Kehidupan Siwagati yang tidak pernah mengalami kekurangan dan banyak memperoleh dukungan dari orang di sekitarnya, mau tidak mau, telah mewarnai watak perilakunya. Dia tumbuh menjadi seorang gadis yang keras hati. Dia akan berusaha keras untuk menggapai setiap keinginan.
Tetapi sejak Ki Sarwa Jala memasuki hidupnya, Siwagati mengalami perubahan. Meski tidak banyak, tetapi itu lebih baik, kata mereka yang mengenal Siwagati. Pada masa awal perkenalan mereka, Ki Sarwa Jala benar-benar memperlihatkan bagian dalam dirinya yang luar biasa. Kesabarannya dalam memberikan bimbingan serta arahan terlihat begitu mengayomi Siwagati. Tidak pernah ada bantahan atau penolakan dilakukan oleh Siwagati. Tidak pernah sekali pun! Kecuali hari ini, hari yang memang harus mereka jalani sebagai seorang guru dan murid. Sebagai dua orang yang terikat dalam pengajaran dan bimbingan.
Usia Ki Sarwa Jala hampir mendekati enam puluh atau tujuh puluh tahun. Belum terlalu banyak garis-garis melintang menghias wajahnya. Dia terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Sebagai orang yang banyak melakukan perjalanan batin, Ki Sarwa Jala telah menempuh dan menjalani lebih banyak lelaku kehidupan. Maka dia tampak tenang menghadapi amuk Siwagati yang nyaris tidak terkendali.
Hari ini, Siwagati kembali menunjukkan watak sesungguhnya. Perempuanyang dikenal keras hati itu benar-benar menolak! Sesekali dia membentak gurunya meski kemudian kembali merendahkan diri.
Ki Sarwa Jala menempatkan diri sebagai lautan lepas. Setiap kata kemarahan dan wujud gelisah muridnya, tiba-tiba lenyap ketika memasuki rongga telinganya. Dan setiap perkataannya dapat menjadi udara pagi yang membelai kulit setiap orang. “Anakku, kadang-kadang seseorang memang harus mampu mengalahkan dirinya ketika dia sudah tidak dapat melihat kebenaran keluar dari dalam hatinya. Dia harus memaksa dirinya untuk menerima kenyataan bahwa kebenaran dapat datang dari orang lain. Kebenaran selalu mampu mencari jalan untuk menempatkan dirinya dengan benar dan mapan. Dan akan begitu, selamanya!
“Ketetapan seorang ayah menjadi sulit untuk ditentang karena sebagian kebenaran ada padanya.”
“Sebagian? Mengapa hanya sebagian?” tanya Siwagati denagn ketus.
“Sebagian itu telah menetap dalam hati seorang ayah maupun ibu. Lalu, sebagian yang lain berada di sepanjang jalan yang akan kau tempuh. Kebenaran, dalam hati dan pikiran mereka, ada ketika mereka melihat sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi anaknya. Mereka, para orang tua, tidak pernah berpikir untuk melempar anaknya ke dalam api kesucian tanpa pertimbangan matang. Tanpa sesuatu yang lebih besar dari diri mereka dan anaknya, kamu tidak akan pernah melihat kebesaran hati seorang ayah saat berkorban!
“Sebagian kebenaran yang lain ada di dalam hatimu. Kau dapat melihat, mengamati dan membuat penilaian tentang segala sesuatu. Kamu dapat menyerap, meninggalkan atau bahkan membuang banyak hal yang mungkin dianggap orang lain sebagai kebenaran.”
“Apakah itu berarti kebenaran tidak memiliki kedudukan yang menetap?” Siwagati bertanya lagi dengan nada yang sama.
“Siwagati, setiap orang memiliki lingkungan yang berbeda, keluarga yang berbeda dan pengalaman yang berbeda. Setiap orang akan menempatkan kebenaran sesuai yang ia pahami selama masa hidupnya berjalan. Nah, untuk keadaanmu sekarang ini, di manakah kedudukanmu dalam persoalan ini?”
