Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 32

Suara Pandan Wangi melengking tinggi. Menusuk tajam pendengaran Ki Arung Bedander. Sedemikian kuat Pandan Wangi menghentakkan tenaga, maka sambaran pedangnya menimbulkan gesekan udara yang sangat tajam. Seorang prajurit lawan harus menerima akibat yang tidak pernah dibayangkannya sebelum itu. Ia terjengkang, roboh dengan dada tersayat menyilang panjang.

Menyaksikan gebrakan Pandan Wangi yang begitu hebat, Ki Arung Bedander mengira bahwa keberingasan perempuan yang menjadi lawannya itu timbul karena ucapannya. Pikirnya, Pandan Wangi terpancing lalu kehilangan kendali diri. Maka, Ki Arung Bedander tidak begitu menganggap lawannya sebagai musuh yang hebat. Seberapa lama wanita itu dapat menahan kekutannya? Seperti itu perasaan Ki Arung Bedander. Sejurus waktu, sebelum mata mengedip untuk ketiga kali, Ki Arung Bedander mulai mencoba mengekang gerak Pandan Wangi. Dengan demikian, beberapa prajurit Ki Sor Dondong – secara tidak langsung – mendapatkan perlindungan darinya.

“Kecantikanmu semakin kuat memancar. Sebaiknya, pertimbangkan kembali penawaran yang tidak akan membuatmu menderita. Sepuluh tahun mendatang, kemolekanmu tidak akan berkurang,” kata Ki Arung Bedander sambil menggerakan sepasang lengan melalui gerakan-gerakan yang berada di luar kewajaran.

Pandan Wangi tidak menanggapinya. Ia tahu bahwa lawannya terpikat dengan tata gerak yang diperagakan olehnya. Pandan Wangi berkelahi dengan cara yang tidak biasa ; ngawur namun sepenuh tenaga dan tetap tidak mudah tersentuh oleh juluran jemari lawan. Perkelahian mereka  berlangsung sangat dahsyat. Pandan Wangi tetap meningkatkan kecepatan, tapi itu dilakukannya perlahan-lahan. Bila seseorang membuat pengamatan pada Pandan Wangi, maka orang tersebut akan menemukan perbedaan yang sangat tajam. Setelah sekian tahun, Pandan Wangi menata kemampuannya atas petunjuk Empu Wisanata dan Ki Jayaraga bila mereka bertemu di Sangkal Putung atau Tanah Perdikan Menoreh. Ditambah keluasan wawasan yang ada dalam diri Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi telah berhasil mencapai lapisan yang sulit dijangkau oleh ayahnya sendiri meskipun mereka berada pada jalur kanuragan yang sama!

loading...

Perkelahian mulai bergeser pada gerakan-gerakan yang lebih rumit daripada sebelumnya. Dalam waktu itu, Ki Arung Bedander berulang-ulang mengerutkan kening. Ia belum dapat mengerti arah pergerakan lawannya. Menurut pandangannya, Pandan Wangi bertempur seperti orang yang tidak mengetahui oleh kanuragan. Sekali lagi, Pandan Wangi bertarung secara ngawur, mengelak dengan ngawur, menyerang pun masih ngawur!

“Apakah memang ada tata gerak yang memanfaatkan ketidakteraturan menjadi susunan gerak yang sulit dimengerti?” Ki Arung Bedander bertanya dalam hati. Dan kenyataannya, di hadapan Ki Arung Bedander, Pandan Wangi adalah petarung yang jauh lebih garang serta lebih ganas jika dibandingkan dua lawan sebelumnya ; Sabungsari dan Glagah Putih.

Pertempuran ketat itu berlangsung cukup lama. Waktu terus memanjang hingga Ki Arung Bedander diliputi oleh kebingungan. Ia bertanya di dalam pikirannya sendiri, mengapa Pandan Wangi belum terlihat kewalahan dengan serangannya yang juga tak kalah deras? Bahkan desing pedang kembar milik Pandan Wangi pun seolah turut campur menambah kegalauan hatinya. Lonjakan ilmu yang terjadi pada Pandan Wangi memang luar biasa. Betapa tidak, sepasang pedangnya bergantian mengeluarkan desing yang sanggup melengking tinggi. Tenaga inti yang dikuasai Pandan Wangi seperti dapat diatur agar mengeluarkan lengking suara bernada pendek dan bergantian. Itu jelas menjadi senjata rahasia yang tidak terkira oleh Ki Arung Bedander.

