Saat Agung Sedayu mengarahkan Kinasih mengenai semua yang harus dilakukan, Panembahan Hanykrawati tampak sibuk menata gelar pengawal-pengawal yang berada di dekatnya. Ketika jajaran pengawal sudah sesuai dengan kehendaknya, pemimpin Mataram tersebut mendekati Agung Sedayu yang sedang melapisi pengawal pada bagian pertahanan yang lemah. Agung Sedayu mengetahui pergerakan Panembahan Hanykrawati, lalu meminta seorang lurah untuk menempati kedudukannya.
“Bagaimana keadaan kita saat ini?” tanya Panembahan Hanykrawati.
“Saya, Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “melihat ukuran dan jarak waktu antar serangan, saya pikir mereka lemah pada sisi tebing yang itu.” Agung Sedayu menunjuk tebing yang dimaksud dengan ibu jarinya.. “Mereka tidak segera turun untuk menyerang kita. Mereka sepertinya sedang menunggu perintah atau tanda yang memungkinkan untuk berhadapan langsung dengan kita.Dan saya pikir benda-benda lunak yang terlontar dari bagian seberang adalah senjata tersembunyi.”
“Benda-benda lunak?” tanya Panembahan Hanykrawati sambil melihat arah asal lontaran. Dengan kening berkerut, orang nomor satu Mataram bertanya lagi, “Apakah kau sudah mempunyai dugaan isi benda-benda itu?”
“Kami sudah bersiap dengan segala keadaan karena mereka bukanlah termasuk orang yang mau memperhatikan paugeran pertempuran,” jawab Agung Sedayu.
Kerutan kening Panembahan Hanykrawati tampak semakin rapat. “Aku tidak mengerti.”
“Mereka adalah bagian dari orang-orang membakar pedukuhan di Tanah Menoreh dan juga Sangkal Putung,” ucap Agung Sedayu, “maka juga terbuka kemungkinan mereka akan menggunakan api untuk mengakhiri perjalanan ini.”
Walau terkejut tapi Panembahan Hanykrawati sama sekali tidak menyiratkan kekhawatiran pada raut wajah. Ia hanya bergumam dengan kepala mengangguk-angguk pelan. “Mungkin itu adalah alasan mereka menunda atau mengulur waktu sebelum menyerang secara langsung.” Panembahan Hanykrawati merenung sejenak. Ia tidak berpikir tentang akhir dari kehidupannya atau keberlangsungan Mataram sebagai wilayah yang mengikat banyak orang di atasnya. Hanya saja, bagaimana orang-orang berusaha meraih mimpi dengan cara yang mengerikan? Bagaimana mereka dapat membuang muka dari darah-darah yang tercecer atau setumpuk mayat yang terkapar di samping kayu-kayu yang terbakar? Apakah mereka melakukan itu dengan perasaan yang tenang atau ada rasa takut yang mengiringi? Mungkinkah ada amarah saat mereka melakukan semuanya? Jantung Panembahan Hanykrawati berdentang keras tapi bukan kaena rasa gentar. Ia geram dan menahan murka karena kebengisan orang-orang yang menginginkan singgasana Mataram.
“Sepertinya Mataram berada di atas jalan darah. Apakah akan begini selamanya?” desis Panembahan Hanykrawati dalam hati. Perlahan ia menarik napas panjang, lalu beringsut mundur, kemudian memandang Agung Sedayu sambil bertanya, ”Lalu terhadap benda-benda lunak itu, bagaimana persiapan kalian?”
“Kami membawa beberapa kantung yang berisi tanah dan pasir. Bila nyata mereka membakar kita di sini, maka sesuatu dapat dilakukan untuk memperlambat jalannya api. Pangeran Selarong pun telah menebar pasukan dalam gelar emprit neba. Mereka akan menyapu setiap penyerbu yang datang pertama kali,” kata Agung Sedayu lalu memandang tebing seberang. Kemudian meneruskan penjelasannya, “Kinasih dan Ki Baya Aji sedang menuju tebing dari samping kiri rombongan. Mereka akan menyergap dari samping bila lawan terlebih dulu menuruni tebing. Ki Baya Aji, saya pastikan akan menghunus lawan dari belakang bila benar-benar terlambat menghadang. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat lari dari gelanggang yang telah kami siapkan.”
“Hmmm… bagaimana dengan sisi satunya?”
“Saya, Panembahan. Ki Anjangsan telah mendapat perintah mengambil jalan memutar. Pangeran Selarong menghendaki demikian agar pergerakan prajurit Mataram tidak terbaca lawan yang berada di tempat yang menguntungkan.”
