalian benar-benar kurang ajar dengan tidak memberi muka untukku. Kalian anggap… aku ini seekor anjing hutan liar yang sedang bermain-main di Sangkal Putung!”
“Kami dapat mengerti, kami tahu karena kami dapat menyadarinya. Tetapi, Ki Swandaru, siapa yang berani menentang keputusan Ki Rangga? Nyi Pandan Wangi dan kami semua berada dalam satu ikatan yang sangat kuat dengan perintah itu. Ki Swandaru, mohon mengerti, kita sama-sama berdiri dan berjuang dalam tekanan ini,” ucap pengawal dengan suara rendah.
“Katakan semaumu, Swandaru, sebelum benar-benar aku mengakhiri hidupmu!” Tiba-tiba terdengar suara yang jelas tapi tidak melengking nyaring. Tidak juga memekakkan telinga.
Pandan Wangi terkejut. Sepasang matanya segera mencari sumber suara. Ini bukan suara orang yang tidak berkemampuan, sebaliknya, ia cukup hebat membatasi gema suaranya. Begitu pun para penjaga regol yang merasakan jantung mereka serasa putus. Pucat wajah para pengawal. Mereka beringsut setapak mundur, setapak lagi lalu berhenti. Yang mereka rasakan adalah getaran ini adalah getaran yang sanggup melumat isi dada, sungguh!
“Usia terus berlanjut tetapi sikap kasar tak dapat berhenti di tengah tanjakan. Swandaru, adakah ucapan terakhir darimu?”
Nyaris Swandaru lepas kendali lalu menerjang arah terbit suara, ia telah meloloskan cambuk dari pinggangnya. Senjata terjulur di atas permukaan tanah. Bodoh, maki Swandaru pada dirinya. Kedudukan lawan belum diketahui, dan apakah ia akan menujukkan kecerobohan di hadapan pengawal pedukuhan?
“Swandaru,” kata orang itu dari arah yang belum dapat dipastikan karena suara seolah beredar mengelilingi sekitar rumah Ki Darmabudi. “Siapa yang akan menjadi lawanmu? Aku atau orang Sangkal Putung? Bagaimana bila Nyi Pandan Wangi berada di sampingku dan setuju dengan perbuatanku ini? Katakan dengan lantang, Swandaru. Kepada siapa cambuk itu akan dilecutkan?”
“Lidah berbisa!” Swandaru berseru dengan dada membusung. Ia tidak akan memperlihatkan hatinya yang terguncang karena ucapan itu. Ya, ucapan itu benar. Ucapan itu seperti memberi tamparan keras yang tak terbalas! Siapa yang menjadi musuh Sangkal Putung sesungguhnya? Kemudian Swandaru berkata pada pendatang asing itu, “Seharusnya engkau malu karena tidak ada keberanian menampakkan diri di depan kami.”
“Kami? Siapa kami yang engkau maksudkan? Swandaru, Swandaru, bagaimana perasaan Kiai Gringsing jika melihatmu dalam keadaan menyedihkan seperti ini? Swandaru, mampukah engkau berpikir? Jawab pertanyaan ini ; bagaimana bila engkau telah dianggap mati oleh pengawal kademangan? Apa yang kau pikirkan bila para pengawal ternyata membiarkan mayatmu membujur hingga membusuk di pelataran ini?”
4 comments
Wow…tokoh sakti sopo maneh …..semakin gayeng
hahaha..rahasia
Matur nuwun Ki… Lanjutkan… Ditunggu wedaran sak lanjutipun
siap..