Kebingungan itu dapat ditangkap oleh Pandan Wangi melalui pengamatan yang dilakukannya sepintas namun mempunyai ketepatan yang tinggi. Lawan telah memasuki jebakannya! Pandan Wangi memang menghendaki itu. Pandan Wangi akan membalikkan keadaan yang tidak dikehendaki oleh lawan. Setelah mengambil ancang-ancang untuk membuat keseimbangan baru, Pandan Wangi sangat cepat mengubah tata gerak! Serangannya terlontar dengan kekuatan serta kecepatan yang sulit dikira-kira lawannya yang masih tampak kebingungan.

Kegelisahan mendera Ki Arung Bedander bagaikan prahara yang datang menyapu habis sebuah pedukuhan! Seketika ia meloncat mundur, mempertahankan keseimbangan, tetapi Pandan Wangi terus memburu dengan kecepatan yang menjadi-jadi!

“Diamput! Iso matek aku bar ngene!” Ki Arung Bedander mengumpat dalam hati. Ia sadar bahaya semakin dekat dan segera merengkuhnya lalu membawa terbang tinggi melintasi gerbang kematian. Untuk itu, supaya dapat melanjutkan hidup, Ki Arung Bedander harus melindungi diri dengan pertahanan yang tidak mudah terguncang meski dengan cara yang tidak biasa.

Ki Arung Bedander melompat ke samping, bergulingan agar dapat lolos dari cecaran pedang Pandan Wangi. Namun, tampaknya itu menjadi usaha yang sia-sia karena Pandan Wangi nyaris mencapai puncak tertinggi dari segenap ilmu yang dikuasainya. Maka melalui angin yang terhempas dari tenaga cadangan, ujung sepasang pedang kembar Pandan Wangi mampu menembus lapisan benteng diri Ki Arung Bedander. Mungkin belum berjumlah belasan tetapi pedang Pandan Wangi berhasil membuat banyak sayatan pada tubuh lawan.

Dengan tubuh yang dipenuhi banyak luka, Ki Arung Bedander berusaha mencabut keris yang terselip rapat di bagian pinggang. Terlambat! Upaya yang terlambat karena Ki Arung Bedander  mengira sekaligus Pandan Wangi segera menghentikan serangan ketika melihat lawannya terluka. Namun, yang dihadapinya adalah singa betina yang dilahirkan sebagai petarung. Pandan Wangi memang menyisakan sedikit welas di dalam hatinya, tetapi ia tidak akan melepaskan lawan. Pangeran Purbaya memerintahkan padanya agar tidak memberi kelonggaran pada orang-orang pilihan yang berada di dalam barisan perang Raden Atmandaru.

Pada pembicaraan singkat sebelum mereka menuju batas wilayah pedukuhan untuk menyambut serangan lawan, Pangeran Purbaya berkata pada Pandan Wangi, “Tidak ada ampunan kecuali mereka terlempar dan mengalami luka berat ketika perang tanding. Namun, selama mereka masih memberikan perlawanan, itu akan menjadi bahaya yang mengancam Mataram. Mereka dapat melarikan diri dari kerangkeng karena ulah orang-orang yang berada di dalam lingkaran Panembahan Hanykrawati. Dan, sayangnya, aku belum dapat menandai orang-orang yang dapat dicurigai. Wangi, bila mereka hidup sebagai tahanan, maka pastikan Tanah Perdikan dapat menjaga dengan ketat.”

