“Apakah engkau belum banyak berubah dari masa mudamu, Sedayu?” bertanya Ki Patih Mandaraka dengan iringan senyum di bibirnya.
Raut wajah Agung Sedayu pun memerah bagai seorang gadis yang sedang dipinang. Agak lama dia menjawab. Katanya kemudian, “Apabila terkait dengan perasaan, sungguh, saya belum sepenuhnya beranjak dari anak muda yang merasa ngeri saat berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda.”
“Sebenarnya kita sedang diburu oleh waktu,” ucap Ki Patih Mandaraka, “tapi aku tidak ingin melepasmu dengan beban yang berat mengganjal dalam pikiran.”
“Saya mendengarkan,” kata Agung Sedayu.
Ki Patih Mandaraka tersenyum lalu berkata, “Pertama yang harus aku katakan adalah selamat untukmu. Terima kasih karena waktumu untuk menjenguk cucuku, Wangi Sriwedari.”
Agung Sedayu mengembangkan bibir lalu sedikit mengalihkan pandangan. “Terima kasih, Ki Patih.”
“Kau harus lebih berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan, terutama keamanan dan keselamatan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabmu. Engkau sekarang tidak lagi hanya mempunyai Sekar Mirah di rumah, maka demikian pula orang-orang di bawahmu. Keselamatan mereka adalah harapan setiap keluarga yang tanpa henti berharap dan berdoa agar mereka selamat dalam tugas.”
“Saya, Ki Patih,” tegas Agung Sedayu.
“Kau semestinya mengerti. Bahkan jauh lebih paham dibandingkan orang lain bahwa aku tidak akan meninggalkan atau berpaling dari segala keputusan mendiang Panembahan,” kata Ki Patih dengan suara pelan. “Saat mendiang Panembahan menyatakan akan menunjuk Wayah Mas Wuryah sebagai pengganti, aku adalah orang pertama yang mendengarkan dan siap menerima dengan segenap hati. Ketika Wayah Panembahan mengubahnya, aku tidak berada di dekat beliau.”
Agung Sedayu tertegun sejenak. Maka benarlah, pikir Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka berada di antara pilihan yang sulit. Apakah orang-orang berada di sekitar Panembahan Hanykrawati saat berada di dalam pesanggrahan itu benar mendengar perubahan? Ataukah perubahan keputusan itu sudah terjadi sebelum Panembahan Hanykrawati meninggalkan Kraton?
Seperti telah mengerti arah pikiran Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka meneruskan kalimatnya. “Tentu saja kita tidak dapat menyangsikan para pangeran, terutama pangeran sepuh seperti Pangeran Purbaya atau Pangeran Mangkubumi. Beliau berdua adalah saudara dari mendiang Panembahan dan tidak mempunyai hasrat untuk menempatkan seseorang sebagai pengganti. Seandainya mereka mau dan berkeinginan kuat, tentu sangat mudah melakukannya pada awal Panembahan Hanykrawati memerintah. Di belakang beliau berdua ada ribuan prajurit dan petugas sandi, ada ratusan demang dan orang-orang yang siap berkorban. Tentu, tentu mudah bagi beliau berdua untuk merebut tahta.
“Tapi aku juga paham bahwa tentu ada dalam pikiranmu bahwa beliau berdua mungkin sedang menunggu waktu yang tepat. Sedayu, ketajaman nalarmu pasti sudah mengarah ke sana.”
Agung Sedayu masih terdiam. Dia bukan kebingungan mencari kata-kata atau memikirkan suatu pendapat, tapi mencoba menyelami perasaan Ki Patih Mandaraka pada beberapa waktu sebelumnya. “Andaikan aku berada pada suasana yang sama dengan Ki Patih, apa yang harus aku putuskan?” demikian Agung Sedayu bertanya pada dirinya di dalam hati. Bila Pangeran Purbaya atau Pangeran Mangkubumi melindas Raden Mas Jolang demi tahta Mataram, tentu saja Ki Patih akan mengerahkan segala upaya untuk membendung gerakan itu. Barangkali satu-satunya alasan Ki Patih bersedia menghadapi perang saudara, seandainya itu terjadi, adalah dia mengemban kepercayaan sebagai teman sekaligus saudara Ki Ageng Pemanahan yang membabat Alas Mentaok.
“Beberapa waktu sebelum mendiang Panembahan pergi berburu di Alas Krapyak, sebagian orang bertanya padaku, ‘Bagaimana jika pangeran sepuh memaksakan diri dengan tetap menempatkan Raden Mas Wuryah sebagai pemimpin Mataram?’. Terus terang, aku mengabaikan itu melalui jawaban yang terkait dengan cita-cita besar mendiang Panembahan Senapati. Pangeran Purbaya adalah panglima besar bagi seluruh petugas sandi. Baginya, Mataram sangat mudah dikacaukan melalui kegiatan-kegiatan rahasia seperti penculikan atau sebaran berita palsu yang memudahkan bagi Raden Mas Rangsang atau Pangeran Selarong mengambil tindak pengamanan. Untuk itu, kau harus tahu bahwa perintah Pangeran Purbaya jauh lebih berpengaruh dibandingkan dua pangeran muda putra mendiang Panembahan Hanykrawati,” lanjut Ki Patih Mandaraka. “Sedangkan Pangeran Mangkubumi pun termasuk sesepuh yang pendapatnya banyak diikuti kebanyakan keluarga terpandang di Mataram, tentu itu salah satu sebab yang dapat menyulitkan seandainya beliau mengambil sikap berseberangan.”
