Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 9

Tatkala warna merah mulai berusaha meraih batas tepi ufuk timur, mereka telah berbenah diri. Dalam kesempatan itu, mereka duduk melingkar, Ki Hanggapati bercerita tentang pembicaraan tiga peronda dan Jalutama yang dilihatnya di banjar bersama-sama dengan Ki Sukarta.

“Angger Jalutama berada di sini?” Ki Swandanu setengah tidak percaya.

“Benar, Ki. Saya tidak salah melihat. Saya mendapat ruang yang cukup untuk memastikan itu karena nyala obor yang cukup terang ditambah jarak yang sangat dekat,” jawab Ki Hanggapati meyakinkan.

Ki Swandanu mengerutkan alis, kemudian berkata, ”Saya kurang mengerti alasan Ki Buyut Menoreh yang tidak meminta prajurit Pajang mengawal barang-barang berharga hadiah kepada Sri Jayanegara. Perjalanan jauh yang sangat berbahaya bagi Angger Jalutama dan mungkin saja hadiah itu tidak pernah diterima.” Ia menghembuskan napas, lanjutnya lirih, “Seperti yang sudah-sudah.”

loading...

“Saya mempunyai pemikiran yang sama dengan Ki Swandanu. Ki Buyut benar-benar mengambil jalan yang sangat berbahaya,” berkata Ki Ken Banawa.

“Namun kita dapat melihatnya dari segi yang lain, Ki Swandanu. Saya cenderung berpikir bahwa Ki Buyut menyuruh Angger Jalutama berarti Ki Buyut menempatkan Sri Jayanegara pada tempat yang khusus, bukan sekedar seorang penguasa. Saya sudah mendengar bagaimana sikap keluarga Sima Menoreh terhadap ibukota sebelum ini,” kata Ki Hanggapati. Lalu ia menambahkan dengan nada khawatir, “Mungkin saja Ki Buyut telah mendengar peristiwa yang menimpa prajurit Pajang waktu itu. Lalu  ia kehilangan rasa percaya kepada Bhre Pajang.”

“Meski sebenarnya apa pun yang menjadi alasan Ki Buyut Menoreh menyertakan Jalutama, itu bukan kekuasaan kita untuk mencampurinya. Tetapi kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah orang-orang dari Menoreh berada dalam bahaya,” Ki Swandanu berkata tegas.

Bondan mendengar pembicaraan itu dengan sorot mata sungguh-sungguh. Dengan raut wajah penuh pertanyaan, Bodan menatap wajah Ken Banawa kemudian bertanya, “Apa langkah selanjutnya, Paman?”

Ki Swandanu dan Ki Hanggapati menyerahkan sepenuhnya kepada senapati Majapahit mengenai perihal yang akan dilakukan. Ken Banawa meminta mereka untuk lebih mendekat lalu menyampaikan gagasan yang telah ia pikirkan sebelumnya.

Sejenak kemudian, mereka berpencar dalam dua kelompok sebelum memasuki pedukuhan yang cukup ramai untuk ukuran wilayah yang cukup jauh dari ibukota.

”Kita masuk kedai itu, Paman,” kata Bondan menunjuk kedai kecil yang terletak beberapa tombak di depan banjar.

”Baiklah, mungkin kita dapat bertemu dengan orang-orang Menoreh di sana.” Ki Hanggapati mengarahkan kuda menuju kedai. Setelah berada di dalam kedai, mereka segera mengambil tempat duduk yang di bawah jendela yang lumayan besar. Keduanya memesan nasi dengan ikan wader goreng dan wedang jahe hangat.

Beberapa saat kemudian pesanan mereka telah tersaji di atas meja. Namun Ki Hanggapati mencegah Bondan yang akan mengambil sesuap nasi. ”Bersabarlah,” kata Ki Hanggapati lalu tangannya menaburkan serbuk berwarna hijau di atas hidangan. Ia melakukannya saat pelayan kedai membelakangi mereka sehingga terlepas dari pengawasan pelayan kedai. Setelah itu mereka mengambil sesuap demi sesuap.

Pelayan kedai dan pemiliknya menatap heran ketika tidak terjadi sesuatu yang aneh pada kedua pengunjung kedai itu.

”Apakah mereka manusia jejadian yang menunggu kepunden Welas Sanga?” pikir pemilik kedai. Kulit pemilik kedai pun meremang mengenang kisah yang ia dengar di masa kecil. Ia lantas mengalihkan perhatian ketika beberapa lelaki memasuki kedainya. Seorang anak muda tampak berjalan di depan rombongan sambil menebar pandangan ke sekeliling ruangan. Senyumnya mengembang lalu membungkuk hormat ketika ia melihat orang yang sudah dikenalnya. ”Ki Hanggapati,” ia menyapa lelaki berumur yang berdiri menyambutnya.

”Angger Jalutama,” kata Ki Hanggapati sambil mengenalkan Bondan. Kemudian mereka berbincang ringan tentang keadaan masing-masing. Dua orang lainnya berjalan mendekati meja pemilik kedai dan mengambil tempat duduk, seorang lagi duduk di meja sebelah Bondan. Segera Jalutama memesan makanan untuk dirinya sendiri. Kening Bondan dan Ki Hanggapati berkerut tetapi mereka memilih berdiam diri.

Orang yang duduk di sebelah Bondan bangkit berdiri dengan wajah bersungut-sungut. Ia menghampiri tiga kawannya yang menahan tawa melihatnya.

Ketika nasi hangat dan wedang daun teh telah siap dinikmati Jalutama, tiba-tiba Bondan menggeser mangkuk nasinya bertukar dengan mangkuk Jalutama. Raut muka Jalutama merah karena mengira Bondan memperdayanya. Tetapi Ki Hanggapati memberinya tanda supaya menahan diri. Jalutama mengamati Bondan yang sedang membagi dua nasi di mangkuk Jalutama dengan mangkuknya. Bersamaan dengan itu Ki Hanggapati mendapat kesempatan untuk menaburkan serbuk hijau di atas pesanan Jalutama.

”Anak muda itu tidak tahu diri. Belum juga nasinya habis, kini ia mengambil nasi temannya yang baru datang,” kata seorang yang datang bersama Jalutama.

”Hei! Kau benar-benar tak tahu adat. Bagaimana bisa kau membagi nasi tanpa izin temanmu itu?” orang yang bertubuh gemuk dan berjenggot lebar sambil memelototkan mata pada Bondan.

”Maaf, Ki Sanak. Ia memang sering berbuat usil pada kawan-kawannya,” jawab Jalutama dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya.

”Angger Jalutama, makanan ini mengandung racun,” bisik Ki Hanggapati. Ia meneruskan, ”Sebaiknya kau bersiaga dan beritahukan pada kawan-kawanmu lainnya.”

Senyum Jalutama menghilang dari bibirnya, raut wajahnya berubah tegang.

”Tenang, jangan membuat mereka menjadi curiga,” kata Ki Hanggapati mengerling ke arah pemilik kedai.

Jalutama menarik napas panjang lalu katanya – setelah gejolak di dadanya sedikit mereda, ”Tiga orang yang bersama saya juga bukan bagian pengawal Sima Menoreh.” Kemudian ia menceritakan bahwa sebenarnya ia hampir tidak dapat keluar dari halaman banjar walau sekedar membeli makanan.

”Lantas sekarang Angger ada di dalam kedai,” kata Ki Hanggapati.

Senyum Jalutama kembali menghiasi bibirnya, ”Sudah tentu, Paman. Mereka juga ingin menambah keping meskipun sedikit.” Ketiganya tertawa kecil.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Tapak Ngliman 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.