Malam yang gelap seperti tidak menjadi penghalang rombongan itu menuju Sangkal Putung. Udara dingin yang turun dari puncak Merapi halus membelai daun-daun dan rerumputan yang basah. Di atas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali Asat, mereka berderap perlahan. Derit suara pedati kadang-kadang terdengar memecah keheningan.
Agung Sedayu yang membayangi mereka kemudian mengenang perjalanannya ke Sangkal Putung melalui jalur yang sama sekitar dua puluh tahun yang lalu. Dia tersenyum sendiri betapa dirinya benar-benar dicekik oleh rasa takut. Sesaat lagi, rombongan Bunija dan dirinya akan tiba di Bulak Dawa. Apakah pohon randu alas raksasa itu masih ada? Agung Sedayu bertanya dalam hati. Dia mengusap wajah sambil menahan geli betapa pada malam itu bayangan gendruwo bermata satu sangat melekat di dalam pikirannya.
Setelah mencapai ujung bulak yang panjang, Bunija dapat berbelok kiri, menyeberangi Kali Asat, kemudian mengambil tikungan ke kanan, lalu tibalah mereka di jalan lurus yang langsung menuju pedukuhan induk Sangkal Putung. Tapi, Agung Sedayu berharap Bunija akan membawa rombongan itu memutari dusun kecil. Dia ingin mereka tidak melintasi Kali Asat karena lingkungan sekitar sungai dapat menyimpan bahaya tersembunyi. Maka Agung Sedayu berpikir bahwa dia harus dapat menyampaikan pesan melalui Sukra.
Dalam waktu itu, Sukra masih berpindah-pindah kedudukan. Agung Sedayu memutuskan untuk lebih rapat dengan tiga pengawal kademangan yang berjalan di ujung barisan paling belakang. Senapati Mataram itu mencari cara agar mendapat perhatian dari Sukra. Ketika Sukra berada di sisi kanan barisan belakang, Agung Sedayu menyambit lengannya dengan buah ranti. Sukra hanya menepuk bagian itu lalu mengusapnya. Agung Sedayu mencoba lagi, Sukra masih tetap seperti semula dan seolah-olah tidak peduli. Murid Kyai Gringsing itu melihat Sukra sambil menggeleng, lalu melontarkan biji ranti sedikit lebih keras.
Sukra terhentak. Lontaran biji ranti Agung Sedayu menimbulkan rasa nyeri dan panas pada kulitnya. Ini bukan gigitan nyamuk atau sekedar biji-bijian yang jatuh biasa, pikir Sukra. Anak muda ini menautkan alis. Rasa nyeri dan panas ada di bagian kulit yang sama dengan lemparan pertama. Seandainya itu serangga maka seharusnya gigitan sudah terasa saat pertama. Tiba-tiba dia teringat bahwa hanya ada satu nama di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh yang mempunyai kemampuan lempar yang jitu. “Ki Lurah ada di sekitar sini?” Sukra bertanya dalam hati sambil mengedarkan pandangan.
Seorang pengawal yang mengetahui Sukra sedang menggosok kulit, kemudian bertanya, “Apakah ada sesuatu yang aneh? Aku kira nyamuk dan serangga tidak mungkin mau menghisap darahmu. Mungkin sangat pahit buat mereka.”
Dua kawannya pun tertawa lalu menambahkan ucapan-ucapan untuk meledek sekaligus menghibur Sukra.
Sukra tersenyum lebar sambil mengusap kepala. Katanya kemudian, “Itu bisa serangga dan bisa juga dedemit genit sedang mencari perhatian.” Tawa mereka pun semakin panjang. Sukra lantas berhenti lalu berpura-pura mengusap kulitnya lebih kencang, kemudian berjalan lebih pelan. Dia berkata lagi, “Aku mungkin bermalam di sini.”
Seorang pengawal lantas berucap sambil menahan tawa, “Kalau itu yang kau mau dan dapat membuatmu lebih dekat dengan yang kau anggap genit, nikmatilah malam yang panjang ini.”