Dari pesan Pangeran Purbaya, Pandan Wangi dapat melihat bahaya yang lebih besar daripada serangan yang dilakukan pasukan Ki Sor Dondong. Pengamatannya memberitahukan bahwa ada dua orang yang harus mendapat perhatiannya secara khusus. Mungkin Glagah Putih atau Sabungsari sudah mencukupi untuk meringkus dua petarung lawan, tetapi Pangeran Purbaya  membutuhkan dua prajurit muda Mataram itu untuk rencana selanjutnya. Maka, demikianlah Pandan Wangi merasa wajib menjaga dua prajurit yang akan menjadi senjata utama Mataram di masa mendatang. Untuk itulah, Pandan Wangi menjalankan siasatnya dengan cerdik dan berhasil  menjauhkan Glagah Putih dari ajang perang tanding.

Pada lingkar perkelahiannya yang sangat seru, Ki Arung Bedander akhirnya sadar bahwa  berharap Pandan Wangi menaruh belas kasih padanya adalah gagasan yang percuma. Dan untuk mengatasi serangan Pandan Wangi yang dahsyat itu, Ki Arung Bedander tidak mempunyai pilihan. Keseimbangannya terguncang. Kegelisahan erat mencengkeram.

Ki Arung Bedander terlempar jauh dari kata menghindar. Membenturkan kekuatan adalah tindakan yang bodoh tapi harus dilakukannya. Sungguh tidak mungkin ia dapat berbuat dengan pintar karena sepasang tangannya masih kosong dari senjata. Mengharap lawan agar menyarungkan senjata? Bagaimana mungkin dilakukannya? Memalukan. Bukankah itu kesalahannya sendiri ketika meremehkan Pandan Wangi yang dianggapnya berkelahi dengan ngawur?

“Perkelahian yang tidak seimbang,” akhirnya kalimat melas keluar dari mulut Ki Arung Bedander. “Sungguh tidak adil karena aku tidak bersenjata!”

Untuk kesekian kali, lagi-lagi, Pandan Wangi menunjukkan ketangguhan jiwani yang luar biasa. Ia begitu mapan dengan pendirian bahwa lawan harus teringkus dalam perang tanding tanpa ada syarat harus bersenjata atau bertenaga raksasa. Untuk apa meluluskan permintaan lawan yang ingin melawannya dengan senjata? Itu sama dengan memberi peluang lawan untuk melarikan diri, sedangkan Pangeran Purbaya sangat ketat dengan perintah-perintah keprajuritan. Ini perjuangan demi harga diri. Ini pertaruhan hidup dan mati. Ini medan perang! Maka Pandan Wangi menjawabnya dengan mulut terkunci sembari menghujani lawan dengan serangan-serangan yang tidak menyisakan ruang ampunan.

Kemampuan Pandan Wangi nyaris tidak terlawan. Hujan serangan datang menggelontor seperti air yang turun dari tebing sambil membawa sebukit lumpur ke persawahan. Kegeraman Ki Arung Bedander meningkat seiring ketajaman pedang Pandan Wangi yang juga semakin cepat menaiki tanjakan menuju puncak. Mulut Ki Arung Bedander tanpa henti mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas didengar, tetapi Pandan Wangi tidak tergoyahkan. Sebuah gerakan indah yang dilakukan  Pandan Wangi dengan kecepatan tinggi menjadi pamungkas kehidupan Ki Arung Bedander – yang tidak sempat menarik napas untuk terakhir kali.

Untuk sejenak waktu, Pandan Wangi berdiri memandangi lawan yang sebenarnya cukup cerdik dengan menggunakan ucapan-ucapan yang membakar hati. Pandan Wangi kemudian mengalihkan pandangan, berteriak nyaring lalu dilihatnya seorang penghubung pedukuhan melambai padanya. Pandan Wangi melentingkan tubuh, seperti terbang ketika menapakkan kaki di atas pundak-pundak orang-orang yang masih berkelahi. Putaran yang begitu indah dibuatnya, mendarat mulus pada punggung kuda untuk tugas selanjutnya ; menghadang gerak Ki Sor Dondong! Ya, Pandan Wangi telah memercayakan pada Glagah Putih atau Sabungsari untuk menyelesaikan seseorang lagi, dan mereka berdua sepertinya tahu maksud panglima wanita Sangkal Putung itu.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.