Keputusan Pangeran Purbaya sangat mengejutkan pihak lawan. Semula mereka ingin berloncatan girang sambil menghujani para pengawal yang terjebak atau berada di dekat pasukan induk, tetapi perintah yang datang secepat kilat itu membuyarkan harapan mereka.
Dalam pengamatan dan perhitungan Pangeran Purbaya, bila pengawal terkurung gelar Jurang Grawah maka semangat mereka akan padam secepat api yang dibasahi hujan. Mundur adalah jalan terbaik untuk menjaga semangat serta asa pengawal kademangan. Berlandaskan kenyataan, kemampuan para pengawal masih berada di bawah tataran tiap orang dari gerombolan makar. Jika dibiarkan bertempur seperti rencana awal, mereka akan sulit menjaga keselamatan diri sendiri. Bila itu berlanjut, maka para pengawal akan tercerai berai seperti domba yang terpisah dari kawanan. Maka pembantaian besar-besaran segera terjadi di atas tanah Pedukuhan Gondang Wates.
Dengan kecepatan gerak yang luar biasa, Sukra dapat mendekati gugus pengawal yang menjadi tujuannya. Sebagai balasannya, selagi melompat tinggi, Sukra berusaha mencari bagian-bagian yang dapat dijadikan jalan membawa pengawal meninggalkan gelanggang pertempuran.
“Sebelah utara tidak terlalu padat kerumunan,” desis Sukra dalam hati. Ia berhitung cepat. Pikirnya, bila ia dapat mendorong regu pengawal pada bagian yang dilihatnya, agaknya jalan selamat lebih terbuka jika dibandingkan dengan jalur yang mereka terobos sebelumnya. Pengawal pedukuhan mempunyai semangat luar biasa, dan sepertinya itu akan menjadi pengganda daya dobrak mereka. “Baiklah, aku akan memperlihatkan diri. Semoga pengawal pedukuhan dapat memahami tujuanku,” kata Sukra pada dirinya sendiri.
Sukra lantas menghentak segenap kemampuannya. Menggeser gerakannya bersilang. Menghantam keras pada sisi kiri dan kanan dengan tata gerak yang cukup berat dihadang oleh lawan yang berkemampuan setara dengan prajurit Mataram.
Pergerakan Sukra terlihat oleh ketua gugus pengawal. Maka ia berkata pada pengawal di dekatnya, “Ikuti Sukra. Barangkali ia sudah menemukan jalan keluar. Sebaiknya kita berharap baik padanya.”
“Baik,” sahut temannya yang kemudian meneruskan perintah itu pada yang lain. Para pengawal saling memberi tahu perubahan melalui gerakan tangan dan ucapan-ucapan yang tidak dipahami pasukan lawan.
Para pengikut Raden Atmandaru belum menyadari atau menduga arah gerakan pengawal pedukuhan. Mereka masih menunjukkan kepercayaan diri yang kuat meski harapan telah musnah dengan perintah Pangeran Purbaya yang di luar dugaan. Sebagian orang-orang Ki Sor Dondong pun masih memandang rendah kemampuan para pengawal Gondang Wates. Salah seorang dari mereka terdengar berteriak, “Akan ke mana kalian pergi? Tidak ada jalan selain mati atau menyerah.”
“Menyerah pun tidak akan berguna karena kami senang menghabisi kalian. Dengan begitu, kami mendapatkan paha dan dada yang kesepian setiap hari,” sahut seseorang dari tempat lain. Banyak orang tertawa sambil tetap mengayunkan senjatanya pada sedikit pengawal pedukuhan yang mulai bergerak mengikuti pergerakan Sukra. Umpat maki dan hinaan dari lawan memang merusak perhatian para pengawal. Namun pengawal pedukuhan sadar bahwa mereka harus dapat mengekang diri.
Dalam pertempuran yang berlangsung di sekitar pasukan induk, ada dua orang yang menarik perhatian Ki Sor Dondong, Sabungsari dan Sukra. Sabungsari menjadi buruan Ki Arung Bedander, sedangkan Sukra masih bebas bergerak pada waktu itu. Nyaris setengah dari waktu pertempuran, perkembangan yang terjadi pada sayap yang berdekatan dengan kelompok pengawal yang dipimpin Sabungsari, sesungguhnya, tidak lepas dari pengamatan dua lelaki berlainan usia yang berada di dalam pasukan induk Ki Sor Dondong. Salah seorang dari mereka adalah Ki Astaman yang merasa bahwa sebaiknya ia menjadi orang yang menghentikan gerak laju Sukra. Sebelum mendengar perintah mundur, jarak Sukra sudah dalam bidikan lelaki tua pemangku padepokan yang terletak di sekitar Pegunungan Serayu. Hanya karena kecepatan kepala regu pengawal membuat keputusan dan kesigapan kelompoknya, Sukra – dengan sendirinya – pun dapat dijauhkan dari jangkauan serang Ki Astaman.
Lelaki tua, yang diketahui Ki Sor Dondong sebagai orang yang berkemampuan tinggi, itu tidak membiarkan Sukra melenggang bebas membuka jalan selamat bagi regu pengawal yang membantunya. Ia melompat tinggi, melampaui kepala orang-orang, melayang ringan, menyambar Sukra dari atas seperti kelebat elang laut burung camar mematuk ikan di bawah permukaan laut.
“Sukra!” teriak seseorang yang memberi peringatan pada Sukra pada bahaya yang datang menyerang. Orang ini seolah terbang ketika melakukan beberapa gerakan cepat untuk mengungkap jati dirinya.
