Nyi Kirana bergeser setapak, katanya, ”Setiap orang yang mengenal Padepokan Sanca Dawala mengerti, bahwa Mpu Rawaja hanya memberikan gelang itu pada yang berkepandaian tinggi dan setia padanya.” Ia berhenti sesaat ketika hatinya bergetar mengingat kekejaman orang-orang pemukiman.
Lalu Nyi Kirana melanjutkan, ”Aku mengenal Kuntala dengan baik. Ia adalah orang yang tidak mempunyai batasan bahkan seringkali bertindak jauh lebih ganas dibandingkan Ra Jumantara. Oleh karena itu, aku harap Ki Sanak semua tidak salah memahami sikapku. Orang-orang dari pemukiman ini, apabila mereka datang di bawah pimpinan Kuntala, sungguh akan terjadi perbuatan melampaui batasan yang kita ketahui.”
“Apakah mereka mempunyai ilmu yang sangat mengerikan?” Bondan bertanya.
Nyi Kirana menggeleng, sambil memandang nyala api kemudian berkata, ”Mereka akan meluapkan kemarahan pada semua yang mereka temui apabila gagal menemukan kita.”
Ken Banawa manggut-manggut mendengar jawaban Nyi Kirana, namun sebelum ia membuka bibir, suara Ki Swandanu mendahuluinya dengan lantang, ”Apakah Nyi Kirana sedang mengusulkan agar kita menemui mereka?”
Nyi Kirana tidak segera menjawab, namun matanya berkilat menyambar dada Jalutama. Ia berdesis, ”Aku menunggu keputusanmu, Ngger.”
Jalutama yang merasa tidak ingin melewati pengalaman Ken Banawa, kemudian berkata, ”Keadaan seperti itu dapat terjadi dan memang pertemuan dengan mereka adalah sebuah kemungkinan. Tetapi biarlah Paman Banawa mengungkap pemikirannya terlebih dahulu.” Sikap Jalutama yang kembali tenang seperti biasa akhirnya membuat orang-orang menarik napas lega. Mereka tetap menempatkan Jalutama sebagai orang yang penting di antara mereka. Jalutama adalah lelaki yang akan mewarisi Sima Menoreh dan satu-satunya saksi mata yang selamat dari pembantaian di lereng Wilis.
Atas perkataan Jalutama, Ken Banawa termangu sejenak. Kemudian ia bertanya pada Ki Hanggapati, ”Ki Hanggapati, bukankah kita memilih tempat ini atas dasar keamanan?”
Ki Hanggapati mengerutkan dahi, lalu berkata, ”Tentu, Ki Rangga. Jalur yang kita tempuh termasuk wilayah yang jarang dilalui orang dan sedikit orang yang mengenal tempat ini. Saya mengerti maksud Ki Rangga, maka saya dapat katakan bahwa tempat ini dapat menjadi benteng jika dibandingkan tempat lain apabila ada orang yang menyerang kita.”
Bondan berdiam diri dengan gelisah, berusaha keras mengalihkan perhatiannya dari bayangan perkelahian yang dapat saja terjadi. Ia belum pulih. Meski begitu, Bondan tidak khawatir jika akhirnya terjadi benturan melawan orang-orang yang dimaksudkan oleh Nyi Kirana.
“Aku akan mengambil Kuntala sebagai lawan meskipun kalian tidak menghendaki itu terjadi,” kata Nyi Kirana menyela kemudian.
Ken Banawa menggelengkan kepala kemudian katanya, ”Tidak akan ada pertempuran yang terjadi, Nyi.”
Nyi Kirana terhenyak kaget. Ia sedikit meragukan pendengarannya namun kemudian Ken Banawa melanjutkan kata-katanya, ”Tujuan utama perjalanan ini adalah memenuhi permintaan Resi Gajahyana.”
Darah Nyi Kirana seakan berhenti mengalir ketika nama Resi Gajahyana disebutkan oleh Ken Banawa. Ia terperangah dan tidak mengira bahwa ia sekarang berada di tengah-tengah orang kepercayaan Resi Gajahyana.
“Ki Rangga, apakah perjalanan ini bukan untuk mengantarkan Angger Jalutama kembali ke Tanah Perdikan?” Nyi Kirana masih menyimpan rasa terkejutnya.
