Benturan keras pun terjadi sangat cepat! Lebih keras daripada sebelum kedatangan orang ketiga. Lingkar perkelahian mereka kadang-kadang meluas, kadang pula menyempit. Mereka saling sambar dan menerjang tanpa kata-kata yang tidak penting. Pertempuran berlangsung sengit dan semakin berbahaya walau mereka berkelahi tanpa senjata. Sambaran tangan dan kaki mereka benar-benar dapat mematahkan sebatang kayu yang keras. Kaki mereka bergerak lincah dan cepat, berloncatan sangat cepat dengan lengan bergerak-gerak yang kadang terlihat seperti hantaman palu besi.
Keluasan pengalaman tempur Ki Sekar Tawang memberi tekanan sendiri pada Raden Mas Rangsang yang lambat laun mulai tersudut. Gerakan Ki Sekar Tawang yang berlandaskan pada ilmu Sekar Lembayung terasa seperti hembus angin yang lembut atau jauh dari sifat keras dan kaku. Sepasang lengan Ki Sekar Tawang berayun-ayun seperti patukan ular berbisa yang tiba-tiba menyambar dari bawah seperti jilatan api yang tersiram minyak. Bagi Ki Sekar Tawang walau sudah memperhitungkan segala kemungkinan hingga dapat menyudutkan sang putra raja, tetaplah tidak mudah untuk dapat melepaskan diri dari tangan pangeran Mataram tersebut.
Pengungkapan tata kanuragan dari orang ketiga yang terjadi dalam waktu singkat itu memberi pesan pada Raden Mas Rangsang bahwa ia bukanlah orang yang mempunyai belas kasihan. Lelaki itu dapat memisahkan bagian tubuh lawan tanpa berkedip dengan senyum menghias wajah. Lelaki garang, yang mungkin sepantaran usia dengan Agung Sedayu, datang membantu Ki Sekar Tawang pun berpikir bahwa sangat sulit menembus pertahanan Raden Mas Rangsang. “Aku belum merasakan adanya getaran yang berakibat pada munculnya pelindung diri pada diri anak muda ini,” kata lelaki itu dalam hati, “tapi mengapa begitu sulit mendaratkan pukulan dan tendangan pada kepalanya?” Sejenak ia memutuskan untuk melonggarkan tekanan, tapi Raden Mas Rangsang segera menggeliat lalu melepaskan serangan balik yang nyaris menghilangkan nyawa laki-laki itu. Dan demikianlah kemampuan Raden Mas Rangsang seolah memberi tantangan khusus bagi dua lawannya agar bersegera mengalahkannya.
“Berhati-hatilah, Ki Sindur Jombor!” seru Ki Sekar Tawang.
Pertarungan pun meningkat dahsyat dengan tekanan demi tekanan yang semakin menghimpit putra raja Mataram. Waktu tetap bergulir seperti kerikil kecil yang menggelinding deras dari puncak bukit tapi Ki Sekar Tawang dan kawannya belum menemukan titik lemah Raden Mas Rangsang. Mereka berdua hanya merasa harus lebih keras mengerahkan kemampuan guna menundukkan juru siasat yang dikabarkan mempunyai kecerdasan setara Ki Patih Mandaraka itu.
Sekejap kemudian seolah sudah mencapai kata sepakat, Ki Sekar Tawang dan kawannya berpencar lalu menyerang dari arah yang berbeda. Keadaan semakin sulit saja bagi Raden Mas Rangsang hingga serangkum pusaran angin dahsyat datang dari arah alun-alun kota!
Terdengar lengking tinggi suara yang menyakitkan telinga beriringan dengan sekelebat tubuh yang meluncur deras lalu mengubah keseimbangan pertempuran!
“Maafkan saya, Tuan,” kata pendatang baru yang menyerang dengan cara mengejutkan.
“Terima kasih,” sahut Raden Mas Rangsang dengan kepala terangguk. Ia menyukai kecerdasan Kinasih yang dapat menutup penyamarannya sehingga musuh-musuh yang mengelilinginya tidak mengetahui dirinya sebagai pangeran Mataram.
Derai tawa merendahkan keluar dari mulut kawan Ki Sekar Tawang, lalu katanya, “”Lihat, hanya seorang pengecut yang terbuka menerima pertolongan seorang perempuan!”
“Jaga mulutmu!” Kinasih bersuara lantang sambil meluncurkan serangan yang sepadan dengan serangannya yang pertama.