Saat dirinya sudah berjarak sekitar sepuluh atau lima belas langkah, Sukra segera memusatkan perhatiannya pada arah lontaran. Sekejap kemudian, dia melihat bayangan berkelebat menyeberangi jalan lalu berderap, kemudian berhenti segaris lurus dengannya.
”Menepilah tapi tetap berjalan,” perintah bayangan itu.
Sukra mendengar dengan jelas dan itu adalah suara yang sudah belasan tahun begitu akrab dengan pendengarannya. “Saya, Ki Lurah,” sahut Sukra lirih dengan keyakinan Agung Sedayu pasti dapat mendengarnya.
Agung Sedayu meloncat lebih dekat. Kedudukannya kini berjarak selangkah di belakang Sukra tapi sedikit serong ke kiri. “Tetaplah berjalan. Jangan kau ubah sikap sehingga tampak seperti bicara dengan seseorang,” perintah Agung Sedayu.
“Saya, Ki Lurah.“
“Sesaat lagi kita akan tiba di Bulak Dawa, tapi katakan pada Bunija bahwa panjangnya rombongan ini akan memancing perhatian musuh,” kata Agung Sedayu. “Mintalah padanya agar menempuh jalan lain. Kali Asat dapat menjadi tempat persembunyian lawan. Siapa yang tahu? Tekankan padanya bahwa melintasi bulak panjang pada gelap malam masih lebih baik daripada dikelilingi semak-semak yang rimbun.”
“Saya, Ki Lurah.”
“Seandainya Bunija berkeras, katakan bahwa itu adalah perintahku. Tapi, ingatkan pula Bunija bahwa tidak boleh ada yang tahu kehadiranku kecuali kalian berdua.”
“Saya, Ki Lurah.”
“Lalu kembalilah dalam keadaan seperti ini serta bawalah beberapa alat untuk menyamar sebelum kita memasuki pedukuhan induk.”
“Baik, Ki Lurah.”
“Bagaimana keadaan Nyi Sekar Mirah dan bayi cantik itu?” tanya Agung Sedayu.
Sukra tidak segera menjawab karena juga hampir tidak mempunyai waktu untuk sekedar menengok Sekar Mirah. “Maaf, Ki Lurah. Sejak Ki Garu Wesi bercokol dekat di Watu Sumping, Nyi Pandan Wangi memerintahkan pengawal agar lebih ketat melakukan perondaan. Penjagaan pun ditingkatkan di beberapa tempat. Apalagi semenjak Ki Tumenggung Untara mengirim bantuan keamanan ke Sangkal Putung, saya tidak dapat membagi waktu. Tapi, dua hari terakhir saya bertemu dengan beliau untuk minta izin dan beliau dalam keadaan baik.”
“Syukurlah,” ucap Agung Sedayu sambil memanjatkan pujian pada Yang Maha Sempurna di dalam hati.
“Mohon izin, Ki Lurah,” ucap Sukra dengan telunjuk mengarah ke arah barisan depan.
“Terima kasih, berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu.
Sukra mengangguk kemudian berlari-lari kecil menyusul rombongan. Ketika melintasi tiga pengawal di barisan belakang, Sukra berkata, “Tetaplah di sini. Demit sepertinya tidak suka padaku.”
Tiga orang itu pun lantas tersenyum sambil melambaikan tangan. Salahs atu dari mereka berucap, “Itu hanya alasanmu saja. Pasti demit sedang menunggumu hanya saja kau sedang mengalihkan perhatian.” Mereka mengembangkan senyum lebar karena tahu Sukra akan bergeser ke depan,lalu kembali ke belakang beberapa saat kemudian.
Setelah berada di samping Bunija, Sukra berbisik, “Tetaplah Kakang dalam bersikap.”
Bunija mengerutkan alis. Namun sebelum dia bertanya, Sukra sudah menyusulkan pesan-pesan Agung Sedayu. Kerut alis Bunija tampak semakin rapat. Pada saat dia ingin menanyakan sesuatu, Sukra berkata lirih dengan nada tegas, “Ki Rangga berada di sekitar kita. Beliau memesankan itu melalui saya dan hanya kita berdua saja yang tahu kehadiran beliau.”
