Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 9

“Berguru pada siapakah orang-orang Majapahit ini, Ki Swandanu?” bertanya Jalutama.

“Entahlah, Ngger. Aku hanya merasakan sangat beruntung ketika Rakryan Rangga diizinkan menemani kami bertiga kembali ke Pajang,” jawab pelan Ki Swandanu yang berdiri bersebelahan dengan Jalutama.

“Oh,” seru Jalutama tertahan, “saya seharusnya bersikap sama dengan Ki Swandanu. Jika Yang Maha Kuasa tidak melindungi saya melalui pertemuan bersama Ki Hanggapati serta Bondan di kedai depan banjar, mungkin saya tidak berada di tempat ini.”

“Tanpa ada campur tangan kekuasaan yang lebih besar dari manusia, mungkin kejahatan di pedukuhan itu tidak akan dapat terbongkar selamanya,” Ki Swandanu berkata-kata lalu menundukkan kepala mengingat kembali peristiwa yang berakhir dengan kesedihan mendalam di hatinya. Ia kemudian memandang jasad para pengawal Menoreh dikumpulkan dalam satu liang sedalam lutut dengan lebar beberapa langkah. Meskipun tidak sempurna,  tetapi pantas sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas jasa mereka.

loading...

Lalu Jalutama dan Ki Swandanu kembali mengamati tiga lingkaran perkelahian yang belum usai dan semakin lama semakin menghebat.

Ketika itu, tenaga inti Ken Banawa telah memenuhi setiap simpul syaraf dan menjalar di seluruh pembuluh darahnya. Ki Arumbaya berhenti sekitar tiga atau empat langkah di depan Ken Banawa yang tegak dan percaya diri menjalani pertarungan. Secara mengejutkan, Ki Arumbaya meluncur deras dari jarak yang sangat dekat dengan kecepatan dahsyat! Kerisnya berputar-putar membungkus tubuh  dan terkadang tampak seperti kitiran di atas kepala. Dalam keadaan melayang itu, Ki Arumbaya menendang dada Ken Banawa. Jarak terpisah dua langkah, namun ken Banawa telah merasakan angin panas mendorong tubuhnya. Namun ia bergeming dari tempatnya.

Ki Arumbaya terus meluncur, mengira lawannya akan mengadu tenaga. Untuk benturan itulah , Ki Arumbaya menggandakan tenaga. Ken Banawa terhuyung mundur, tetapi masih belum jauh bergeser dari tempatnya.

Tiba-tiba ujung pedang Ken Banawa tergetar. Perwira Majapahit ini telah mencapai puncak pengerahan tenaga inti. Ia membiarkan hempasan angin panas Ki Arumbaya semakin menghimpit dada dan menyesakkan pernapasannya. Ken Banawa seperti diam ketika  udara panas lawan terasa makin membakar wajah Ken Banawa. Secepat kilat ia menggerakkan senjata! Seruan nyaring terdengar dari Ki Arumbaya yang tiba-tiba terjungkal roboh dengan dada tergores panjang ujung pedang Ken Banawa!

Ki Swandanu dan Jalutama membelalakkan mata. Bagaimana mereka dapat percaya? Mereka berdua bertukar pandang karena tidak melihat cara Ken Banawa melepaskan serangan. Apakah mungkin kecepatannya setara kilat di langit? Sebelumnya mereka hanya melihat sinar merah yang menyelubungi Ki Arumbaya, lalu tiba-tiba sekelebat cahaya yang menyilaukan telah menutup pandang mata mereka, kemudian Ki Arumbaya roboh bermandi darah.

Dan yang terjadi saat itu adalah hembus angin panas yang keluar dari tangan kiri Ki Arumbaya terasa seperti membakar wajah bagi Ken Banawa. Dalam jarak kurang dari dua jengkal,  tiba-tiba Ken Banawa menggetarkan pedang, lalu muncul segumpal cahaya menyilaukan setiap mata yang memandangnya, melesat berkilat. Ki Arumbaya hanya melihat gelap dalam pandangannya. Sebelum Ki Arumbaya menyadari sesuatu sedang terjadi, melalui gerakan yang melebihi kecepatan Ki Arumbaya, Ken Banawa memutar kaki kiri   selangkah ke samping lantas menebaskan pedang menyilang bawah ke atas merobek dada lawannya.

Dalam keadaan itu, Ki Swandanu dan Jalutama hanya melihat Ken Banawa tetap pada tempatnya semula. Ini menjadikan mereka semakin kagum padanya. Ketenangan yang menyembunyikan kecepatan serta ketinggian ilmu meski kemampuannya setara dengan orang-orang yang mapan pada tataran atas olah kanuragan.