“Jadi, yang berada di depan kita, yang sedang berjibaku itu adalah orang-orang yang sengaja ditinggalkan untuk mengundang mereka masuk dalam jebakan?”
“Seperti itulah yang kami susun bersama, Panembahan.”
Panembahan Hanykrawati menampakkan ketidaksetujuan pada sorot matanya tapi bila putranya, yaitu Pangeran Selarong, telah setuju dengan siasat yang dijelaskan sebagian oleh Agung Sedayu maka tidak ada pilihan lagi selain mengikuti keputusan putranya itu.
Pada masa penyergapan itu, Ki Tumenggung Wilaguna tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Usaha yang muncul dari rancangannya serta beberapa pemuka lain seperti akan meraih hasil yang sesuai dengan harapan. Menghujani rombongan Panembahan Hanykrawati dengan anak panah serta lembing benar-benar membuat barisan itu porak poranda. Dari tempatnya, Ki Tumenggung Wilaguna serta sejumlah senapati pasukan Raden Atmandaru beranggapan bahwa mereka telah membinasakan sebagian kekuatan lawan.
“Di bawah kita akan muncul lautan api. Bila kita bernasib baik, maka kita tidak akan dapat mengenali tanda kekhususan Mas Jolang. Pakaian atau mungkin kulitnya akan hangus terbakar, begitu pula anjing-anjing yang hidup darinya. Mas Jolang akan menerima derita yang berganda. Kehancuran pasukannya yang pasti berteriak-teriak dengan mengerikan, lalu ia akan menyaksikan dirinya terbakar hidup-hidup!” kata Ki Tumenggung Wilaguna dengan suara lantang.
“Apakah kita akan mengubur mereka, Ki Tumenggung?” tanya seseorang dari ujung barisan.
“Tidak. Biarlah abu mereka terhempas angin lalu menjadi orang-orang yang dilupakan selamanya,” sahut Ki Tumenggung Wilaguna dengan nada dingin. Setelah diam sejenak, orang ini berseru lagi, “Sisakan bagiku kepala-kepala yang berwajah muram!”
Ki Hariman pun bergidik. Bulu halus di tengkuknya seketika meremang. “Laki-laki yang mengerikan,” katanya dalam hati sambil membayangkan kekejaman Ki Tumenggung Wilaguna bila keinginan itu dapat terjadi.
Namun dalam waktu yang tidak lama, ketika mereka sedang mempersiapkan diri dengan panah berujung api, maka para anak buah Ki Tumenggung Wilaguna pun terkejut. Ternyata dari samping mereka tiba-tiba muncul sejumlah kecil prajurit Mataram! Di bawah kendali Ki Anjangsana, prajurit Mataram yang rata-rata berpangkat lurah, merayapi tebing dengan kecepatan luar biasa. Sehingga mereka dapat tiba di puncak tebing dalam waktu singkat!
“Tahan mereka! Habisi mereka!” teriak Ki Tumenggung Wilaguna. Seketika orang-orang dari kelompok Raden Atmandaru pun mengalihkan perhatian pada prajurit Mataram yang menyerang mereka tanpa banyak kata. Benturan keras tidak dapat dihindarkan. Keinginan kadang-kadang justru bertemu dengan kenyataan yang bertolak belakang dan begitu pahit dirasakan. Begitulah suasana jiwani Ki Tumenggung Wilaguna dan anak buahnya yang sangat yakin akan mudah mengubur Panembahan Hanykrawati di celah sempit yang menghubungkan kotaraja dengan Alas Krapyak. Prajurit Mataram, meski hanya sekelompok kecil orang, menerjang lawan dengan kekuatan seperti air bah. Mereka segera mengikat lawan dalam perkelahian yang tidak seimbang dari segi jumlah.
Siasat yang dirancang bersama antara Pangeran Selarong dan Agung Sedayu pun membuahkan hasil. Mereka berhasil mengurangi tekanan lawan. Kelompok yang dipimpin Ki Anjangsana bertempur tanpa rasa gentar meski jumlah lawan jauh lebih banyak.