Bunija mengangguk yakin. Pemimpin kelompok pengawal Sangkal Putung itu menengadahkan wajah, dan terlihat mendung masih menggantung di kaki-kaki langit. Bunija lantas meminta rombongannya berhenti sebeum mencapai simpang tiga. Bila dia menempuh jalan lurus, maka itu berarti mereka akan melewati jalan-jalan dusun kecil sebelum tiba di tepi Kali Asat. Jika mereka berbelok ke kiri atau barat, maka jalan memutar yang landai dan berbatu akanmengantarkan mereka sampai di regol pedukuhan induk yang berada di belakang pasar. Lantas, Bunija berjalan sendirian menghampiri sejumlah orang yang tampak berjaga di gardu dusun. Sepertinya mereka mengenal Bunija lalu terjadi percakapan singkat di antara mereka.
Tak lama kemudian, Bunija berbalik badan, melangkah lebar ke rombongan yang dipimpinnya. Melalui isyarat tangan, Bunija memberi tanda bahwa mereka akan menempuh jalur barat. Sejumlah kecil penjaga dusun tampak pula bersiap-siap. Mungkin Bunija meminta bantuan mereka untuk mendampingi agar tidak timbul salah paham karena peronda dusun yang lain dapat saja curiga.
Rombongan Bunija dan peronda dusun pun melewati jalan berbatu yang menjadi batas antara bentangan sawah yang luas dengan permukiman penduduk. Walau demikian, jarak jangkau pandangan mata mereka sangat terbatas maka bantuan dari peronda dusun pun menjadi sangat berarti.
Sediki lagi di depan mereka adalah hutan dengan barisan pohon yang lebat dan tinggi sehingga tampak seperti bayangan raksasa yang sedang tidur. Bunija memberi aba-aba pada pengawal kademangan agar bersiap dengan segala sesuatu yang mungkin saja muncul dari balik rapat pepohonan. Namun perasaan Bunija memang sedikit tenang karena Agung Sedayu sedang membayangi mereka. Itu berarti pengawal kademangan mendapatkan perlindungan yang sangat kuat. Seandainya tiba-tiba gerombolan Ki Garu Wesi ternyata bersembunyi lalu menyergap mereka, tentu Ki Rangga Agung Sedayu akan turun tangan, pikir Bunija dengan keyakinan penuh.
Sementara, di barisan belakang, Sukra telah menyerahkan kelengkapan yang dibutuhkan Agung Sedayu untuk penyamaran. Sebentar kemudian, Agung Sedayu berdiri di depan Sukra dengan tampilan yang benar-benar berbeda. Bahkan Sukra pun tidak yakin bahwa orang di depannya adalah Agung Sedayu dengan tampilan seorang petani tua dengan jalan terbungkuk.
“Ajaklah salah satu dari pengawal di barisan belakang,” kata Agung Sedayu pada Sukra, “mintalah izin pada Bunija, katakan bahwa kau akan mendahului rombongan untuk memeriksa keadaan di depan. Setelah mencapai pertengahan hutan, bergabunglah kembali dan jangan terlalu jauh darinya.”
“Saya, Ki Lurah.”
“Aku akan menunggu kalian di ruas penghabisan,” ucap Agung Sedayu dan yang dimaksudkannya adalah pategalan pertama yang berbatasan langsung dengan hutan itu. “Esok pagi, mungkin akan ramai perbincangan bahwa aku berada di Sangkal Putung. Aku minta kau tidak menolak kabar itu dan tidak pula menerimanya. Jagalah dirimu dalam dua keadaan. Tapi jika seandainya kau hanya berdua dengan Nyi Sekar Mirah atau Nyi Pandan Wangi, aku bebaskan dirimu untuk berkata-kata.”
Sukra mengangguk dengan pandangan mata menatap permukaan tanah. Ketika dia mengangkat wajah, Agung Sedayu telah lenyap dari hadapannya.