Sekejap yang telah lewat, pada jarak yang agak dekat, Kinasih membuat garis setengah lingkaran ke samping sambil memutar anak panah. Bahkan karena sangat cepat anak panah berputar, maka itu seperti ada pengait yang menempel pada telapak tangannya sehingga senjata itu tak pernah lepas darinya. Berkali-kali anak panah Kinasih mematuk lawannya secara tiba-tiba seperti ular yang menyerang mangsa. Pada lain waktu, sepasang kaki Kinasih bergantian melakukan tendangan memutar hingga Ki Jambuwok harus sering menghindar dengan lompatan-lompatan panjang. Demikianlah Ki Jambuwok kemudian mengulang perhitungan di dalam pikirannya. Kepandaian dan ketenangan Kinasih seolah menyadarkan dirinya bahwa gadis muda yang menjadi musuhnya itu bukan perempuan biasa. Pertarungan jarak dekat sudah tentu menjadi keadaan yang sesuai dengan senjata Kinasih. Tapi karena terdorong rasa malu karena belum juga mampu menjatuhkan lawannya, Ki Jambuwok pun mengulang kesalahan. Dia berkali-kali terpancing gerak tipu Kinasih yang memukau hingga gempurannya sering dilakukan tanpa perhitungan. Namun karena gelar yang dijalankan kubu lawan begitu rapi, maka Kinasih pun juga menemui kesulitan menaklukkan Ki Jambuwok.
Perasaan kacau yang melanda Ki Jambuwok juga dialami oleh para pemburu Sayoga dan Sukra. Mereka ini terpancing oleh sepak terjang dua anak muda itu yang seolah-olah bertempur terpisah, tapi yang terjadi adalah mereka terikat pada garis pertahanan yang membentang sepanjang perbatasan pedukuhan induk dengan Jagaprayan. Ketika Sayoga seolah menjauh dari garis pertahanan Jagaprayan, Sukra justru memancing sebagian lawan ke arah lebih dekat pedukuhan itu. Pada saat Sukra mendadak berubah arah hingga terkesan menjauhi garis pertahanan, maka Sayoga akan membawa lawannya bergeser lebih dekat. Sebenarnyalah mereka mampu menghilangkan kesan sedang membawa lawan-lawannya mendekati seseorang yang sangat ditakuti tapi juga dicari dan diinginkan ; Pandan Wangi! Saat Sukra menjauh dua langkah, Sayoga akan bergerak ke dalam sejauh enam langkah. Ketika Sayoga mengubah arah agak jauh empat atau lima langkah, Sukra akan menyeret lawan-lawannya sejauh tujuh atau delapan langkah. Dengan begitu, lambat laun tanpa disadari oleh para musuh mereka, dua lingkar perkelahian yang terus menerus bergerak itu semakin dekat dengan kedudukan Pandan Wangi. Panglima perempuan yang ditakuti karena keputusannya yang sangar ini sedang menunggu di tempat yang memungkinkannya mengawasi perkembangan dua pedukuhan. Walau ada terkadang ketidaksabaran, Pandan Wangi mampu memaksa dirinya tetap tenang menunggu mangsa memasuki jangkauan serang. Selain itu, dia juga sedang menunggu pergerakan Dharmana dari sisi lain pedukuhan induk.
Demi mendukung rencana yang bertumpu pada gagasan besar Agung Sedayu, Pandan Wangi menyerahkan kendali keamanan Jagaprayan pada Ki Lurah Plaosan. Tentu tidak akan ada orang yan gmeragukan kemampuan lurah Mataram yang berpengalaman sangat luas itu.

Sorgum sebagai bahan pangan masa depan dapatkan dengan harga khusus. Hubungi admin blog di sini
Pada saat Watu Sumping dilanda serbuan kilat Agung Sedayu dan pasukan kecilnya, Sabungsari serta sejumlah prajurit dari Jati Anom bergerak menyisir aliran sungai untuk bergabung dengan Pangeran Selarong. Putra raja Mataram itu memisahkan diri dari induk pasukan yang dipimpinnya. Dia bersama Sabungsari akan menjadi membentuk kekuatan baru di pedukuhan induk.
Dalam pembicaraannya dengan Agung Sedayu pada beberapa malam sebelum serangan, pedukuhan induk akan menjadi pusat kendali bila peperangan berlangsung hingga lebih dari tiga hari. Apabila perang belum usai hingga masuk hari keempat, Ki Lurah Plaosan akan menyerahkan kendali atas para pengawal Pedukuhan Jagaprayan pada Pangeran Selarong. Demikian pula Pandan Wangi dan Sabungsari, lalu segala sesuatunya akan diputuskan oleh Pangeran Selarong sebagai penentu akhir.
Di bagian tengah Watu Sumping, Ki Kebo Aran terheran-heran dengan sepak terjang Agung Sedayu yang membingungkan. Puluhan kali dirinya terlibat dalam perkelahian adu kanuragan, tapi Agung Sedayu akan menjadi lawan yang mempunyai warna baru baginya. Mungkin mereka menyimpan ilmu yang sepadan, tapi mungkin juga ada sesuatu yang membuat Ki Kebo Aran penasaran. Dalam pandangan Ki Kebo Aran, murid Kyai Gringsing yang masih terhalang mencari kitab gurunya seolah-olah sedang menjadi orang yang lembut dengan tidak membunuh seorang pun yang mengeroyoknya.

