Pertarungan tangan kosong itu sudah berlangsung cukup lama. Kesabaran masing-masing orang sama-sama mendapatkan ujian. Ki Sanden Merti sepertinya mempunyai ketahanan jiwani yang memadai dengan tetap berkelahi tanpa senjata. Agung Sedayu pun mengagumi kekuatan hati lawannya. Dalam jangka waktu yang sebanding, orang-orang – yang pernah melawan Agung Sedayu – kebanyakan sudah meloloskan senjata. Namun Ki Sanden Merti memang menempati tingkatan yang berbeda. Kematangannya dalam olah kanuragan benar-benar tidak perlu ditanyakan lagi. Semua dapat dilihat dari kekayaan tata gerak yang beragam dan lengkap!
Ki Sanden Merti mampu mengarahkan serangan pada dua titik sasaran secara bersamaan tanpa membuat lemah pertahanan. Agung Sedayu sadar hal itu tapi sedemikian kuat dan derasnya kemampuan itu, senapati ini mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan meski tidak dapat dikatakan berada di bawah lawannya.
Agung Sedayu yang berniat untuk melapisi tubuh dengan ilmu kebal ternyata harus mengurungkannya. Awal mula gesekan angin tenaga Ki Sanden Merti terasa seperti garukan seujung kuku saja, ketika pengerahan ilmu semakin meningkat maka terasa seperti ujung belati yang digoreskan pada kulit. Pada saat mereka membenturkan tenaga secara langsung yaitu ketika kepalan tangan Ki Sanden Merti menabrak tinju Agung Sedayu tanpa jarak, semburat tenaga mereka mampu mengoyak kulit-kulit pohon dan merobek daun-daun yang melayang-layang di sekitar mereka! Namun kemudian Ki Sanden Merti memindahkan jalur pengungkapan ilmunya. Maka peralihan itu pun mengejutkan Agung Sedayu! Betapa irisan-irisan tajam itu berubah menjadi hantaman benda tumpul yang datang bertalu-talu, menggetarkan setiap bagian persendian dan mengguncang bagian dalam tubuhnya.
“Ilmu apakah ini?” tanya Agung Sedayu dalam hati. Ia belum pernah menghadapai lawan yang menguasai kemampuan yang janggal itu.
Ki Sanden Merti sama sekali tidak menunjukkan kelegaan pada garis wajahnya. Segalanya seperti biasa saja. Dari awal, sejak pertarungan itu dimulai, Ki Sanden Merti telah meneguhkan tekad bahwa terlepas dari orang terakhir yang sanggup berdiri ketika perkelahian usai, mati atau hidup sudah bukan persoalan baginya. Jika ia hidup, Mataram pasti akan menghukumnya sebagai pembelot. Jika Mataram akhirnya menyerah pada Raden Atmandaru, ia tidak mempunyai keyakinan bahwa orang itu tetap percaya padanya. Karena alasan itu, maka Ki Sanden Merti mengerahkan segenap kemampuan walau sedikit tertatih-tatih mencapai puncak ilmunya.
Setelah berpikir cepat karena perubahan ilmu yang dikerahkan lawan, Agung Sedayu pun mengetrapkan ilmu kebalnya. Itu harus dilakukannya karena sekuat-kuat daya tahannya, tapi jika terus menerus beradu tenaga dan tubuhnya seperti dihantam benda-benda berat maka pelapis harus dimunculkan. Udara dengan cepat meningkat panas seiring dengan tubuh Agung Sedayu yang mulai terlapisi ilmu kebal yang setara dengan Lembu Sekilan. Ternyata Agung Sedayu tidak berhenti dalam pengerahan bagian-bagian ilmu yang masih tersembunyi. Kecepatan senapati pasukan khusus itu pun meningkat. Kelebat tubuhnya semakin sulit diikuti mata wadag orang-orang yang berkemampuan memadai seperti Ki Banyudana.
Ki Sanden Merti mendengus. Ia sudah mendengar ketinggian ilmu lawannya, maka peningkatan kecepatan Agung Sedayu sama sekali tidak membuatnya terkejut. Sebaliknya, Ki Sanden Merti pun menggandakan pergerakannya. Sekejap mata kemudian, dua bayangan berkelebat, saling membelit, saling memutari hingga terlihat seperti dua pusaran angin yang saling bergulungan! Debu-debu dan dedaunan kering sekitar mereka pun membumbung tinggi lalu turut berputar-putar seakan sedang terjadi angin lesus di tempat itu. mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu. Tidak ada lagi kulit pohon yang terkelupas tapi hawa pukulan terus menyambar-nyambar bahkan semakin dahsyat. Jejak-jejak kaki karena tumit yang menghunjam cukup dalam saat tendangan-tendangan yang mengayun dari atas tidak mengenai sasaran. Pertarungan jarak dekat dan sangat rumit digambarkan dalam bayangan benar-benar memperlihatkan tingkatan dua orang tersebut.