Kemudian, yang terjadi selanjutnya seperti menjadi bukti kuat bahwa Ki Sekar Tawang adalah orang yang benar-benar sangat licin memanfaatkan kesempatan dalam waktu yang sangat sempit! Kedatangan Kinasih serta percakapan singkat yang terjadi setelahnya seperti memberi jalan bagi tangan kanan Raden Atmandaru untuk meninggalkan pertempuran. Gebrakan dahsyat Kinasih yang ditujukan pada Ki Sekar Tawang segera disambut hebat oleh Ki Sindur Jombor yang sepertinya harus meladeni dua orang berkemampuan tinggi sebagai lawan. Tapi itu bukan sesuatu yang mengecilkan hatinya karena melayani Raden Atmandaru telah terpatri di dalam dadanya sebagai pengabdian terbaik. Ditunjang kecepatan yang mumpuni, dalam sekejap mata, Ki Sekar Tawang sudah berjarak cukup jauh dari jangkauan serangan Raden Mas Rangsang bila dilancarkan mendadak!
Dengan hati geram karena belum dapat menemukan titik lemah Raden Mas Rangsang, Ki Sindur Jombor mengerahkan segenap kemampuan dengan tujuan mencegah putra raja Mataram itu mengejar Ki Sekar Tawang. Tapi Kinasih sigap membuat irisan yang sanggup memotong langkah Ki Sindur Jombor.
“Tuan,” kata Kinasih dengan nada suara tertentu.
“Aku mengerti,” sahut Raden Mas Rangsang lalu bergegas beranjak pergi meninggalkan gelanggang dengan gerakan menakjubkan. Diawali dengan lutut merendah, putra raja Mataram tersebut lantas menjejakkan kaki pada permukaan tanah, lalu melesat seakan terbang setinggi pinggang, menyusup di bawah Kinasih yang sedang menerjang garang Ki Sindur Jombor.
Walau dapat dikatakan masih mempunyai sedikit pengalaman bertarung, tapi segenap tata kanuragan yang diajarkan Nyi Banyak Patra seolah menutup kekurangan itu. Kinasih berkelahi dengan kedahsyatan yang tidak terkira. Bila melihat sepasang lengan yang berkulit halus, orang-orang tidak akan menyangka bahwa kecadasan batu gunung di balik itu. Bila memperhatikan gemulai langkah kakinya, setiap orang yang menjadi lawannya akan terkecoh.
Ki Sindur Jombor memutuskan untuk mengendur sejenak, maka dengan cepat ia terdesak lalu berada di bawah serangan Kinasih yang meledak-ledak. Seketika ia menggeram! Ia benar-benar terkejut tiada kepalang karena kibasan lengan dan kaki perempuan muda yang menjadi lawannya itu sanggup menimbulkan angin tajam. Sepasang tangan dan kaki Kinasih tiba-tiba terlihat seperti puluhan pedang tajam yang memburunya dari segala penjuru. Ia menggeleng lalu bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah ia tidak mempunyai senjata?” Pertanyaan itu mendadak muncul ketika menyadari bahwa belum terjadi adu senjata sepanjang waktu perkelahian.
“Anak iblis! Dari perguruan mana engkau berasal?” tanya Ki Sindur Jomobor dengan nada membentak.
“Dari perguruan yang sama dengan iblis,” jawab Kinasih sekenanya tanpa mengurangi daya gedor. Ia tahu akibat yang dapat membahayakannya bila terjebak dalam pembicaraan di sela-sela tanding.
Ki Sindur Jombor menarik napas dalam-dalam, meredakan kemarahan yang mulai meledak-ledak di dalam dadanya. Sikap dan nada bicara Kinasih benar-benar terkesan merendahkannya. Di dalam pikirannya, Ki Sindur Jombor maruh kekaguman pada Mataram yang tiada henti melahirkan anak-anak muda tangguh yang pilih tanding, meski demikian, ia akan mencoba terakhir kali. “Iblis tidak pernah berguru di Mataram dan juga tidak pernah mendirikan perguruan di tanah ini,” ucap Ki Sindur Jombor.
“Lalu, mengapa engkau bertanya padaku tentang guruku?” ketus Kinasih menyahut. “Tapi sepertinya engkau sangat mengenal iblis, Ki Sanak. Dan, bukan tidak mungkin engkau adalah teman baiknya. Baiklah, meski aku tidak berpikir untuk membunuhmu, tapi, marilah kita lebih bersungguh-sungguh dalam perkelahian ini dan aku kira engkau akan mengetahui ilmu-ilmu yang segera keluar dariku!”
Pertarungan antara Kinasih dengan pembantu Raden Atmandaru kian meruncing. Kepal tangan dan otot wajah Ki Sindur Jombor tampak menegang. Ia meraung, menjejakkan telapak kaki, menerkam Kinasih dengan sgenap kemampuan. Demi harga diri, Ki Sindur Jombor tidak mengeluarkan senjata karena Kinasih masih berkelahi dengan tangan kosong.