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Anda turut mendukung kelanjutan melalui donasi yang dapat disalurkan pada rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA . Dengan demikian, Anda dapat menjadi bagian dari jajaran demang dan lurah yang terdepan dalam kisah lanjutan ini.
“Keselamatan dan keberuntungan masih menyertai Mataram,” kata Agung Sedayu. “Sikap buas dan seringai kelaparan yang ditunjukkan oleh Raden Atmandaru ternyata disikapi dengan bijak oleh dua pangeran sepuh. Kebersamaan dan kematangan jiwani yang luar biasa ketika lubang besar menganga.”
Ki Patih Mandaraka menarik napas dalam-dalam. Wajah tetua Mataram itu kemudian memperlihatkan kesungguhan yang belum pernah dilihat Agung Sedayu. “Untuk pertanyaan seperti itu, aku tidak mempunyai jawaban yang dapat memuaskan banyak orang. Raden Mas Wuryah dapat diwisuda menjadi raja baru dengan perhatian khusus.”
Agung Sedayu mengerutkan kening, lantas bertanya, “Perhatian khusus, saya belum pernah mendengar istilah itu untuk tata kelola sebuah wilayah sebesar Mataram.”
“Maksudku adalah kami dapat memilih orang-orang yang dinilai mampu mewakili Adipati Anom untuk menjalankan tugas ketika menjadi raja. Walaupun demikian, hal itu juga menyimpan bahaya yang terselubung yang mengancam jiwa Raden Mas Wuryah dan segenap keluarganya. Bahkan bahaya itu mampu menjangkau sasaran yang lebih luas, Mataram,” jawab Ki Patih Mandaraka.
“Mengumpulkan beberapa orang lalu menyatukan pikiran dan perasaan, itu bukan masalah yang mudah,” ucap Agung Sedayu sambil mendesah. “Kesepakatan harus dapat dicapai, tapi, apakah akan ada orang yang benar-benar rela menepikan kepentingan atau cita-cita pribadi? Oh, kita tidak pernah tahu kedalaman hati seseorang.”
“Sikap yang tegas dan keras kadang-kadang memang diperlukan, walaupun selalu ada luka sebagai akibat,” kata Ki Patih Mandaraka. “Terlebih, kesan dan pendapat yang buruk akan diterima Mataram jika kami benar-benar memaksa diri untuk menjalankan perintah mendiang Panembahan. Pelantikan Raden Mas Wuryah dapat saja menjadi tertawaan dan cemooh bagi orang-orang yang menuntut kesempurnaan.
Agung Sedayu memandang dinding yang membatasi ruangan. Anyaman bambu yang suram sedikit tampak berkilau karena memantulkan cahaya dari api yang terbungkus kaca bening.
“Sedayu,“ kata Ki Patih kemudian, “sepanjang waktu sejak kemunculan gerakan makar, di sekitar kita ada banyak orang yang telah terbagi menjadi beberapa golongan. Ada yang diam-diam berharap Raden Atmandaru berhasil merebut tahta. Ada yang tetap kuat dalam pendirian untuk melantik Adipati Anom sebagai raja. Ada pula yang menghendaki Raden Mas Rangsang sebagai pengganti dengan dasar kepantasan. Masing-masing dari mereka berusaha mencari kelemahan dan kesalahan kelompok yang lain. Menyebar berita-berita yang belum tentu benar untuk membantah atau menolak kabar yang berlawanan dengan tujuan mereka. Sebenarnya, dengan wewenangku sebagai patih, aku dapat menjatuhkan tuduhan bahwa mereka sedang mengacaukan Mataram, lalu menghukum mereka.”
Agung Sedayu mengangguk pelan, lalu berkata, “Tapi Ki Patih tidak melakukan itu.”
“Oleh karenanya, bagaimana jika kau yang melakukannya dengan perintah langsung dariku?” Ki Patih bertanya dengan nada sangat tajam. Kesungguhan jelas terpancar dari sorot mata dan garis-garis wajahnya.
Senapati Mataram itu tercekat. Dia bahkan kesulitan menelan ludah! Agung Sedayu merasa dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Berapa besar kekuatannya untuk menangkapi orang-orang yang akan dijatuhi hukuman oleh Ki Patih Mandaraka? Tiga kelompok itu tentu dapat diselesaikan berangsur-angsur dengan cara-cara tertentu. Tapi, apakah dia mampu memotong jalur hubungan antar petugas sandi? Sanggupkah dirinya menerabas jalur perintah yang sambung menyambung antar senapati? Pada puncak perintah Ki Patih, dua orang sedang menunggu dirinya untuk datang sebagai penantang yaitu Pangeran Purbaya dan Pangeran Mangkubumi. Berapa ribu nyawa yang harus terpisah dari raga bila dia melakukan pekerjaan rahasia prajurit atau operasi militer rahasia? Berapa banyak keluarga yang akan menderita sebagai akibatnya? Agung Sedayu mendadak pening untuk beberapa waktu lamanya. Butiran keringat dingin diam-diam membasahi bagian punggung pemimpin pasukan khusus itu.