Pada bagian lembah, para pengikut Raden Atmandaru sepertinya sudah terlatih untuk melakukan penyamaran lalu membuat kerusuhan dari dalam. Meski mereka bukan tergolong orang-orang berilmu tinggi tapi kekacauan tetaplah kekacauan. Terlebih lagi kekacauan itu ditujukan untuk menghabisi Panembahan Hanykrawati, maka mereka dengan liar menyerang setiap orang di dalam iring-iringan yang berada di sisi yang sama dengan mereka. Tanpa perintah ataupun gelar yang mereka terapkan. Namun begitu, para pengikut Raden Atmandaru itu lebih condong sedang menjalankan gelar pasir wutah. Mereka cepat berpencaran lalu bertarung per kelompok kecuali dua pemimpin mereka yaitu Ki Sawala dan Ki Kebo Saloka.
Dua orang kepercayaan Raden Atmandaru itu mengarahkan pengikutnya dengan perintah-perintah yang dilantangkan. Apalagi setelah melihat sekat-sekat yang disusun oleh Ki Baya Aji, maka tidak ada jalan lain kecuali mati satu, mati semua karena dapat bertahan hidup justru lebih tidak masuk akal saat itu. Mereka pun cepat menggempur dinding Mataram tapi ternyata dinding itu adalah kekuatan yang luar biasa itu. Anak buah Raden Atmandaru pun kesulitan menembusnya. Serangan liar yang dilancarkan secara cepat dan deras pun seperti tumpahan air yang menyebar cepat lalu mengering. Sejumlah kelompok anak buah Raden Atmandaru pun berada di bawah tekanan prajurit Mataram yang mapan dalam bekerja sama. Hanya dalam waktu yang singkat, para pengawal Panembahan Hanykrawati dapat membalik keadaan. Sepak terjang anak buah Raden Atmandaru dapat dihentikan lalu terjadilah peristiwa mengerikan meski tidak dapat disebut sebagai pembantaian. Mayat-mayat cepat berserakan dengan dada atau punggung tercabik senjata prajurit Mataram. Yang tersisa kemudian adalah Ki Sawala dan Ki Kebo Saloka.
Ki Sawala tetap teguh dalam serangannya yang luar biasa. Ia tidak menghiraukan teriakan orang-orang yang mulai tumbang di sekitarnya. Ki Sawala benar-benar mengabaikan keadaan. Segenap perhatiannya tercurah pada usahanya menembus pertahanan berlapis yang melingkari Panembahan Hanykrawati. Dan kemampuannya pun memadai sehingga ia dapat beberapa kali nyaris melukai Panembahan Hanykrawati. “Aku bergerak atas kemauan dan keinginanku sendiri. Aku tidak ingin kau menyerah padaku karena kematianmu adalah kebaikan bagi seluruh Mataram, Mas Jolang!” seru Ki Sawala. Ia melantangkan pekik perang meski bernada keputusasaan. Lebih baik mati daripada menjadi tawanan, pikir Ki Sawala. Kegagalan demi kegagalan dari keonaran yang direncanakan Raden Atmandaru dan pembantunya seperti menjadi api yang membakar kayu-kayu kering di tepi jalan menuju Alas Mentaok. Semangat membara Ki Sawala seakan berubah menjadi kegilaan yang tidak terkira. Laki-laki ini mengamuk tanpa perhitungan dan beban lagi. Wajahnya yang berbasuh debu dan cipratan darah seakan menampakkan menjadi gambar lain dari makhluk yang disebut manusia. Dengan kekuatan ganda, ia mencabut senjatanya – keris sepanjang dua jengkal dan dan berlekuk tujuh – lalu merangsek jajaran rapi pengawal Panembahan Hanykrawati dengan serangan berbahaya.
“Perhatikan aba-aba!” seru Panembahan Hanykrawati dari tengah lingkaran.
“Cepak!” sahut para pengawal yang menjadi barisan melingkar.
Para pengawal sudah menyiapkan diri dengan perintah perang yang langsung datang dari sisi Panembahan Hanykrawati. Mereka tak digempur dengan kebingungan meski Pangeran Selarong masih berada di tengah-tengah mereka. Keadaan sudah berubah ketika sang putra raja itu berusaha meredam amuk liar Ki Kebo Saloka.
“Diradameta!” perintah Panembahan Hanykrawati yang melepas pandangan secara kilat untuk mengamati keadaan dan dilihat olehnya para penyerang sudah berjatuhan.