Sambil menyarungkan pedang yang telah dibersihkan dengan cara menggosokkan pada rumput di bawah kaki, Ken Banawa melihat lingkaran Ki Hanggapati yang memperlihatkan kedudukan tidak seimbang. Ia juga mengalihkan mata pada Bondan dan Ra Jumantara yang berkelahi dengan tata gerak yang sulit dimengerti.

Pada lingkar perang tanding Ki Hanggapati.

Setiap gerakan Nyi Kirana adalah maut yang mengancam hidup lawan. Nyi Kirana begitu trengginas dan buas hingga benar-benar terlihat keinginannya untuk segera mengakhiri perlawanan Ki Hanggapati. Pusaran pedang Nyi Kirana bergerak dahsyat seperti badai yang dapat menggeser kedudukan Ki Hanggapati. Sementara itu, Ki Hanggpati juga sudah mengeluarkan segenap ilmu yang mendapatkan petunjuk pengembangan dari Resi Gajahyana. Sambaran angin seperti puting beliung yang timbul dari perkelahian dua orang itu membuat rumput dan tanaman-tanaman roboh seperti terlindas benda berat.

Pedang Nyi Kirana berkelebat, memukul lengan Ki Hanggapati yang memegang pedang, tetapi dengan tangkas Ki Hanggapati memutar tubuh lalu menyerang balik dengan tendangan mendatar ke lambung Nyi Kirana. Serangan mendadak itu terpaksa diterima Nyi Kirana dengan merendahkan tubuh dan tangan menyilang melindungi bagian lemah pertahanannya. Berbarengan dengan teriakan melengking Nyi Kirana, benturan keras tidak terhindari. Mereka terdorong mundur beberapa langkah.

Telah terbit!
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak

Judul : Penaklukan Panarukan

Pengarang : Ki Banjar Asman

Ukuran buku : B5

Tebal buku : 563 halaman (isi)

Diterbitkan : Indie Label

Buku fisik : tersedia sesuai permintaan.

Harga Rp 140 ribu (tidak termasuk ongkos kirim)

PDF : tersedia. Harga penggantian Rp 50 ribu

Hubungi : Ki Banjar Asman (WA)

Dalam keadaan berjongkok dengan satu lutut yang membentuk siku-siku, Nyi Kirana melemparkan pedang lalu berkata dengan suara bergetar, ”Aku tidak menyerah! Tetapi jika Ki Sanak berkeinginan membunuhku, maka bunuhlah aku.” Dalam waktu itu, ketika tatap matanya beradu pandang dengan Ki Hanggapati, Nyi Kirana merasakan keanehan sedang menjalari detak jantungnya yang berdentang cepat.

Ki Hanggapati sama sekali tidak menduga perubahan mendadak yang terjadi pada perempuan yang nyaris mengambil nyawanya. Sementara ia tidak ingin menjadi lengah, lalu katanya, ”Nyi Sanak, jika kau tidak menyerah, untuk apa kau lemparkan senjata?”

Nyi Kirana membenahi diri, duduk bersimpuh lalu diam. Dari pelupuknya, mengalir air mata. Dari sepasang matanya yang bening, ia memandang tajam Ki Hanggapati.

Tidak ada seorang pun dapat menduga isi hati orang lain. Kedudukan hati senantiasa dapat berubah, terlebih lagi pada seseorang yang sebenarnya mempunyai sebuah tujuan atau cita-cita. Seperti itulah yang dirasakan oleh Nyi Kirana. Betapapun kuat keinginannya menghabisi Ki Hanggapati tetapi rupanya ia terhalang sesuatu perasaan yang belum dapat dimengerti. Kecemasan dan keinginan untuk membunuh lawannya campur aduk dan beradu kuat dalam dadanya. Oleh karena itu, ketika ia menggerakkan seluruh kekuatan untuk menghentikan perlawanan Ki Hanggapati, Nyi Kirana seperti terhalang oleh dinding tebal yang tidak dirobohkan. Sepanjang perkelahian itu, ketika semakin gelisah, Nyi Kirana semakin meningkatkan serangan. Dalam diamnya, Nyi Kirana terrenggut oleh gelisah dan kecemasan. Meski demikian, tidak terpancar sedikit pun ketakutan dari sinar matanya.

Beberapa langkah dari tempat Nyi Kirana bersimpuh, terlihat Ra Jumantara sedang merendahkan tubuh dengan seluruh jari tangan yang tertekuk melingkar seperti cakar harimau.

Wedaran Terkait

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 8

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 7

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 6

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 5

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 4

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.