Darah Ki Tumenggung Wilaguna mendesir ketika Ki Lurah Anjangsana tiba-tiba berdiri di depannya dengan sikap berwibawa. Sebenarnya, dengan ketajaman pikir, Ki Tumenggung Wilaguna dapat dengan mudah mengatasi keadaan tapi orang yangmenghadangnya adalah lurah yang berkemampuan nyaris seimbang dengan rangga. Sedangkan dirinya sendiri, meski berkedudukan sebagai tumenggung, tapi ia tidak terlalu sering terlihat dalam latihan peperangan atau kanuragan. Selain itu, kemampuan rata-rata prajurit Mataram ternyata setara dengan dua atau tiga orang pengikutnya. Sudah barang tentu itu akan menimbulkan kesulitan berlipat-lipat baginya. Tidak ada jalan bagi Ki Tumenggung Wilaguna selain bertempur hingga darah penghabisan. Seandainya ia dapat keluar dalam keadaan hidup, Mataram akan mengejar lalu menjatuhinya hukuman mati. Dalam waktu itu, terbersit penyesalan karena memaksakan keinginan yang menyimpang dari kesepakatan dengan Raden Atmandaru. Semula, ia menawarkan diri untuk melakukan penghadangan atau setidaknya mengurangi jumlah kekuatan yang melekat pada Panembahan Hanykrawati. Namun kelonggaran yang didapatnya justru memancingnya untuk berbuat lebih jauh.
Ki Anjangsana menunggu serangan Ki Tumenggung Wilaguna dengan tatapan mata yang sekali-kali menebar ke sekitar. Orang-orang yang melawan prajurit Mataram seperti bertarung tanpa perhitungan. Apakah mereka tidak sabar meraih kemenangan atau keputusasaan? Mereka cukup terkejut dengan kemampuan prajurit Mataram yang tangguh walau dikeroyok dua atau tiga orang. Tentu saja yang menjadi sumber kekuatan kelompok Ki Anjangsana adalah semangat yang tetap menyala demi menjaga Mataram. Seandainya mereka harus mati terkapar, sesungguhnya mereka akan menjadi kebanggan serta menjadi yang terdepan sebagai panutan. Semangat luar biasa seperti itu tidak dimiliki oleh orang-orang yang bergabung dalam barisan Ki Tumenggung Wilaguna. Mereka bergerak dengan landasan janji yang belum terbukti.
Setiap orang yang di bawah kendali Ki Tumenggung Wilaguna seakan sudah mengetahui akhir dari nasib masing-masing. Mereka menaruh harapan pada kecerdikan pemimpinnya dan keunggulan ilmu Ki Hariman yang kabarnya seimbang dengan Agung Sedayu. Tapi, kapankah orang itu bergerak? Sejak pecah perkelahian, Ki Hariman masih merunduk sambil mengamati perkembangan di seberang dan seperti mencari-cari seseorang di antara kekacauan yang terjadi di bagian bawah tebing.
Sebenarnyalah Ki Hariman akan melibas kelompok Ki Anjangsana dengan sepenuh hati. Namun ada satu orang yang membayangi dan benar-benar mencemaskannya. Semenjak bergabung pada kelompok Ki Wilaguna, ia berharap agar tidak bertemu dengan orang itu. Ia merasa belum selesai menyerap seluruh isi kitab Kiai Gringsing bagian kanuragan, lalu bagaimana dapat berkelahi satu lawan satu dengan orang itu?
Sama-sama berdiri tegak, mereka beradu pandang saat senjata berdentang dan berayun-ayun di sekitar. Ki Anjangsana lurus menatap langsung mata Ki Tumenggung Wilaguna. Ia tidak mengetahui kelebihan maupun kekurangan ilmu orang yang akan menjadi lawannya. Namun jika memperhatikan bahwa lawannya tidak terburu mengeluarkan senjata atau sejurus olah kanuragan, Ki Anjangsana pun tidak berani gegabah menganggap enteng. “Apakah Ki Tumenggung sudah berpikir panjang mengenai akibat dari keputusan untuk mendukung Raden Atmandaru?” tanya Ki Anjangsana.
Ki Tumenggung Wilaguna terkejut lalu bertanya dalam hati, “Bagaimana orang itu mengetahui kedudukanku?”
Namun sebelum ia membuka mulut, Ki Anjangsana berkata lagi, “Tidak, tidak perlu engkau heran atau penasaran. Ciri pakaianmu sudah menunjukkan itu. Dan petugas sandi Mataram sudah menghimpun banyak keterangan dan kami juga telah mencapai akhir penyelidikan tentang siapa-siapa yang berbalik belakang. Jangan khawatirkan itu, Ki.” Nada suara Ki Anjangsana benar-benar meyakinkan bahwa Mataram sudah memegang susunan nama-nama orang yang bersekongkol dengan Raden Atmandaru.
Jasa katering yang juga menerima pesanan nasi bungkus jumlah banyak untuk sedekah atau hajatan kampung.
“Jika demikian, lalu apa yang kau tunggu, Prajurit? Aku dan mereka pun telah memahami alasan dari keputusan Panembahan Senapati yang menunjuk Mas Jolang sebagai penerusnya.” Ki Tumenggung Wilaguna mulai menyerang dengan kata-kata untuk mengacaukan persiapan jiwani musuhnya.