Dalam pertempuran kelompok ketika mereka berjumlah sedikit. para senapati Mataram telah membuat penyesuaian atas gelar perang tersebut. Melalui latihan demi latihan keras, maka penyesuaian itu membantu para pengawal raja bergerak tangkas menyusun gelar perang sesuai perintah Panembahan Hanykrawati. Orang-orang yang bersedia mati demi Mataram itu menempatkan diri dalam barisan kokoh, membuat ancang-ancang untuk serangan balik. Ada sekitar empat lapis pengawal yang berbentuk segitiga dengan sudut runcing menghadap Ki Sawala. Dalam sekedip mata kemudian, mereka bergerak cepat. Satu orang mengawali serangan dari depan dengan ujung senjata menggapai dada Ki Sawala, disusul belakangnya ada tiga orang yang mengarahkan senjatanya pada bagian tubuh yang berbeda, di belakang mereka telah bersiap empat orang untuk melepaskan pukulan mematikan.
Telah tersedia Kitab Kiai Gringsing bentuk PDF.
Sekejap kemudian, prajurit pengawal raja mengalirkan serangan berlapis pada Ki Sawala. Sulit rasanya bagi Ki Sawala untuk dapat meloloskan diri atau setidaknya mengurangi tekanan para pengawal Mataram. Namun karena nalar yang sudah tidak lagi dibiarkan bekerja wajar, Ki Sawala pun memberikan perlawanan tanpa gentar. Sekali lagi, sebelumnya, orang ini sudah memperhitungkan bahwa Mataram tidak akan mengampuninya baik dalam keadaan hidup atau mati.
Agar para pengawalnya tidak hanyut oleh suasana pertempuran yang berkembang liar, Panembahan Hanykrawati berulang-ulang mengingatkan agar mereka tetap dalam kendali diri.
Untuk mencapai tujuannya, Raden Atmandaru benar-benar cermat ketika memilih orang untuk melakukan tugas tertentu. Bisa jadi, Ki Sawala adalah orang yang tepat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak banyak menggunakan akal sehat. Maka, selain ditunjang dengan kemampuannya yang tinggi, Ki Sawala pun menjadi orang yang sangat merepotkan dalam serangan itu.
Ternyata Ki Sawala memang pantas disebut sebagai ancaman yang sangat membahayakan Panembahan Hanykrawati. Pemimpin kelompok pengawal raja tampak mulai kedodoran mengendalikan gerakan liar Ki Sawala. Ia pun mulai kesulitan mempersempit ruangan bagi orang itu.
Melihat perkembangan yang membuatnya tidak nyaman, Panembahan Hanykrawati – yang juga bergerak luwes mengikuti pergerakan pengawalnya – memerintahkan perubahan gelar. Dengan demikian, para pengawal raja pun mengubah susunan barisan. Ketika terjadi lagi ketidakseimbangan, panglima perang tertinggi Mataram itu mengendalikan prajuritnya dengan perintah baru. Setelah dua atau tiga kali memberi perintah untuk mengubah gelar, Panembahan Hanykrawati membuat pertimbangan terakhir. Walau dapat menjadi berbahaya baginya, tapi ia tidak melihat kesempatan lain. “Ki Sawala harus cepat dihentikan atau akan jatuh korban lagi dari Mataram,” kata Panembahan Hanykrawati dalam hati. Dalam waktu sepenginang sirih, Panembahan Hanykrawati pun yakin bahwa memang tidak ada jalan lagi. Bila ia terus menerus melakukan perubahan siasat, bukankah itu justru seperti menikam kaki sendiri? Tentu prajurit-prajurit Mataram lain yang mendengar atau mengetahu akan bertanya-tanya dalam hati mereka, ada apa dengan raja mereka? Apakah para pengawal raja tidak mampu menghentikan pemberontak itu? Apakah raja mereka takut berkelahi? Maka Panembahan Hanykrawati harus berbuat sesuatu sebelum jiwani pengikutnya jatuh dan sulit bangkit lagi.
Dengan kesehatan yang kurang baik dan benar-benar tidak memadai untuk terlibat dalam perkelahian satu lawan satu, Panembahan Hanykrawati harus menempatkan anak buahnya sebagai perhatian utama. Ia pun melompat tinggi, melayang di atas kepala para pengawal raja, lalu menerjang Ki Sawala dengan sambaran tombak yang menggiriskan! Sekejap kemudian, dua senjata pun beradu dan saling melibat dan membelit. Dua gulungan sinar pun terlihat mengerikan. Dua senjata itu terayun dahsyat dan selalu mengeluarkan suara mendesing yang hebat.