Untuk sekejap, Sukra tertegung mendengar suara yang dikenalnya. Ia mengetahui asal suara lalu bertanya dalam pikirannya, bagaimana mungkin suara itu dapat muncul dari barisan induk pasukan lawan? Sukra termangu-mangu. Keselamatan Sukra menjadi suram ketika ujung jari Ki Astaman meluncur deras pada batok kepalanya!
Muncul secara mengejutkan sebuah bayangan dari arah yang sudah diduga Sukra.
“Kakang?” Sukra berseru. Ia tidak tahu, apakah harus gembira atau bergerak menyelamatkan diri dari terkaman hebat Ki Astaman yang belum tertangkap oleh penglihatannya?
Glagah Putih melesat berurutan setelah kelebat cepat Ki Astaman. Ia menolak serangan Ki Astaman dengan kekuatan berlipat. Benturan terjadi! Mereka pun terdorong mundur, berjungkir balik di udara lalu mendarat tegak di atas kaki yang kuat menyusun pertahanan.
“Cepat bergerak maju sesuai rencanamu. Aku akan menahan orang ini,” lanjut kata Glagak Putih. Sebenarnya, Glagah Putih – sesuai pertanyaan yang ada di dalam benak Sukra – hanya mengambil waktu yang cukup singkat untuk menengok kelahiran putri Agung Sedayu. Glagah Putih, yang telah mengetahui lalu mengikuti perkembangan pasukan Ki Sor Dondong dari waktu ke waktu, sudah mempersiapkan diri dalam penyamaran sebagai bagian dari pasukan induk. Ia berhasil menyusup masuk ketika pasukan makar itu mulai bergerak menuju Gondang Wates.
“Orang ini sepertinya mempunyai kemampuan yang luar biasa,” ucap Ki Astaman dalam hati. Meski ia belum benar-benar mengeluarkan segenap kekuatan, tetapi penghadangan singkat itu telah memberinya gambaran mengenai kekuatan yang tersimpan dalam diri Glagah Putih.
Sukra meneruskan usahanya membuka jalur bagi dirinya dan kelompok pengawal yang menyelamatkannya sambil berpikir, bahwa apabila ia dapat memperpendek jarak dengan perbatasan pedukuhan, maka pasukan lawan akan kesulitan memecah pertahanan yang disusun oleh Pangeran Purbaya dan Pandan Wangi. Dengan demikian, keinginan lawan yang ingin menguasai Gondang Wates dalam waktu singkat tidak akan terjadi. Semangat tempur Sukra, yang semakin menggebu ketika melihat Glagah Putih terlibat dalam pertempuran, pun menjadi minyak yang dituangkan pada api yang ada di dalam diri para pengawal. Itu terlihat dari tandangnya dan daya juang pengawal yang semakin dahsyat.
Gayung bersambut! Dari arah pedukuhan, sejumlah orang bergerak maju pada arah keributan yang ditimbulkan oleh Sukra dan pengawal yang berada di belakangnya.
Ki Sor Dondong mengubah siasatnya sewaktu mengetahui perkembangan itu dari para petugas penghubung. Ia geram karena pasukan mereka dapat disusupi oleh orang-orang yang mampuyai kemampuan yang tidak dapat diremehkan. Sekejap ia memandang langit seperti berharap ada ketentuan nasib yang jatuh dari atas lalu membawa keuntungan baginya. Tiba-tiba ia putuskan bahwa pasukannya harus bergerak mundur. Melalui gaung sendaren pemanah yang diperintahkannya melepaskan lima anak panah berturut-turut, Ki Sor Dondong melakukan perbuatan yang sama dengan Pangeran Purbaya.
Tentu saja itu menjadi kabar yang menyengat anak buahnya.
“Langit masih benderang, mengapa kita disuruh mundur?” bertanya seorang prajurit lawan pada senapatinya.
“Patuhi saja. Itu tidak ada ruginya buat kita,” jawab pemimpinnya. “Setidaknya hari ini kita telah memberi kejutan pada orang-orang dungu itu.”
Kejutan itu tidak hanya terjadi pada pengikut Raden Atmandaru yang berada di bawah pimpinan Ki Sor Dondong. Pangeran Purbaya dan Pandan Wangi pun menarik alis. Mereka berkerut menyaksikan perubahan yang dilakukan oleh lawan.
Glagah Putih juga mengerutkan kening. Namun ia tidak mempunyai waktu untuk menduga-duga alasan di balik keputusan yang dibuat panglima pasukan lawan. Ia tidak mempunyai permasalahan dengan itu, maka Glagah Putih segera menghilang dari lingkar perkelahiannya. Sukra selamat, itu sudah cukup untuk sementara waktu, demikian pikir Glagah Putih.
Kegusaran justru menimpa Ki Arung Bedander yang sedang merasa di atas angin menghadapi Sabungsari yang berkelahi sangat hebat. Inikah yang dinamakan pertempuran antara hidup dan mati? Ki Arung Bedander belum mengerti alasan Ki Sor Dondong, tetapi akhirnya ia harus melapangkan dada dengan adanya perintah itu. “Aku tidak boleh bergerak sendiri. Itu akan menjadi bahan tertawaan banyak orang karena terlihat bodoh,” ucap Ki Arung Bedander dalam hati.
Demikianlah, dua pasang petarung yang sedang melakukan perang tanding dan dua pasukan itu kemudian mundur hingga batas yang ditentukan oleh panglima masing-masing.