Sorgum Sukowati, Warisan Anak Bangsa
Setelah menyusun rencana dengan cepat di dalam otaknya, ki Kebo Aran memasuki gelanggang dengan penuh kehati-hatian. Dia mempertaruhkan nama besar dan tentu saja sangat memalukan jika kalah lalu dibiarkan hidup oleh Agung Sedayu, pikirnya. Dada Ki Kebo Aran penuh gemuruh suara yang mengagung-agungkan dirinya sendiri. Meski demikian, dia menolak keras bila dikatakan sebagai orang yang sombong. Dia menghentikan langkah saat berada di tepi luar lingkaran serang anak buah Ki Garu Wesi.
“Cukup tenang rupanya orang ini,” ucap pemimpin kelompok dalam hatinya. Sejenak dia menyimpan rasa kagum sambil berharap dengan masuknya orang baru yang diyakini berkemampuan tinggi, maka kedudukan dapat seimbang.
Ki Kebo Aran menarik napas panjang sekali lagi, lalu menghentak serangan dengan kecepatan tinggi. Tanpa segan atau iringan rasa malu, dia masuk dari sisi kiri Agung Sedayu dengan senjata berupa rantai berbandul besi berduri. Gaung suara senjatanya terdengar seperti puluhan tawon ndas yang mengejar perusak sarang mereka. Rantai Ki Kebo Aran menyerang bagian bawah Agung Sedayu, lalu cepat berpindah ke atas atau melingkar. Senjata itu seolah hidup dan mempunyai mata serta pikiran sendiri. Meski begitu, Agung Sedayu dengan cepat pula menghindari serangan dengan gerak kaki yang jarang dilihat oleh orang-orang sekitarnya.

Lingkaran para pengeroyok menjadi semakin lebar setelah pemimpin serangan memberi perintah baru. Dia menyuruh orang-orang agar menjauh dari dua petarung yang diam-diam menyimpan kekuatan yang mematikan itu. Orang ini cukup jeli hingga dapat menduga arah perkelahian yang masih malu-malu menampakkan kekuatan sesungguhnya.
Bagi Agung Sedayu, Ki Kebo Aran adalah lawan yang sedang mengenalkan gaya baru pertarungan kanuragan. Hanya sedikit serangan yang dilontarkan oleh Ki Kebo Aran padanya. Perkelahian satu lawan satu memang baru saja berlangsung, tapi Ki Kebo Aran mempunyai cara aneh sebelum benar-benar menghentak serangannya. Hampir seluruh tata gerak Ki Kebo Aran, pada waktu itu, adalah langkah-langkah kaki yang seolah mempunyai corak tertentu tapi dapat menyudutkan Agung Sedayu. Ki Kebo Aran seakan-akan sudah dapat menebak arah pergerakan senapati Mataram itu. Dengan demikian, dia selalu dapat memotong lintasan Agung Sedayu. Meski begitu, dia tidak dapat melepaskan serangan mematikan karena ujung cambuk Agung Sedayu selalu lolos dari kungkungan sepasang belati pendek yang menjadi senjatanya.
Tekanan demi tekanan yang diberikan Ki Kebo Aran berjalan cukup lambat, tapi Agung Sedayu sadar bahwa musuhnya bukan sedang menjajagi kemampuannya. “Orang ini sengaja melambatkan perkelahian, tapi tata geraknya justru penuh dengan jebakan yang mematikan,” pikir Agung Sedayu. Senapati Mataram itu memang benar adanya. Setiap langkah kaki Ki Kebo Aran selalu diiringi sapuan tajam dari sepasang lengan dengan angin tenaga yang mampu menggesek kulit Agung Sedayu hingga terasa panas. Senapati Mataram itu membuat kesimpulan sementara bahwa dia sedang menghadapi kemampuan yang cukup mirip dengan ilmu puncak Pandan Wangi,
Kehebatan Ki Kebo Aran, mau tidak mau, harus diakui oleh Agung Sedayu. Lingkar pengepungan menjadi semakin lebar meski pergerakan mereka berdua belum begitu banyak mengambil ruang. Orang-orang yang tadinya berada sekitar sepuluh langkah dari pusat pergumulan pun mengambil langkah surut. Angin yang keluar dari tenaga cadangan dua orang berilmu tinggi itu memang tidak menderu, tapi mereka dapat merasakan seolah ada benda tajam yang menggores kulit mereka semua. Penderitaan itu kian bertambah karena ujung cambuk Agung Sedayu masih belum berhenti mengeluarkan bunyi dentuman.