Jika Panembahan Hanykrawati berada dalam keadaan yang wajar, sudah barang tentu Ki Sawala tidak mampu menghadapinya. Kekuatan dan kemampuan mereka berada pada tingkatan yang berbeda dan perbedaannya pun sangat jauh, tapi… mungkin waktu itu adalah sebuah keberuntungan baginya sehingga dapat tertawa dengan kegembiraan yang sama dengan anak-anak kecil ketika bermain saat purnama. Meski yang menjadi lawannya adalah orang berkemampuan puncak yang menyimpan segudang ilmu terbaik di Mataram tetapi Ki Sawala seakan-akan menjadi lawan yang sepadan. Keris di tangan Ki Sawala sangat cepat menusuk, menyambar dan menghujani Panembahan Hanykrawati dengan serangan yang menyulitkan.
Perkembangan yang mencekam hati para pengawal raja yang berjarak dekat dengan lingkaran pertarungan. Mereka saling bertukar pandang dengan sorot mata gelisah. Sikap tubuh mereka pun seperti menahan gejolak dan bila bukan karena Panembahan Hanykrawati yang melarang, niscaya mereka menyerbu Ki Sawala tanpa kendali diri lagi. Mereka bergerak memutar tapi bukan untuk mencari jalan menyerang tapi menutup gelisah yang hampir tak terbendung. Ketika perintah agar mereka menjauh dijatuhkan Panembahan Hanykrawati, mereka tidak serta merta menjauh. Mereka tetap menjaga jarak yang dalam perhitungan dapat melakukan tindakan yang menentukan keselamatan orang nomor satu Mataram tersebut. Walau demikian, pertanyaan pun muncul dalam hati mereka terutama senapati pengawal raja, sebenarnya apa yang diinginkan oleh Panembahan? Ki Sawala bukan sekedar ancaman biasa tapi benar-benar dapat mematikan raja mereka.
Dalam perkelahiannya melawan Ki Kebo Saloka, Pangeran Selarong masih dapat mengikuti segala yang terjadi pada lingkaran sebelahnya. Perasaannya – yang sempat tenang karena prajurit Mataram berhasil mengguyur kisruh walau dengan air api – bergolak seperti yang dialami oleh pasukan pengawal raja. Namun ia pantang melepaskan diri dari adu tanding yang berlangsung dahsyat. Pangeran Selarong sadar bahwa ia tidak berada dalam kedudukan yang tepat untuk menyalahkan Panembahan Hanykrawati. Lagipula tidak patut seorang anak mempunyai atau menyimpan prasangka buruk pada orang tuanya, pikir Pangeran Selarong. “Aku hanya dapat melakukan apa saja yang terbaik,” katanya dalam hati.
Sejak gagasan perburuan dimatangkan dalam beberapa percakapan, Pangeran Selarong dan Raden Mas Rangsang termasuk orang-orang dekat yang melarang kepergian Panembahan Hanykrawati. Selain ancaman yang membahayakan jiwa, ada alasan keberatan lain yang mereka ungkap terang-terangan. Dua putra Panembahan Hanykrawati itu berpendapat bahwa beliau tidak berada dalam keadaan yang baik untuk berburu pada musim peralihan. Udara dan cuaca yang tidak menentu dapat menjadi beban jasmani yang sudah payah sebelumnya. Dalam waktu itu, sang raja mengatakan bahwa rakyat Mataram membutuhkan ketenangan dan itu hanya dapat dicapai bila mereka melihatnya tetap dalam kegiatan seperti biasa. Maka dengan berat hati, segenap orang-orang yang dekat Panembahan Hanykrawati pun mempersiapkan segalanya dengan sangat baik. Mulai dari mengumpulkan laporan-laporan rahasia mengenai perkembangan gerakan makar hingga menandai para petinggi dan orang terkemuka yang mempunyai kecenderungan mendukung makar.
Mengenang itu semua, Pangeran Selarong pun bertempur dengan segala yang dikuasainya.
Pertarungan pun meningkat semakin sengit. Adu pukulan dan tendangan terjadi begitu keras. Perbedaan usia yang jauh tidak membuat Pangeran Selarong merasa sungkan pada lawannya yang mungkin seusia dengan Panembahan Hanykrawati. Ia dengan cukup mapan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa memikirkan usia akan menjadi tekanan yang lebih berat daripada kemampuan lawan. Itu adalah kenyataan pahit yang membentang di depan Ki Kebo Saloka. Betapa lawannya yang berusia jauh lebih muda itu ternyata mengetrapkan tata gerak yang mendebarkan. Berkali-kali pelipisnya nyaris tersentuh tumit Pangeran Selarong.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.