Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 21

Serentak orang-orang terhempas rasa kaget yang sangat dalam. Mereka menahan napas dengan wajah berubah pucat seperti melihat seleret kilat menyambar di tengah-tengah mereka. Betapa mereka tidak pernah membayangkan bahwa orang-orang Sanca Dawala mempunyai keberanian untuk menyerang Pajang. Kemudian Nyi Kirana melanjutkan, ”Oleh karena itu, aku ingin kita tetap lanjutkan perjalanan.”

Ki Swandanu mengangguk sambil menyimpan sesuatu yang menggoyang perasaannya. “Atas alasan apakah mereka menyerang Pajang?” desisnya dengan nada bertanya.

Ken Banawa mendengarnya lalu berkata, ”Saya pikir mereka merasa mampu setelah yang mereka lakukan pada prajurit Pajang seperti yang disaksikan oleh Ki Hanggapati.”

“Serangan itu mungkin menjadi awal untuk kesimpulan umum atau sebuah rencana besar, Ki Rangga,” kata Ki Hanggapati. Ia berpaling pada Ki Swandanu lalu meminta rekan perjalanannya itu untuk meneruskan keterangan.

loading...

Ki Swandanu menjawabnya dengan anggukkan kepala. “Eyang Gajahyana memang mengutus kami datang ke kotaraja untuk menjemput Angger Bondan. Meskipun  sebenarnya beliau mempunyai alasan lain yang hanya disampaikan pada kami berdua. Karena perkembangan keadaan selama perjalanan ini, saya pikir kami tidak akan menyalahi kepercayaan beliau bila mengulang keterangan beliau pada Anda sekalian,” kata Ki Swandanu dengan sinar mata meminta persetujuan Ki Hanggapati. Setelah yakin dengan kesepakatan yang tidak mereka suarakan, Ki Swandanu meneruskan ucapannya, ”Resi Gajahyana telah mengamati satu keadaan di sebuah pedukuhan. Keadaan itu kemudian berkembang sesuai dugaan beliau sebelumnya, oleh sebab itu, Resi Gajahyana meminta Bondan agar pulang karena Ki Banyak Abang tidak akan mendapatkan wewenang yang cukup untuk menahan perkembangan akan terjadi. Selebihnya, maksud saya, segala yang akan kita tempuh dalam perjalanan ini, kami serahkan pada Rakryan Rangga, Ken Banawa.”

“Dan Ki Nagapati saat ini berada di Pajang,” desis Ken Banawa dengan mata melihat tanah yang dipijaknya. Ia mengangkat wajah kemudian meneruskan, ”Tetapi kita tidak tahu arah kecenderungan Ki Nagapati.”

“Bukankah Ki Rangga sangat mengenalnya?” bertanya Jalutama.

Rakryan Rangga Ken Banawa mengangguk. Jawabnya, ”Namun waktu yang berjalan dan pengalamannya mungkin akan dapat mengubah sosok yang aku kenal. Sementara kita juga tidak mengetahui, apakah Bhre Pajang dapat menerima kehadirannya atau tidak? Kita hanya dapat berharap agar Ki Nagapati tetaplah sama seperti orang yang aku kenal di kotaraja.”

Sejenak kemudian orang-orang menjadi diam. Mereka membayangkan keadaan sulit yang dihadapi oleh Bhre Pajang. Lalu Jalutama bersuara membelah keheningan, ”Siapakah orang Pajang yang mampu mengundang orang-orang Sanca Dawala hingga kemudian akan mengubah keadaan, Nyi Kirana?”

“Aku tidak mengetahui secara pasti, Ngger. Mereka tidak menyebutkan nama, tetapi aku telah membuat kesimpulan bahwa orang itu tentu orang paling kaya di Pajang,” jawab Nyi Kirana.

“Ki Juru Manyuran,” desis Jalutama dan Ki Hanggpati nyaris bersamaan.

“Apakah Kakang mengenal orang itu?” Bondan memandang wajah Jalutama.

Jalutama memijat bagian tengah pelipisnya lalu menjawab, “Ki Juru Manyuran adalah pedagang besar yang sering mengadakan kegiatan di Tanah Perdikan. Ia juga  berteman dengan salah seorang pemimpin di kotaraja. Sayang, aku tidak begitu banyak mengenal pemimpin itu. Namanya pun aku tidak pernah mendengarnya disebutkan oleh Ki Juru Manyuran.”

“Pembicaraan ini membuat saya khawatir tentang Ki Gede Menoreh,” berkata lirih Ki Hanggapati.

Jalutama lurus menatapnya kemudian mengangguk sambil berkata, ”Benar, Ki. Mungkin saja ia juga mengajak ayah untuk bergabung bersamanya.”

Ki Hanggapati menggeleng lalu berkata, ”Sulit untuk memengaruhi ayahmu agar bersedia berdiri di sisi Ki Juru Manyuran. Justru aku mengkhawatirkan keamanan Tanah Perdikan. Ki Juru Manyuran tidak akan segan menekan ayahmu dengan mengobarkan gejolak meskipun dalam tataran rendah.”

“Saya berharap tekanan itu tidak pernah ada,” sahut Jalutama.

Ken Banawa mendongakkan wajah menatap langit, lalu berkata, ”Baiklah, waktu kita semakin sedikit. Kita berangkat dengan cara terpisah.”

Jalutama memandang senapati Majapahit itu setengah tidak percaya. Ia berkata, ”Dan kita biarkan perempuan ini melenggang bebas. Rencana yang bagus, Senapati!” Tiba-tiba Jalutama merendahkan lutut, bersiap menyerang Nyi Kirana.