Dalam waktu itu, Ki Hanggapati melirik pada Bondan yang duduk termangu dengan kepala tunduk. Lalu kata Ki Hanggapati, ”Tidak, Nyi. Kami bertemu Angger Jalutama di tengah perjalanan, sedangkan tujuan utama kami adalah Pajang.”
Nyi Kirana bukan orang yang sulit untuk mencari penjelasan dari dalam dirinya sendiri. Kini ia mengerti bahwa anak muda yang berada dalam perawatannya mempunyai hubungan khusus dengan Resi Gajahyana. Namun di saat yang sama, ia dapat memahami jalur ilmu Bondan yang mampu menahan Ra Jumantara yang akhirnya harus mengerahkan puncak kekuatan. Sejenak kemudian Nyi Kirana menganggukkan lalu berkata, ”Bila tidak ada pertempuran, marilah kita bergegas pergi dari sini!”
Ki Swandanu menoleh pada Ken Banawa dengan tatap mata bertanya. Tiba-tiba Jalutama terdengar berkata, ”Kita tidak dapat begitu saja meninggalkan tempat ini.”
Bondan memandang lelaki dari Menoreh itu dengan dahi berkerut. Meskipun ia telah bersiap dengan segala kemungkinan, namun Bondan akan mengikuti kesepakatan yang terjadi di antara mereka.
“Kita akan tinggalkan tempat ini!” sahut Ken Banawa. Ia memandang berkeliling, kemudian katanya, ”Kita harus menghindari mereka itu bukan berarti kita akan kalah atau tercekam rasa takut. Tetapi ada yang lebih penting daripada sebuah perkelahian yang sebenarnya justru akan memberi arti kemenangan bagi mereka.”
Sorot mata tajam Jalutama menatap Ken Banawa. Ucap Jalutama kemudian, ”Ini akan menjadi peringatan bagi orang-orang Sanca Dawala, Ki Rangga.”
“Keselamatanmu dan Bondan mempunyai arti lebih tinggi dari sekedar peringatan yang akan kau berikan pada mereka,” tukas Ken Banawa.
“Tidak!” tegas Jalutama. “Aku bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan para pengawal Menoreh.”
“Angger Jalutama,” berkata lirih Nyi Kirana mendahului Ken Banawa. Ia melangkah lebih dekat pada anak lelaki satu-satunya Ki Gede Menoreh. Kemudian Nyi Kirana berkata lagi, ”Aku mengetahui satu rencana yang sebenarnya tidak diberitahukan pada semua orang Sanca Dawala. Jadi, aku pikir memang lebih baik kita menghindari mereka.”
Orang-orang terdiam dan mereka mulai menduga dalam pikiran mereka tentang rencana orang-orang Sanca Dawala.
“Saat ini tidak ada satu pun yang tertinggal di padepokan, kecuali Mpu Jagatmaya” berkata Nyi Kirana melanjutkan, ”sehingga aku mempunyai keyakinan bahwa Kuntala akan mengejar kita tetapi ia tidak akan melakukan serangan tanpa alasan yang kuat.”
Bondan mengusap kening. Ia telah mempunyai alasan kuat untuk meletakkan kecurigaan. Bahwa pengalamannya di Sumur Welut akhirnya mendorongnya untuk berpikir sedikit melintasi batas yang biasa terjadi. Kemudian ia berkata, ”Nyi Kirana, ini hanya sebuah dugaan. Maksudku adalah apabila orang-orang sudah tidak lagi berada dalam padepokan sudah barang tentu mereka bergerak menuju satu tempat. Terlebih satu tambahan bahwa Kuntala akan melakukan penghadangan perjalanan kita bila ia mempunyai satu alasan kuat.”
Nyi Kirana mengangguk.
Kemudian Bondan melanjutkan lagi, ”Seperti dahulu ketika Ki Sentot Tohjaya tiba-tiba mengosongkan Bulak Banteng, apakah Mpu Jagatmaya berencana menduduki satu wilayah tertentu dengan mengerakkan para pengikutnya?”
Dalam hatinya, Nyi Kirana harus mengakui ketajaman nalar anak muda yang sedang duduk bersandar di hadapannya. Ia juga telah mendengar kabar pertempuran besar di Sumur Welut yang dikobarkan oleh Ki Sentot Tohjaya untuk menurunkan Jayanegara dari singgasana. Ia menarik napas dalam-dalam, dan berkata kemudian, ”Benar, Ngger. Mpu Jagatmaya sedang mengirim para pengikutnya menuju Pajang.”