Kinasih bergeser setapak, lalu mundur selangkah kemudian dengan tangkas menyusupkan serangan balasan berusaha membuka pertahanan lawan.
“Cah edan!” seru Ki Sindur Jombor yang terkejut dengan keberanian serta kecermatan Kinasih membaca arah serangan. Ia sedikit menggeliat lalu menjauh karena angin kibasan Kinasih sanggup merobek kulit. Tapi Kinasih tidak surut dengan kegagalannya. Sebaliknya, ia perlahan-l;ahan mengubah cara bertempur dengan putaran-putaran tubuh yang semakin cepat, seperti sedang berusaha membuat angin prahara yang dapat mengepung lawannya.
Terbukalah mata Ki Sindur Jombor bahwa ucapan Kinasih mungkin ada benarnya karena perempuan muda itu dapat mengimbangi tata geraknya yang kian meningkat cepat. Selain itu pula, setiap kali mereka beradu tenaga, Ki Sindur Jombor merasakan getaran yang hebat seakan sedang mengganggu jalur darahnya. Maka dengan demikian, Kinasih tidak berada di bawah tingkat tenaga cadangannya. Bahkan ia tidak berani menduga-duga puncak kemampuan Kinasih. Berdasarkan pengalaman yang telah mendarah daging, Ki Sindur Jombor sadar Kinasih belum berada pada tingkat tertinggi dalam pengerahan ilmu. “Ini benar-benar kegilaan yang luar biasa! Sedikit kelengahan, aku akan terbunuh di tangannya,” desis Ki Sindur Jombor dalam hati.
Ketika kedudukannya sedikit agak jauh dari Kinasih, Ki Sindur Jombor mengucap kalimat yang dapat mengusik ketenangan lawannya yang berusia jauh lebih muda darinya, “Tidakkah kau saying pada kecantikan dan kemolekan tubuhmu, cah ayu? Engkau dapat tinggal selamanya di sampingku, tanpa perlu lagi menyabung nyawa demi Mataram atau siapa saja selain diriku.”
“Aku percaya kau memang terpikat dengan kecantikanku, tapi ucapanmu itu hanya untuk menutupi ketakutanmu akan mati di tanganku!” Demikian Kinasih menutup ucapan dengan kata-kata yang membakar hati Ki Sindur Jombor.
Pembantu Raden Atmandaru lantas menerkam dengan garang lalu menghujani Kinasih dengan serangan yang nggrigisi. Dua tangan Ki Sindur Jombor bergerak-gerak, memukul dan berputar-putar seperti baling-baling. Meski begitu, Kinasih cukup bernyali dengan tangkisan-tangkisan yang sangat kuat hingga pertarungan mereka terjadi dalam jarak sangat dekat. Pada setiap arah serangan Ki Sindur Jombor mengarah pasti membentur tangan atau kaki Kinasih yang terlambari tenaga cadangan yang hebat.
“Anak ini tidak mengenal takut sama sekali dan tidak pula memperlihatkan jerih pada wajahnya,” desis Ki Sindur Jombor dalam hati. Dari pandangannya, Kinasih seperti memang tidak membawa senjata yang dilekatkan pada pinggang atau punggung. Maka Ki Sindur Jombor semakin ketat menekan Kinasih melalui serangan-serangan yang semakin kuat dan gencar. Menurutnya, Kinasih benar-benar percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Saat ilmunya nyaris mencapai puncak, Ki Sindur Jombor melihat Kinasih mulai banyak menghindari serangannya. Tangkisan-tangkisan Kinasih berubah menjadi gerakan-gerakan yang tidak beraturan demi menghindari serangan Ki Sindur Jombor.
Dengan keyakinan bahwa serangan berikutnya tidak akan dapat dihindari Kinasih, Ki Sindur Jombor meningkatkan kecepatan dengan maksud melebihi gerakan Kinasih. Usahanya berhasil! Kinasih terus menerus bergeser surut. Ki Sindur Jombor mendorongkan tangan kanannya dengan lambaran tenaga cadangan mengarah langsung ke dada Kinasih dengan kecepatan penuh.
Apabila Kinasih menangkisnya dengan cara memukul ke samping, ke atas atau ke bawah tentu daya dorong Ki Sindur Jombor tetap mampu menghempas murid Nyi Banyak Patra itu. Bahkan menjadi ancaman besar jika Ki Sindur Jombor sanggup mengubah arah serangan secepat kilat pada jarak yang semakin dekat. Jika Kinasih melompat ke samping atau berjumpalitan di udara tentu tidak membawa arti pula karena serangan itu melaju sangat cepat. Nyaris tidak ada waktu untuk menghindar!