“Sulit. Benar-benar sulit. Saya masih memiliki mimpi panjang dan keinginan yang membentang, Guru. Lalu, tiba-tiba ayah membawa satu rencana untuk mengikat diriku pada sebatang pohon di sebuah hutan yang jauh. Saya merasa sendiri dan seperti diasingkan. Ya! Saya merasa bahwa ayah sedang menggeserku ke tempat yang tidak terjangkau. Memang ayah telah menjelaskan tujuannya padaku, tetapi keterangan itu tidak menyamarkan keadaan yang sebenarnya.” Suara Siwagati terdengar menurun. Dia tidak lagi menghentak segenap perasaan. Kesabaran Ki Sarwa Jala dalam menghadapinya telah membawa kesan kuat dalam diri Siwagati. Dia mengawali usaha untuk mencoba berpikir dari sisi yang berbeda dari letak hatinya.
“Selain ingin turut serta mengawal kademangan, apakah engkau masih menyimpan mimpi yang lain?” tanya Ki Sarwa Jala kemudian.
Semburat merah menyeruak dengan tiba-tiba di bagian depan wajah gadis yang sebenarnya sedap dipandang ini. Dia mendadak tersipu! Jantungnya berdetak tidak teratur. Siwagati kehilangan kata-kata. Bahkan dia seolah kehilangan ketajaman daya pikirnya. Wajahnya terbenam dalam-dalam, Siwagati tak memiliki keberanian lagi untuk menatap wajah gurunya secara langsung. Sungguh! Sangat berbeda jika dibandingkan saat mereka memulai pembicaraan. Siwagati begitu meledak dan kemarahannya dapat dirasakan sebagai guncangan yang hebat. Tetapi kini dia terkulai.
“Siwagati, tidak ada yang aneh dengan pertanyaan tadi,” ucap Ki Sarwa Jala.
Perlahan, setelah meyakini dirinya telah menguasai gejolak hati, Siwagati mengangkat kepalanya. “Tidak ada yang aneh, guru. Sama sekali tidak ada! Hanya saja pertanyaan guru tentang mimpi dan harapan yang lain, itu benar-benar membuatku kehilangan akal. Bahkan kini aku merasa malu. Betapa aku membuat malu seorang guru secara terbuka meski tidak ada seorang pun di tempat ini. Tetapi aku melampaui batasan sebagai seorang murid. Maafkan saya!” Siwagati meraih dua tangan gurunya dan mencium punggung tangan Ki Sarwa Jala.
“Lantas, apa yang membuatmu tiba-tiba menjadi malu?” Ki Sarwa Jala tetap tidak menunjukkan perubahan pada air mukanya. Sebenarnya orang ini telah mempunyai dugaan tetapi Ki Sarwa Jala memilih untuk diam. Dia memutuskan agar Siwagati sendiri yang mengatakan penyebabnya. Karena Ki Sarwa Jala mengenal muridnya sebagai seorang perempuan yang setia pada setiap kata yang diucapkan.
Setelah beberapa lama berdiam diri, Siwagati menggetarkan bibirnya,”Saya ingin mengunjungi kotaraja, melihat keramaian dari dekat, menyusuri lereng gunung dan mungkin bermalam di belantara.”
“Kau dapat melakukannya usai perhelatan itu. Engkau dapat mengajak Sumba Sena turut serta. Kita bertiga akan mengadakan perjalanan jauh.” Ki Sarwa Jala tidak melihat perubahan wajah Siwagati. Dia memang sengaja melakukan itu.
“Tidak! Keinginan itu bukan bersama dengan guru atau kakang.” Siwagati mendadak menghentikan ucapannya. Kini jantungnya kembali bergetar, bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Sebuah keinginan pendek melintas dalam hatinya tetapi dia tidak mungkin akan melarang gurunya berbicara.
“Baiklah, aku mengerti maksudku. Aku akan katakan itu padanya bahwa dia tidak boleh melarangmu mengadakan perjalanan jauh.” Sungging singkat menghias bibir Ki Sarwa Jala.
Siwagati tidak lagi menjawab atau menanggapi gurunya. Dia telah berada di atas awan. Sebelumnya, dia telah mendengar bahwa Bondan pernah mengadakan perjalanan jauh meski masih berusia anak-anak, tetapi setidaknya, menurut Siwagati, itu adalah pertanda baik.
Tidak ada lagi yang diucapkan Ki Sarwa Jala selain ajakan untuk kembali ke rumah Ki Juru Manyuran. Sekejap kemudian mereka berjalan beriringan dan Ki Sarwa Jala dengan keharusan perasaannya, ia dapat memahami keadaan jiwa muridnya. “Dia telah jatuh cinta karena satu persamaan dan keinginan. Semoga mereka berdua diberkahi oleh penguasa langit.”