Bondan menggeleng-geleng namun tak kalah sigap dengan Jalutama. Tubuh Bondan melesat dan siap menjadi tameng hidup Nyi Kirana. “Aku pastikan kau akan kesulitan, orang Menoreh!” desis Bondan dengan tata gerak yang terpancang kuat.

”Apakah kau akan menjadi seorang pengkhianat, Bondan?” geram Jalutama.

“Meskipun aku mati sebagai pengkhianat dalam hatimu, tetapi aku akan tetap hidup sebagai manusia,” sahut Bondan.

Dua tangan anak muda ini bergetar hebat. Sementara Ki Swandanu hanya mampu bertukar pandang dengan Ki Hanggapati. Mendadak bayangan Ken Banawa berada di antara dua anak muda yang terkadang kehilangan kendali diri.

“Bila kalian telah memilih jalan ini untuk sebuah pendapat, lakukanlah!” bentak Ken Banawa sambil memandang bergantian dua orang muda yang berada pada kedua sisinya. “Rasa percaya pun membutuhkan pengorbanan. Demikian pula sebuah keyakinan tentang kebenaran, sementara kalian masing-masing merasa benar untuk persoalan ini. Lakukanlah! Bertarunglah hingga kalian merasa puas.”

Ki Swandanu dan Ki Hanggapati merasa tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk meredam gejolak hati Bondan sekalipun mereka telah mengenalnya sejak kecil. Mereka berdua hanya berharap bahwa Jalutama akan lebih mampu mengamati dirinya sendiri.

Jalutama termangu-mangu sejenak. Kemudian ia berkata, “Apabila aku seorang diri adalah pemimpin kelompok ini, sudah barang tentu aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap menghadapi Kuntala. Tetapi aku harus menyadari apabila ada saat yang tepat untuk memaksakan kehendak.” Ia menatap tajam wajah Bondan. Jalutama menarik napas panjang, kemudian bertanya, ”Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Aku hanya mengikuti perintah atau kesepakatan,” sahut Bondan.

“Kita harus membuat kesepakatan dan aku ingin kau tidak keberatan dengan kesepakatan ini,” kata Ken Banawa dan ditujukan pada Bondan. ”Kita berpisah dalam tiga kelompok. Kelompok pertama berjalan menuju Pajang dan itu berarti Ki Hanggapati, Ki Swandanu dan Bondan. Sementara Angger Jalutama dan Nyi Kirana menuju arah Tanah Perdikan, lalu aku akan mengambil jalan memutar melewati Kademangan Grajegan.”

Bondan mengalihkan perhatiannya pada Nyi Kirana, seolah mengerti keinginan Bondan maka Nyi Kirana kemudian berkata, ”Angger Bondan masih membutuhkan perawatan, Tuan Rangga. Menurutku, lebih baik Angger Jalutama menuju Tanah Perdikan bersama Ki Swandanu berdua.”

Ki Hanggapati kemudian menyela, ”Lebih baik aku berjalan bersama Jalutama, sementara Bondan dan Nyi Kirana akan dipimpin oleh Ki Swandanu. Pertimbanganku adalah Resi Gajahyana akan lebih tenang apabila Bondan disertai Ki Swandanu yang memang lebih lama mengasuhnya.”

Orang-orang pun tersenyum mendengar kata-kata Ki Hanggapati. Karena memang itulah alasan yang dapat diterima oleh Jalutama dan disampaikan Ki Hanggapati dengan cara serta nada yang santai.

Kata Ki Swandanu kemudian, ”Ki Rangga, agaknya Ki Gede pun akan dapat menerima keterangan lebih mudah jika itu disampaikan oleh Ki Hanggapati. Mereka telah saling mengenal dan Ki Gede mempunyai hubungan dekat Ki Hanggapati.”

“Baiklah, aku kira tidak ada pendapat lagi yang perlu disampaikan dan pendapat Ki Hanggapati agaknya lebih dapat diterima.” Tatap mata Ken Banawa mengarah pada Jalutama. Merasa tidak ada pendapat yang lebih baik dari usulan Ki Hanggapati, Jalutama kemudian mengangguk. Sekalipun ia ingin tetap membawa Nyi Kirana ke hadapan ayahnya, namun Jalutama memercayai Bondan yang ia yakini akan tetap bersikap jantan.  “Aku percaya padamu, Bondan. Aku yakin kau tidak akan melepas kepercayaan itu meskipun kau mungkin merasa berhutang budi pada perempuan itu.” Tajam tatap mata Jalutama ketika berkata kepada Bondan. Sementara Bondan sendiri memang menimbang bahwa pendapat Ki Hanggapati adalah jalan tengah untuk kekalutan yang melanda Jalutama. Bondan mengangguk dalam-dalam, kemudian  memutar tubuh menuju kuda-kuda yang ditambatkan.

sang maharani, cerita silat klasik jawa, cerita silat mataram, cerita silat kerajaan jawa, rakai panangkaran
Disusul kemudian utusan Rakai Panangkaran datang di desa mereka. Pengajaran Dewi Rengganis sedikit mengubah sudut pandang Dyah Murti.

 

“Kita tidak dapat menunggu malam berganti pagi,” kata Bondan setelah berada di atas punggung kuda. Mereka pun mengikuti Bondan dan sejenak kemudian tempat itu menjadi sepi. Api unggun telah dipadamkan, jejak dan segala hal yang menandakan kehadiran mereka di tempat itu telah disamarkan oleh Ken Banawa. Dan Rakryan Rangga Ken Banawa adalah orang terakhir yang meninggalkan tanah lapang yang terletak di tepi Alas Mentaok.

Berikutnya  :
Bab 6 – Mengguncang Pajang

Wedaran Terkait

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 9

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 8

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 7

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 6

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 5

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.