Yang dilihat Ki Sindur Jombor adalah Kinasih sepertinya akan menerima serangannya dengan tangkisan. Untuk itu, ia merasa harus bergembira dengan kemenangan yang mungkin menjadi awal yang baik bagi perkembangan selanjutnya di Alas Krapyak. Dengan aliran penuh tenaga cadangan ditambah kecepatan yang meningkat berlipat-lipat, Ki Sindur Jombor dapat meruntuhkan dinding cadas lereng Merbabu. Apalagi jika itu ditujukan pada perempuan muda yang bertulang lunak, bukankah kemenangan sudah berada dalam genggaman?
Kinasih memutar pinggang, menutup dada dengan cara menghadap samping sambil menyilangkan tangan kiri. Sementara itu, jari tangan kanan telah terkepal. Sorot matanya menajam dan tegang. Tidak tampak lagi rona jelita yang selama ini menghias wajahnya. Seluruh budi dan pikiran Kinasih terpusat pada satu tujuan ; hempaskan lawan!
Pada jarak satu lengan, udara yang terdorong tenaga cadangan Ki Sindur Jombor lebih dulu menyengat Kinasih dengan rasa panas. Murid Nyi Ageng Banyak Patra masih bergeming pada tempatnya. Kurang dari satu lengan kemudian. udara yang mengitari Kinasih terasa seperti bergetar dan seolah-olah mengandung uap panas tapi perempuan muda itu tetap bertahan dalam kedudukannya. Kinasih menggeliat ketika tapak tangan Ki Sindur Jombor sejengkal lebih sedikit. Kinasih menggerakkan pinggang. Sekejap di depan, ia beradu wajah dengan dada tegak seakan-akan hendak menerima pukulan hebat Ki Sindur Jombor. Kurang dari sekejap, Kinasih menyambut serangan Ki Sindur Jombor dengan sinar mata yang aneh dan dengan telapak tangan terbuka!
Ki Sindur Jombor terkejut dengan perubahan yang dilakukan Kinasih secara mendadak. Lebih terkejut lagi dengan darah yang seolah lenyap dari tubuhnya adalah ketika ia beradu pandang dengan Kinasih. Betapa seluruh kekuatannya seperti terbetot oleh daya hisap sangat hebat yang memancar dari sorot mata Kinasih! Namun Ki Sindur Jombor tidak dapat menarik atau membatalkan serangan. Tubuhnya telah melaju sangat deras. Tenaga cadangan telah menyelubungi sekujur tubuhnya. Tidak ada pilihan lagi selain membenturkan kekuatan.
Ternyata kemampuan Kinasih bukan kemampuan atau ilmu yang banyak diajarkan oleh perguruan olah kanuragan. Bukan pula ilmu yang mudah dipelajari secara umum dan biasa oleh seseorang. Kinasih menyadapnya dari Nyi Ageng Banyak Patra yang merupakan putri Panembahan Senapati yang mengajarinya secara khusus, sehingga dirinya akan menjadi kekuatan yang diperhitungkan pada masa mendatang. Dentuman lembut seketika terdengar. Udara bergetar dengan gelombang-gelombang tenaga yang bergumpal-gumpal tapi tak tampak oleh mata wadag. Lutut sebelah Kinasih tampak terbenam tapi ia tidak bergeser dari tempatnya semula. Sedangkan Ki Sindur Jombor melemparkan diri ke samping dengan tujuan mengurangi gelombang tenaga Kinasih yang menyusup halus ketika menggapainya.
“Siapakah guru anak ini?” Ki Sindur Jombor menatap lekat Kinasih yang belum bangkit berdiri dengan tatap mata takjub sekaligus tidak percaya dengan yang dialaminya. Masih dengan kengerian yang belum segera beranjak pergi, Ki Sindur Jombor sadar bahwa ilmu yang diungkap Kinasih termasuk sudah jarang ditemui bila tidak dikatakan sudah musnah. “Aku hanya mendengar dari pembicaraan orang-orang, tapi seandainya benar itu adalah Suwung Bawana, apakah anak gadis ini masih keturunan Ki Getas Pendawa atau kerabat Mas Jolang?” Dalam waktu itu, Ki Sindur Jombor sadar bahwa tidak ada lagi jalan untuk mundur. Ia hanya mempunyai dua pilihan, membunuh atau terbunuh! Bila ia dapat selamat dari terjangan halus tenaga cadangan Kinasih, maka itu karena keunggulannya membuat perkiraan waktu serangan dan pengalaman tanding. Di luar dua hal itu, Ki Sindur Jombor merasa telah bertemu dengan lawan yang sebanding atau sedikit lebih unggul dari dirinya sendiri. Demikianlah dengan rasa perih dan kesemutan yang hebat pada dua tangannya, Ki Sindur Jombor berbenah diri lalu segera bersiap untuk babak penghabisan.